Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Teks itu membuat saya gentar. Seorang teman dekat meminta saya mengadaptasi lakon Schiller, Die Räuber (Rampok). Schiller nama besar dalam sastra Jerman abad ke-18; ia disandingkan dengan Goethe; dan cerita yang harus saya sadur sebelumnya telah disadur oleh satu nama besar sastra Indonesia, Rendra. Bagaimana saya bisa melakukan yang lebih baik?
Ternyata Die Räuber bukan sebuah lakon yang cocok untuk saya. Saya membacanya dalam versi Inggris, tentu, untuk membantu bahasa Jerman saya yang berantakan. Kesimpulan saya, Die Räuber——yang ditulis ketika Schiller baru berumur 21—tak lebih dari sebuah melodrama dengan dialog yang berlarat-larat dan melambung.
Tapi di zamannya, Die Räuber diterima dengan gemuruh. Pertunjukan perdananya di teater nasional Mannheim pada 1782 menarik penonton dari kota-kota lain. Mereka bertepuk untuk tiap ucapan yang menggugah dan menangis untuk tiap adegan yang menyentuh. Die Räuber——seorang penulis sejarah menyebutnya "a powerful nonsense"——ternyata punya daya pukau di masyarakat kota Jerman masa itu: masyarakat yang merasakan hukum telah terpisah dari keadilan dan agama telah jauh dari ketulusan.
Karl Moor, tokoh utama lakon ini, adalah pemimpin gerombolan perampok yang menjarah tuan tanah yang loba dan menolong yang tak berdaya. Sekaligus Die Räuber juga sebuah cercaan kepada para padri yang menjual Tuhan dengan harga "10 picis".
Sikap dan tindakan moral dalam hidup, bagi Schiller, lebih mulia ketimbang kaidah yang ditentukan Takhta dan Agama.
Tidak mengherankan. Agama adalah kekecewaan besar Schiller. "Agama yang mana yang aku akui? Tak satu pun dari yang tuan sebutkan kepada saya. Dan kenapa demikian? Karena agama"——itu pernyataannya yang terkenal.
Ia hidup di Eropa yang masih luka dan teperdaya.
Hampir semua karya teaternya mengandung latar sejarah ketika Eropa dilanda perang agama antara Katolik dan Protestan yang berlangsung pada 1618-1648, perang yang menjanjikan surga tapi merusak hampir semua sudut kehidupan. Dengan nada yang tak bisa datar dan dingin, Schiller bahkan pernah menulis tiga jilid buku sejarah tentang Perang 30 Tahun itu.
Sikapnya memang negatif terhadap Gereja Katolik. Tapi ia bukan orang yang berat sebelah. Mungkin karena ia seorang penulis lakon. Teater adalah proses yang efektif untuk menyelamatkan seseorang dari kesatu-sisian. Lakon, baik dari kata "laku" maupun dari kata Inggris play, mendorong tiap pandangan a priori ke dalam gerak yang ditentukan oleh gerak itu sendiri. Di panggung, premis awal bisa berkembang atau berkurang, berkelok atau berputar. Dan akhirnya: beraneka gema. Die Räuber, yang bagi saya bombastis, ternyata disambut dengan seru kekaguman oleh penyair Inggris terkenal, Samuel Taylor Coleridge.
Dengan kata lain, sebuah karya teater adalah jalan yang arahnya tak terduga. Lakon Schiller, Maria Stuart, misalnya: cerita dua ratu yang berebut takhta Inggris——tapi juga perseteruan kekuatan Katolik dan Protestan. Yang menang——sesuai dengan catatan sejarah abad ke-16—adalah Elizabeth yang Protestan. Tapi lakon ini tak urung menunjukkan bahwa Mary yang Katolik adalah yang akhirnya melepaskan diri dari segala yang palsu dalam dirinya. Sementara itu Ratu Elizabeth adalah contoh tiadanya hati yang tulus dalam Realpolitik. Takhta adalah candu bagi raja-raja. Agama bukan penangkalnya; ia dalihnya.
Itu juga yang terdapat dalam Don Carlos: Raja Spanyol, Philip II, bersengketa dengan anaknya sendiri, Don Carlos. Keduanya memperebutkan hati seorang perempuan, tapi konflik dalam lakon Schiller yang ketiga ini lebih dalam: di satu pihak ada para pembesar kerajaan yang hendak meneruskan penindasan di Flanders; di lain pihak ada Marquis Posa, sendirian, seorang Protestan yang selama itu menyembunyikan agamanya. Ia mencoba membujuk Philip II untuk memberi rakyatnya kemerdekaan beragama. Lihat orang-orang yang lari dari Spanyol untuk menyelamatkan iman mereka, kata sang Marquis. Mereka diterima Inggris—dan membuat kerajaan Ratu Elizabeth itu berkembang, sementara Granada, di Spanyol, terbengkalai.
Tapi Marquis Posa gagal. Ia mati terbunuh. Spanyol tak membuka pintu ke arah kemerdekaan berbeda agama. Untuk memperkuat dasar kekuasaannya, Philip mengundang Inquisitor Agung, padri pengusut dan penjaga iman, bagian yang paling intoleran dari Gereja Katolik Spanyol.
Dalam lakon Schiller, sang Inquisitor adalah seorang amat tua yang buta dan kejam: suara masa lalu yang tak mau melihat perubahan, pemimpin agama yang memandang manusia sebagai makhluk yang gelap. Dengan bantuannya, Raja Spanyol siap menghabisi Don Carlos, anaknya sendiri, yang juga sahabat Marquis Posa.
Agama dan kekuasaan perlu ketat dan tetap; kalau tidak, kata sang Inquisitor, keduanya akan cair ke udara.
Syahdan, agama dan takhta Philip II pun menang.
Tapi ternyata kemenangan bukan titik akhir. Dalam lakon Wallenstein’s Tod, bangsawan Bohemia itu menggasak pemberontakan Protestan melawan Imperium Austria yang Katolik. Para prajuritnya, tentara bayaran yang ganas, berseru: "Kemerdekaan telah sirna dari bumi/ Dan orang cuma melihat Tuan dan Hamba.../ Hanya yang berani mati, serdadu, yang jadi manusia merdeka." Der Soldat allein ist der freie Mann!
Schiller akan menganggap teriakan itu gejala "misantropi", kebencian kepada manusia, dan "misantropi adalah bunuh diri berkepanjangan". Sebab "bila aku membenci, aku mengambil sesuatu dari dalam diriku; bila aku mencinta, aku diperkaya oleh yang aku cintai".
Saya tak tahu apakah ia menganggap agama sebuah misantropi, dan benarkah cinta tak akan mungkin di sana.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo