KETIKA padi mulai menguning tiga bulan lalu, para petani sudah mengangan-angankan Lebaran yang serba wah. Panen diperkirakan jatuh sekitar bulan suci Ramadan, dan hasilnya tentu akan sangat meringankan beban mereka saat menyambut Idul Fitri. Tapi, mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Perhitungan masa panen memang tepat. Tapi angan-angan yang serba wah sirna begitu saja bersama harga gabah yang anjlok saat padi dituai. Peristiwa mengenaskan ini terjadi hampir di seluruh sentra produksi di Pulau Jawa. Di Karawang, Jawa Barat, yang sudah terkenal sebagai lumbung beras sejak zaman penjajahan Belanda, sekilo gabah kering hanya dihargai Rp 180. Harga itu jauh berada di bawah harga sekilo cabe (Rp 3.000) ataupun sekilo timun (Rp 1.000). Mengapa bisa begitu? Menurut tengkulak dan pengurus KUD setempat, gabah yang dilego pak tani masih basah, lantaran beberapa hari belakangan tak cukup sinar matahari untuk mengeringkannya. Kasus serupa terjadi di Bojonegoro (lumbung beras Jawa Timur) serta pusat-pusat produksi padi di Jawa Tengah. Kejadiannya sama, gabah dihargai jauh di bawah harga dasar yang ditetapkan Pemerintah, yakni Rp 210 sampai Rp 220 per kilo. Sama seperti di Karawang, di Jawa Timur dan Jawa Tengah pun ada beberapa KUD yang tak berani membeli gabah hanya karena komoditi itu kurang cukup disentuh matahari. Penolakan tersebut sangat disesalkan, tapi KUD toh tak bisa disalahkan sepenuhnya. ''Kendati berjiwa sosial, KUD tak boleh rugi,'' kata Subiakto Tjakrawerdaja, Dirjen Bina Usaha Koperasi. Ternyata, dari gabah yang tak cukup kering, timbul dampak berantai. KUD menolak hasil panen petani, SubDolog menolak penawaran KUD, dan akhirnya Bulog menolak tawaran Dolog. KUD Jatisari Kabupaten Karawang terpaksa gigit jari karena 30 ton berasnya ditolak Dolog dengan alasan kurang bagus. ''Padahal menurut kami sudah cukup bagus,'' ucap Koesnidar, ketua KUD Jatisari. Di Jawa Tengah keadaannya lebih parah. Tapi petani di Salatiga justru cukup jeli. Ketika mengatahui nasib panen begitu menye dihkan, petani yang padinya belum berbuah lalu mengambil kepu tusan radikal. Mereka membabat habis padi yang belum berbuah itu, lalu dijual sebagai makanan kuda. Harganya seikat bisa Rp 1.500 hingga Rp 2.000. Jelas, lebih menguntungkan ketimbang menjual gabah. Perhitungannya, dari lahan seluas 100 m, misalnya, bisa diperoleh 10 ikat pakan kuda, atau setara dengan Rp 20.000. Padahal, kalau menunggu panen, paling banyak diperoleh 20 kg beras seharga Rp 10.000. Jadi, lebih untung berdagang dengan tukang delman ketimbang dengan KUD. Sikap ''menjauhi KUD'' ini juga tampak pada petani Karsit dari Desa Gintungkerta, Karawang, yang lebih suka menjual gabahnya kepada tengkulak dengan harga Rp 210 per kg. Soalnya, dengan gabah yang sulit kering, pengurus KUD sering alot dalam tawar-menawar. ''Padahal kami butuh uang dengan segera,'' ujar Karsit terus terang. Dalam kemelut kejatuhan harga gabah itu ketika Bulog tiba-tiba seperti tak berdaya Presiden Soeharto justru cepat bertindak. Untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi petani, pekan lalu ia menginstruk-sikan agar Bulog membeli seluruh hasil panen petani. Implikasinya, KUD harus membeli hasil panen sesuai dengan harga dasar yang ditetapkan, yakni Rp 245 sampai Rp 340 per kg. Dengan kata lain, berpedoman pada instruksi itu saja, gabah yang berkadar air 25%, kotoran 10%, butir hijau 10%, rusak 3%, dan berbutir merah 3%, tetap harus ditampung KUD dengan harga Rp 245. Sedangkan gabah kualitas terbaik, harga belinya tak boleh kurang dari Rp 340. Jauh berbeda dari situasi sebelumnya, ketika in struksi belum ada. ''Untuk gabah yang kami anggap paling baik pun, KUD hanya memberi harga Rp 230,'' kata seorang petani di Jawa Timur. Setelah KUD, pada gilirannya tentu SubDolog, Dolog, dan Bulog pun harus melakukan pembelian. Tapi itu tak mudah. Soalya, mereka kini sedang menghadapi masalah stok. Dolog Jawa Timur, misalnya, masih memiliki sisa beras tahun lalu sebanyak 310 ribu ton. Sedangkan di gudang-gudang Bulog, kini tersimpan stok 1,9 juta ton. Selain itu, risiko rendahnya kualitas gabah (lantaran hujan) juga cukup merepotkan kali ini. Seorang pejabat Bulog mengatakan, rendahnya mutu gabah akan menyebabkan beras yang dihasilkan menjadi tidak tahan lama dan mudah rusak. Dan ujungujungnya diperkirakan, tahun ini Bulog akan kembali mengalami defisit. Seperti diketahui, tahun lalu Bulog defisit Rp 69 miliar karena harus menyangga 2,1 juta ton beras. Nah, jika benar tahun ini Bulog akan kembali melakukan pembelian hingga 1,7 juta ton, berarti defisit bisa terulang. Tapi, itulah risiko yang harus ditanggung Pemerintah, yang selama delapan tahun ini berusaha mempertahankan swasembada beras. Menurut beberapa pengamat ekonomi, jika Pemerintah tak segera tu run tangan, langkah yang diambil oleh petani Salatiga (membabat padi sebelum berbuah) bukan mustahil akan ditiru oleh petani lain. Paling tidak, mereka akan enggan menanam padi dan menggantinya dengan tanaman lain. Petani di beberapa daerah di Jawa Tengah, misalnya, kini banyak yang menanami sawahnya dengan cabai karena hasilnya jauh lebih bagus (harga cabai di tingkat tengkulak saat ini Rp 2.500 sampai Rp 3.000 per kg). Nah, kalau langkah seperti itu merebak ke mana-mana, bukankah swasembada beras bisa terancam? Mungkin, berdasarkan perhitungan itu pula, Pemerintah baru-baru ini menurunkan suku bunga kredit untuk Bulog, KUD, dan petani. Di samping itu, untuk menyangga seluruh panen, Pemerintah telah pula menyiapkan sejumlah dana yang cukup besar. Menteri Bustanil Arifin sudah pula menegaskan bahwa program Bulog tahun 1993-94 ini akan melibatkan kredit Rp 1,3 triliun. Budi Kusumah, Ahmad Taufik, Ida Farida, Ivan Haris, dan Iwan Qodar Himawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini