Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah segera menerbitkan peraturan presiden tentang harga pembelian listrik energi terbarukan oleh PLN.
Target bauran energi nasional 2025 terancam tak tercapai.
Dukungan kepada pengembang EBT tak hanya berupa penetapan tarif, tapi juga berbagai insentif fiskal.
RANCANGAN peraturan presiden mengenai pembelian tenaga listrik energi baru dan terbarukan oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) akhirnya kelar. Tarik-ulur pembahasan di tingkat kementerian mulai mengerucut pada Agustus lalu. “(Masih) harmonisasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia,” kata Ida Nuryatin Finahari, Direktur Panas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Rabu, 2 September lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aturan baru ini diharapkan bisa segera terbit bulan ini, molor dari rencana awal pemerintah pada semester pertama lalu. Selain melibatkan Kementerian Energi, pembahasan yang dimulai 18 bulan lalu ini diikuti Kementerian Keuangan dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
F.X. Sutijastoto, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian Energi, mengungkapkan kendala utama dalam pembahasan itu adalah menyamakan persepsi mengenai harga keekonomian yang wajar dan terjangkau untuk mendorong pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT). Saat ini, pasar EBT dalam negeri masih kecil dan belum mencapai skala keekonomian. Walhasil, harganya relatif mahal.
Ia mencontohkan, skala keekonomian pembangkit listrik tenaga surya adalah 300 megawatt (MW). Faktanya, skala di pasar domestik sekarang rata-rata masih 100 MW per tahun. Karena itu, Sutijastoto menuturkan, “EBT harus didorong untuk mencapai skala keekonomian supaya harga bisa turun.”
Pengembangan EBT bak jalan di tempat. Empat tahun terakhir, rata-rata pertumbuhan kapasitasnya hanya 500 megawatt. Tanpa upaya serius, terutama berupa dukungan dari pemerintah, menurut Sutijastoto, hanya akan ada tambahan kapasitas pembangkit listrik EBT sekitar 2.500 megawatt pada 2025. Padahal Indonesia memerlukan tambahan kapasitas 9.000-10.000 megawatt untuk mencapai target kontribusi 23 persen EBT pada bauran energi nasional 2025.
Untuk mendorong pengembangan pembangkit listrik EBT, dia menjelaskan, pemerintah menilai perlu pengaturan kebijakan harga keekonomian yang wajar dan terjangkau. Supaya harga terjangkau, pemerintah juga akan memberikan insentif kepada pengembang EBT. “Itu semua dituangkan dalam rancangan perpres tentang harga EBT ini.”
Dalam naskah terakhir rancangan peraturan presiden, pemerintah mengklasifikasikan harga ke dalam tiga kelompok, yakni feed-in tariff, harga patokan tertinggi (HPT), dan harga kesepakatan. Dalam feed-in tariff, tidak ada negosiasi, juga tanpa eskalasi jangka waktu perjanjian jual-beli. Rencananya, peraturan presiden ini sekaligus berlaku sebagai persetujuan harga dari menteri.
Skema feed-in tariff diterapkan untuk pembelian setrum dari pembangkit listrik berkapasitas hingga 5 megawatt. Jenisnya meliputi pembangkit listrik tenaga air, tenaga surya, tenaga angin/bayu, biomassa, biogas, dan tenaga panas bumi.
Adapun skema HPT menggunakan negosiasi dengan batas atas mengacu pada harga patokan tertinggi yang ditetapkan dalam peraturan presiden. Harga ini juga dilengkapi skema tanpa eskalasi selama jangka waktu perjanjian jual-beli listrik. Khusus untuk pembangkit panas bumi, berlaku eskalasi selama kontrak jual-beli listrik atau uap.
Yang terakhir, skema pembelian setrum berdasarkan harga kesepakatan dilaksanakan melalui negosiasi. Hasil kesepakatan wajib mendapat persetujuan dari Menteri Energi.
Sutijastoto mengatakan skema feed-in tariff diberlakukan khusus untuk pembangkit berkapasitas di bawah 5 MW dengan cara penunjukan langsung. “Pemerintah ingin mendorong tumbuhnya para pengusaha EBT di daerah-daerah,” tuturnya.
•••
INDONESIA berkepentingan memenuhi Kesepakatan Paris dengan komitmen mengurangi efek gas rumah kaca sebesar 29 persen (usaha sendiri) dan 41 persen (dengan dukungan internasional) hingga 2030. Pemerintah telah mencanangkan target penurunan emisi gas rumah kaca sebanyak 314 juta ton CO2 ekuivalen dalam sepuluh tahun ke depan dengan total kebutuhan investasi diperkirakan mencapai Rp 3.500 triliun.
Sektor pembangkit energi baru dan terbarukan ditargetkan ikut berkontribusi dalam mencapai target tersebut. Sasarannya adalah menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 156,6 juta CO2 ekuivalen atau 49,8 persen dari total aksi mitigasi sektor energi. Untuk mencapainya, diperlukan investasi hingga Rp 1.690 triliun.
Pada saat yang sama, pemerintah juga menetapkan target bauran energi baru dan terbarukan sebesar 23 persen pada 2025. Kementerian Energi mengalkulasi, hingga paruh pertama 2020, Indonesia telah memiliki pembangkit listrik energi terbarukan dengan kapasitas terpasang 10,4 gigawatt. Sebagian besar merupakan pembangkit energi hidro dengan total kapasitas 6,07 gigawatt dan pembangkit panas bumi 2,1 gigawatt.
Petugas ME Waskita melakukan pemeriksaan instalasi panel surya di Masjid Istiqlal, Jakarta, 3 September lalu. Tempo/Tony Hartawan
Bagi Ida Nuryatin, panas bumi menjadi potensi sumber energi terbarukan dengan kapasitas faktor yang besar. “Sehingga berkontribusi signifikan pada bauran EBT dan pengurangan emisi gas rumah kaca,” katanya, Rabu, 19 Agustus lalu.
Sebelumnya, sejumlah beleid bergulir untuk mendorong pengembangan energi terbarukan, seperti Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 50 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik dan Peraturan Menteri Energi Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Tapi Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform, menilai kendala pengembangan energi baru dan terbarukan selama ini justru berupa regulasi yang cepat berubah alias tidak konsisten. “Kita bisa punya regulasi yang berubahnya 180 derajat dalam waktu singkat,” tutur Fabby, Senin, 31 Agustus lalu.
Ia mencontohkan ketentuan harga listrik yang diatur pada 2008. Aturan ini hanya berumur setahun. “Kemudian diubah lagi pada 2012 dan 2015,” ujar Fabby. Masalah ini membikin investasi baru untuk pengembangan EBT tersendat.
F.X. Sutijastoto membenarkan pendapat bahwa peraturan Menteri Energi belum akan cukup untuk mendorong lahirnya kontrak baru EBT. "Makanya, untuk membangun level kompetitif, harga EBT nanti ditentukan melalui perpres EBT. Ini sangat penting,” ucapnya.
Menteri Energi Arifin Tasrif juga mengatakan ketentuan harga yang sebelumnya berlaku tak berhasil mendorong pengembangan EBT. “Kemarin feed-in tarif diberlakukan untuk semua sehingga tidak jalan. Yang cost-nya mahal masak mau dijual murah, malah rugi," tuturnya.
•••
PEMERINTAH merancang aturan anyar yang bertaburan insentif baik fiskal maupun nonfiskal. Insentif itu misalnya fasilitas keringanan hingga pembebasan pajak penghasilan, pembebasan pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan barang mewah pada kegiatan impor, serta keringanan pajak bumi dan bangunan. Yang terakhir ini akan diberikan untuk sektor energi panas bumi.
Selain itu, pemerintah menyiapkan insentif berupa fasilitas pembiayaan bunga murah untuk pengembangan energi terbarukan. Aturan baru pun akan mengatur penggantian biaya eksplorasi panas bumi. “Kami juga mengusulkan dukungan pembiayaan khusus dan penjaminan melalui BUMN yang ditunjuk,” kata Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman.
Direktur Panas Bumi Ida Nuryatin menambahkan, rancangan peraturan presiden ini juga akan mengatur mekanisme pengeboran eksplorasi panas bumi oleh pemerintah (government drilling). Kegiatan ini bakal dilaksanakan oleh Badan Geologi Kementerian Energi menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Cadangan terbukti yang ditemukan di wilayah kerja akan disertifikasi untuk kemudian dilelang.
Dengan begitu, ke depan, lelang dilengkapi data dan informasi lengkap tentang wilayah kerja panas bumi yang akan ditawarkan. Pengembang diharapkan bisa langsung menggarap wilayah kerjanya tanpa melalui tahap survei dan eksplorasi, kegiatan yang paling berisiko. Selama ini, untuk membuktikan cadangan uap panas di suatu area setidaknya diperlukan pengeboran tiga sumur dengan biaya US$ 3-12 juta per sumur. Ida memperkirakan, tanpa risiko pengeboran eksplorasi, harga bisa terkoreksi US$ 0,5-2,5 sen per kilowatt-jam.
Menurut dia, Kementerian Energi menghentikan lelang wilayah kerja panas bumi (WKP) pada 2020 dan 2021. “Kami tambahi data dulu. Di 2021 kami mulai pengeboran. Di 2022 mungkin baru ada lelang WKP.”
Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia Prijandaru Effendi mengatakan pembahasan rancangan peraturan presiden juga melibatkan pelaku usaha. Salah satu usul asosiasinya adalah pemerintah mengatur tarif sesuai dengan keekonomian proyek. “Saya berharap rancangan aturan ini memberi kepastian untuk mendukung pengembangan panas bumi,” katanya.
Direktur Utama PT Geo Dipa Energi (Persero) Riki Firnandha Ibrahim mengusulkan kontrak jual-beli listrik untuk pembangkit tenaga panas bumi baru nantinya bisa diperpanjang menjadi 50 tahun (long run marginal cost) agar harga keekonomian proyek bisa mendekati biaya pokok penyediaan listrik PLN. Saat ini umumnya jangka waktu perjanjian hanya 25-30 tahun. Padahal masa operasi pembangkit panas bumi bisa mencapai 100 tahun. “Diperpanjang kontraknya sampai 60 tahun misalnya, supaya harga jadi lebih murah," ucapnya.
Juru bicara PLN, Arsyadany, enggan berkomentar karena rancangan regulasi baru belum diundangkan. Ia hanya menegaskan bahwa PLN bertugas menjalankan kebijakan pemerintah. Hal-hal yang terkait dengan negosiasi (harga) pun harus disetujui oleh kedua pihak dan diketahui pemerintah.
Namun Executive Vice President Energi Baru dan Terbarukan PLN Zulfikar Manggau dalam paparannya di focus group discussion tentang pengembangan energi panas bumi, tantangan, dan terobosan ke depan, 11 Juni lalu, mengungkapkan bahwa harga pembangkit panas bumi akan murah setelah 20 tahun atau sesudah masa loan repayment berakhir. Senada dengan Riki, ia mendorong pemerintah mengatur perpanjangan kontrak. Dia mencontohkan pembangkit geotermal Larderello di Italia yang beroperasi lebih dari 100 tahun, Begitu pula pembangkit panas bumi Wairakei di Selandia Baru yang punya masa operasi lebih dari 60 tahun. “Sedangkan Kamojang sudah lebih dari 35 tahun,” ujarnya.
RETNO SULISTYOWATI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo