Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Maimunah, warga Pulau Terong, Batam, hanya menggelengkan kepala ketika Tempo menyebut nama Sukarno, Soeharto, Abdurrahman Wahid, dan Susilo Bambang Yudhoyono. Sebaliknya, ia buru-buru menyahut ketika diajak berbicara tentang Mahathir Mohamad dan Lee Kuan Yew. "Mahathir itu berani, saye dengah pidatonya di radio," kata perempuan 65 tahun itu, Kamis pekan lalu. Rusmini, murid kelas II sekolah dasar di Pulau Pecong, Batam, juga begitu fasih menyanyikan Negaraku—lagu kebangsaan Malaysia—dan Majulah Singapura, lagu kebangsaan Singapura. "Kat sini sering dengah lagu itu," ujar bocah sembilan tahun itu.
Penduduk dua pulau terluar Indonesia itu berhadapan langsung dengan Johor, Malaysia, dan Singapura. Tanpa listrik, apalagi sinyal telepon seluler, siaran radio menjadi satu-satunya hiburan bagi 400-an keluarga di kedua pulau itu. Celakanya, siaran radio yang tertangkap apik di daerah itu adalah siaran dari negeri seberang. Siaran radio lokal cenderung memble, suaranya timbul-tenggelam.
Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Iswandi Syahputra menyebutkan, dari 30-an siaran radio yang tertangkap di Bengkalis, Riau, misalnya, hanya dua yang berbahasa Indonesia. Itu pun tidak terdengar jernih. Masyarakat setempat menyebutnya: spleteran. Sebaliknya, suara dari seberang begitu kuat masuk ke ruang publik Indonesia. "Ini intervensi frekuensi," kata Iswandi.
Rabu dua pekan lalu, pemerintah Indonesia dan Malaysia melakukan pengukuran bersama. Tujuannya, mengetahui kekuatan atau kapasitas frekuensi. Hasilnya, menurut juru bicara Kementerian Komunikasi dan Informatika Gatot Dewa Broto, amplitudo gelombang radio yang dipancarkan lembaga penyiaran lokal dan tetangga masih berada di bawah ambang batas yang ditetapkan International Telecommunication Union (ITU) sebesar 40 decibels milliwatt (dBm). "Paling tinggi 30 dBm," kata Gatot.
Artinya, Gatot menambahkan, kecil kemungkinan terjadi interferensi. Interferensi adalah interaksi antargelombang. Misalnya, satu frekuensi berdempetan dengan frekuensi lain sehingga menyebabkan gangguan. "Hanya ada istilah interferensi di kamus kami. Tidak ada intervensi," kata Gatot.
Sebaliknya, menurut Iswandi, bila kekuatan pancar radio tetangga mendesak kuat masuk ke wilayah udara Indonesia, "Itu berarti intervensi." Iswandi mempertanyakan peran Badan Monitoring, unit pelayanan teknis Kementerian Komunikasi di daerah. "Bolak-balik melakukan pengukuran, tapi tidak jelas tindak lanjutnya. Siaran asing tetap mendominasi."
Ahli teknologi informasi asal Institut Teknologi Bandung, Onno W. Purbo, menegaskan sinyal radio tidak kenal batas administratif daerah atau negara. Tapi pakar teknologi informasi lain, Ruby Zukri Alamsyah, mengatakan pembatasan bisa dilakukan. Prinsipnya seperti base transceiver station. BTS memiliki daerah cakupan yang luasnya bergantung pada kuat-lemahnya pancaran daya dari sinyal yang dikirim. Ruby menyebutkan Indonesia bisa menggunakan jammer untuk memblokir frekuensi-frekuensi yang memiliki kekuatan berlebihan. "Intinya, secara teknis bisa tapi perlu bujet besar." Karena itu, harus dipertimbangkan matang, kepentingan mensterilkan frekuensi udara di perbatasan.
Toh, Kementerian Komunikasi menilai belum ada pelanggaran atas masuknya siaran asing di perbatasan. Pelanggaran pernah terjadi beberapa tahun lalu. Saat itu digelar pacuan kuda di Singapura. Tapi para bandar menggelar lapak judi di Batam. Mereka didukung siaran televisi yang dipancarkan kuat sekali ke Batam. Saat itu juga pemerintah Indonesia memprotes. Kalaupun saat ini ada pelanggaran, menurut Gatot, itu dilakukan lembaga penyiaran tidak berizin alias ilegal yang tidak memiliki komitmen menjaga daerah jangkauan siaran.
Nun jauh di Pulau Pecong dan Pulau Terong, Batam, radio Era, Warna, Surya, dan Ria asal Singapura dan Malaysia terus mengalunkan lagu-lagu Melayu mulai pukul 9 pagi hingga 4 sore. Orang sengaja menyetel radio keras-keras. "Supaye yang laen dengah," kata Muhammad Mizan, putra Maimunah.
Retno Sulistyowati, Rumbadi Dale (Batam)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo