Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Reorientasi pertanian

Sukses swasembada akan menjurus ke oversuplai beras. sektor industri dan jasa diharapkan bisa secepatnya menyerap tenaga kerja petani.

20 Maret 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARGA gabah jatuh, petani sedih, dan Bulog tak sudi membeli. Masalahnya kini, bagaimana bisa terjadi overproduksi beras, sedangkan instansi Pemerintah yang bertanggung jawab di sektor ini tampak seperti tak siap. Lalu, bagaimana sebaiknya Pemerintah mengantisipasi di masa depan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Dwi S. Irawanto dari TEMPO menghubungi Bungaran Saragih, doktor sosial ekonomi pertanian lulusan North Carolina State University. Kebetulan, dosen pas casarjana dan program magister manajemen IPB yang juga Ketua II Ahli Ekonomi Pertanian Indonesia itu bersedia meluangkan waktu untuk sebuah wawancara. Petikannya: Gabah overproduksi. Apa yang sebenarnya terjadi? Sebenarnya, dalam iklim yang baik, produksi padi kita sudah mencapai keadaan yang lebih dari swasembada. Ini artinya, kemampuan berproduksi sawah kita sudah jauh lebih besar dari konsumsi. Di satu pihak ini merupakan hasil dari usaha peningkatkan produksi selama ini, tapi di sisi lain, kita menghadapi masalah oversuplai yang terkadang sama rumitnya dengan persoalan shortage (kekurangan beras). Lalu mengapa Pemerintah berteriak-teriak mau mencetak sawah baru? Bahkan sampai meminta para konglomerat untuk ikut-ikutan mencetak sawah. Masalahnya adalah iklim. Musim kering yang panjang membuat seolah-olah kemampuan memproduksi padi sudah jauh di bawah kebutuhan kita. Mestinya tak perlu khawatir, swasembada di tangan kita. Un tunglah pencetakan sawah itu tidak jalan. Memang, iklim sulit diramal. Karena itu, penanganannya membutuhkan kearifan. Pada masa iklim yang baik kita menabung, kemudian pada iklim jelek kita makan tabungan. Ini perlu manajemen stock yang baik. Di sini peran Bulog makin penting. Bulog dibuat untuk menstabilkan harga beras. Di sini dia memegang tanggung jawab. Tapi harga gabah sempat anjlok juga. Seharusnya Bulog lebih cepat mengantisipasi. Pembelian mesti dilakukan jauh-jauh hari, supaya tidak anjlok seperti sekarang. Petani itu tidak menuntut yang ma-cammacam. Dia hanya ingin harga sesuai dengan floor price. Sudah. Dan ini tuntutan yang fair. Kalau tidak, apa gunanya Bulog? Dan mestinya, Bulog jangan kaget. Jangan nervous. Saya pastikan, kalau harga dasar tidak disangga, petani bisa sangat kecewa. Dan kalau petani kecewa, tahun-tahun yang akan datang dia tidak mau menghasilkan padi lagi. Dia bisa switch ke komoditi komersial lainnya. Kalau begitu, produksi tidak bisa memenuhi konsumsi. Presiden sudah minta Bulog beroperasi. Tapi ada tabel refaksi untuk mengontrol harga sesuai dengan standar mutu.... Pemerintah jangan mengada-adalah. Penuhi saja apa yang sudah ditetapkan selama ini. Kualitas, misalnya, jangan karena surplus lalu kualitas diketatkan. Ini tidak fair. Tapi juga jangan dilonggarkan. Kalau dilonggarkan, petani tidak pernah mampu meningkatkan kualitas. Jadi, apa yang sudah dijanjikan harus dipenuhi. Dan Bulog juga perlu diingatkan bahwa ini hanya satu tahun. Tahun depan mungkin lain ceritanya. Surplus sekarang kan cuma sekitar 7%, tapi kita panik. Malangnya, surplus itu berdekatan dengan Lebaran. Petani butuh uang. Maka petani menjual semua gabahnya. Siapa tahu, setelah Lebaran lain situasinya. Apakah situasi oversuplai ini akan membaik setelah Lebaran? Saya pikir masih tetap di bawah harga dasar, tapi tidak seburuk saat ini. Sekarang harga turun sampai Rp 100 di bawah harga dasar. Ini sangat terasa pengaruhnya, terutama bagi petani dengan lahan kecil. Apakah harga dasar yang sekarang ini sudah pantas? Dibandingkan dengan harga beras di luar negeri bagaimana? Memang sedikit lebih tinggi dari negara-negara tetangga di ASEAN. Mereka sekitar Rp 300. Tapi jauh lebih rendah ketimbang Jepang. Namun perlu diingat, tak lama lagi, persoalan oversuplai tak lagi dapat dipecah-kan dengan harga dasar. Ini terjadi jika Bulog tak lagi dapat menyangga harga dasar. Masalahnya, ada tidaknya policy nasional untuk menangani over-suplai. Policy seperti apa? Kita perlu reorientasi pembangunan pertanian secara menyeluruh. Termasuk hubungannya dengan pembangunan industri, perdagangan, dan policy penyebaran penduduk. Secara singkat bisa dijelaskan? Produksi kita meningkat, harga akan turun. Ini menggembirakan, tapi karena harga turun, petani akan menderita. Suatu kali, penurunan harga itu tak dapat terkejar lagi oleh operasi Bulog. Dan ini akan lebih menyengsarakan, terutama bagi petani berlahan sempit. Karena itu, kita sudah harus mulai berpikir untuk mengurangi jumlah petani. Tapi hal itu tak boleh dipaksa dengan mekanisme harga, sebaiknya melalui penciptaan lapangan kerja. Tentu harus ada kebijaksanaan nasional untuk menyedot tenaga kerja pertanian itu. Pengembangan industri, perdagangan, dan jasa harus dapat menyerapnya. Kalau sektor-sektor itu tidak berkembang cepat, pengalaman pahit akan terulang. Akan terjadi oversuplai seperti sekarang, sedangkan Bulog tidak mampu menyangga harga dasarnya. Petani akan jera, lalu dia tidak akan berproduksi lagi, dan kita akan kekurangan beras lagi. Jadi, menurut Anda, agar tahan terhadap fluktuasi harga, pertanian padi sawah sebaiknya ditangani oleh konglomerasi atau perkebunan besar? Saya berbicara mengenai 25 tahun mendatang. Saya tidak menganjurkan ke konglomerasi atau perkebunan besar. Tetap saja satuan usaha tani keluarga. Katakan kalau sekarang rata-rata mereka punya sepersepuluh hektare, akan makan waktu panjang untuk membuat mereka punya satu hektare satu keluarga. Mungkin baru akan terjadi 25 tahun lagi. Karena dia mengelola lebih luas, ketika harga turun, pendapatannya tidak turun banyak, mungkin bahkan meningkat. Dan ini bukan hanya untuk padi, tapi juga semua komoditi unggulan kita yang sekarang oversuplai, seperti cengkeh, jeruk, karet, kelapa, dan rempah-rempah. Jadi, kalau dalam pembangunan pertanian kita 25 tahun yang lalu sudah excellent peningkatan produksinya, masalah 25 tahun mendatang adalah bagaimana meningkatkan pendapatan petani.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus