Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Yang membayar terlalu mahal

Tata niaga cengkeh dikritik pakar ekonomi anwar nasution. keputusan menteri perdagangan yang menetapkan harga dasar cengkeh minimal rp 7000 per kg di tingkat petani,merangsang peningkatan produksi.

11 Mei 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tata niaga cengkeh yang "disempurnakan" kini sudah diterima pabrik kretek. Mengapa tata niaga itu dikritik pakar ekonomi? DALAM seminar sehari di Grand Hyatt Hotel Rabu pekan lalu, terselip sebuah kritik terhadap tata niaga cengkeh. Pakar ekonomi Anwar Nasution menyatakan bahwa Pemerintah akan membayar harga yang terlalu mahal untuk dapat menstabilkan tingkat harga cengkeh. Ia berpendapat, pembentukan BPPC oleh Departemen Perdagangan merupakan contoh merkantilisme dan dianggap pertanda arus balik deregulasi. Menurut Anwar, BPPC juga akan menimbulkan kesulitan baru bagi Bank Indonesia dalam pengendalian moneter. Mengapa? Karena besar kecilnya volume kredit bergantung pada jumlah produksi. Padahal, kebijaksanaan moneter antara lain bersifat antisiklikal. Artinya, pada saat mencegah inflasi, BI harus mengurangi pemberian kredit dan sebaliknya menambah jumlah kredit untuk mencegah resesi. Anwar melihat bahwa kredit pengadaan cengkeh sekaligus dapat menimbulkan penyempitan (crowding out) di sektor keuangan. Akibatnya, tingkat suku bunga akan semakin terdongkrak. Dan penyediaan kredit untuk pengadaan stok cengkeh akan mengurangi porsi kredit yang tersedia bagi keperluan lain. Lagi pula, menurut Anwar, pasar cengkeh sama sekali lain dengan pasar beras. Permintaan cengkeh bersifat elastis, lain dengan beras yang bersifat inelastis (perubahan harga praktis tidak mengubah jumlah permintaan). Keputusan Menteri Perdagangan yang menetapkan harga dasar cengkeh minimal Rp 7.000 per kg di tingkat petani bisa diduga akan semakin merangsang peningkatan produksi. Selanjutnya, BPPC harus memelihara stok yang semakin besar, dan bank-bank pemberi kredit (BBD dan BRI) serta Bank Indonesia akan terus-menerus menambah kreditnya. "Semakin besar dana bank yang tertanam dalam stok cengkeh, akan semakin sulit bank-bank negara itu mengelola portepel mereka," kata Anwar. Belum jelas seberapa jauh pendapat pakar telah mempengaruhi pejabat moneter. Yang jelas, BPPC tampak semakin sibuk. Kamis lalu, Ketua Umum BPPC Hutomo Mandala Putra, didampingi Sekjen Jance Worotican, bertemu dengan Dubes Brunei Dato Yahya bin Haji Haris. Ketua BPPC memang pernah mengajukan permohonan bantuan pinjaman pada Sultan Brunei. Namun, sampai pekan ini permohonan tersebut belum mendapat tanggapan positif. Sementara itu, akhir bulan lalu Djarum Kudus dan Nojorono meneken kontrak pembelian dengan BPPC. Juga PT H.M. Sampoerna di Surabaya, menurut Direktur Produksi Bambang Soelistyo, sudah merencanakan membeli cengkeh BPPC. "Mungkin bulan Agustus atau September mendatang," kata Bambang. Pabrik Rokok Mapan yang menghasilkan rokok cap Roket (harga Rp 200 untuk 10 batang) di Desa Ngaban, Kecamatan Tanggulangin, Jawa Timur, mengaku sudah biasa membeli cengkeh seharga Rp 7.200 dari para tengkulak. Katanya, ia merasa siap untuk membeli dari BPPC dengan harga lebih tinggi. "Beban baru bagi kami walau tarif cukai nantinya lebih rendah," kata Nur Hidayat, pemilik PR Mapan itu, yang kebutuhan pabriknya sekitar 1 ton cengkeh per bulan. Sementara itu, Ketua Gappri J. Soegiarto yang ditemui TEMPO di Bandung mengatakan bahwa sekarang tidak relevan lagi membicarakan masalah tata niaga cengkeh. "Turunnya SK Menteri Perdagangan tentu akan membuat petani jadi tenang. Tapi pabrik rokok tentu akan menaikkan harga rokok," katanya sambil tersenyum. Soegiarto menduga, akan banyak pabrik yang gulung tikar. Pengalamannya selama 25 tahun di Gappri menunjukkan, kenaikan harga cengkeh (pada tahun 1974 dan 1983) telah menciutkan pabrik kretek dari 315 menjadi 215 buah. Max Wangkar, Idrawan (Jakarta), Achmad Novian (Bandung), Supriyanto Khafid (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus