Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Para Perempuan di Hadapan Taliban

Para perempuan juru runding perdamaian dengan Taliban di Afganistan terus diancam dan diserang. Tak lelah menuntut hak-hak perempuan.

5 September 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Seorang ibu dan anak perempuan mencari perlindungan kepada tentara Amerika Serikat, di Kandahar, Afghanistan, November 2015. Reuters/Tim Wirbone

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Aktivis perempuan Afganistan, Fawzia Koofi, dan putrinya lolos dari maut dalam tragedi penembakan di dekat Kota Kabul.

  • Memperjuangkan isu dan hak perempuan dalam perundingan perdamaian pemerintah Afganistan dengan Taliban.

  • Sejumlah aktivis perempuan di Afganistan tak menyerah meski mendapat tekanan hingga ancaman pembunuhan.

LUKA bekas tembakan di tangan kanan Fawzia Koofi masih dibebat. Berhari-hari setelah serangan kelompok bersenjata yang hampir merenggut nyawanya pada 14 Agustus lalu, politikus dan pejuang hak asasi perempuan Afganistan itu masih dihantui mimpi buruk. Koofi mengingat putrinya, Shuhra, yang terus menggenggam tangannya yang berdarah dalam perjalanan ke rumah sakit di Kabul. “Dia terus memintaku tak menutup mata,” kata perempuan 45 tahun itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selesai menjalani perawatan di rumah sakit di Kabul, Koofi memutuskan langsung kembali bekerja. Seperti dilaporkan Reuters pada Jumat, 28 Agustus lalu, Koofi akan kembali ke meja perundingan menghadapi Taliban, kelompok milisi Islam yang pernah berkuasa di Afganistan selama 1996-2001.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Koofi adalah satu dari lima perempuan dalam delegasi pemerintah Afganistan yang bernegosiasi dengan tim Taliban, yang seluruhnya berisi laki-laki. Mereka mendapat tugas dari pemerintah untuk menjamin hak-hak perempuan tidak dikorbankan selama perundingan. Perundingan itu akan dimulai pekan ini di Doha, Qatar. “Kehadiran perempuan Afganistan dalam pertemuan dengan Taliban menunjukkan bahwa kami mendukung kemerdekaan, kesetaraan, dan hak asasi perempuan,” ujar lulusan Geneva School of Diplomacy, Swiss, itu.

Pemerintah berusaha mencapai kesepakatan damai dengan Taliban. Amerika Serikat, yang menginvasi Afganistan pada 2001 untuk menggulingkan rezim Taliban, adalah penyokong utama upaya negosiasi ini. Perundingan itu dinilai bisa mengakhiri konflik berdarah yang mendera negeri tersebut dalam empat dekade terakhir.

Namun Afganistan masih dibelit perpecahan dan konflik. Dalam beberapa tahun terakhir, Taliban terus menambah kekuatan dan memperluas wilayah kekuasaannya. Pasukan pemerintah kerepotan membendung tekanan Taliban karena tak lagi mendapat sokongan penuh militer Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).

Jalan menuju perundingan dibuka dengan sejumlah komitmen setiap pihak. Sesuai dengan kesepakatan, Amerika menarik pasukannya dan hanya menyisakan sekitar 8.600 personel militer dari sebelumnya sekitar 12 ribu prajurit. Lima pangkalan militernya juga sudah ditutup.

Adapun pemerintah berjanji melepaskan 5.000 milisi Taliban dari tahanan. Taliban, sebaliknya, akan melepaskan 1.000 prajurit dan pejabat pemerintah yang mereka sandera. Sejauh ini, pemerintah telah melepaskan sekitar 4.500 tahanan Taliban. Sisanya masih ditahan karena dinilai telah melakukan kejahatan berat.

Serangan terhadap Koofi diduga terkait dengan kegiatannya yang menentang Taliban. Dalam perjalanan pulang ke Kabul setelah mengunjungi Provinsi Parwan di utara Afganistan, mobil yang ditumpangi Koofi dan Shuhra dikepung sekelompok pria bersenjata pada Agustus lalu. Berondongan peluru menyiram mobil mereka dan melukai lengan serta bahu Koofi. Sopir langsung tancap gas untuk meloloskan diri. “Untung mereka tidak mengejar kami ke Kabul. Mungkin mereka mengira saya sudah mati," tutur Koofi seperti dilaporkan Al Jazeera.

Fawzia Koofie (kanan) terbaring dirumah sakit saat menjalani perawatan akibat serangan kelompok bersenjata, di Kabul, Afghanistan, 16 Agustus 2020. Twitter @zakiaadeli

Presiden Ashraf Ghani menyebut serangan itu sebagai aksi para pengecut. Menurut Ghani, para perempuan Afganistan tidak akan menyerah dalam perjuangan mewujudkan perdamaian di negeri itu. Kepala Dewan Rekonsiliasi Nasional Abdullah Abdullah juga mengecam serbuan tersebut dan mendesak pemerintah memburu pelakunya. Adapun Taliban membantah terlibat dalam serangan terhadap Koofi.

Ini serangan kedua yang menimpa Koofi. Pada 2010, konvoi kendaraan yang ditumpanginya dari Provinsi Nangarhar juga disergap dan ditembaki. Milisi Taliban diduga kuat berada di balik serangan tersebut. Apalagi kala itu Koofi telah terlibat lebih dalam di politik. Dia perempuan pertama yang menjabat wakil ketua parlemen. Relasi politiknya dengan Presiden Afganistan saat itu, Hamid Karzai, juga sangat baik. Dia bahkan disebut-sebut sebagai calon pemimpin negeri itu. “Fakta bahwa para perempuan masih terus diserang menunjukkan betapa rentannya masyarakat kita,” ucap Koofi.

Berbagai serangan itu tak menyurutkan langkah Koofi. “Ini akan diteruskan. Saya tidak akan sama lagi jika berhenti merangkul masyarakat di sini.”

Fawzia Koofi lahir di Badakhshan pada 1975. Mimpinya menjadi dokter kandas ketika Taliban mengambil alih kekuasaan pada 1996. Sejak itu, Taliban melarang perempuan bersekolah, bekerja, berpolitik, bahkan ke luar rumah tanpa pendamping kerabat pria. Urusan busana perempuan pun diatur ketat.

Koofi tak pernah mau mengenakan burka seperti yang diperintahkan petinggi Taliban. Menurut dia, burka adalah bentuk penindasan terhadap perempuan dan bukan bagian dari budaya Afganistan. Perlawanannya terhadap Taliban membuat gerakannya terbatas. Patroli Taliban kerap berkeliling kota dan memukuli para perempuan yang ketahuan tidak mengenakan burka.

Ketika Taliban jatuh, pergerakan kaum perempuan di sana mulai terbuka. Koofi langsung meluncurkan kampanye "Kembali ke Sekolah" untuk mendorong anak-anak perempuan bisa belajar lagi. Pada 2005, dia menjadi anggota parlemen. Pertarungannya menghadapi Taliban dan kelompok pendukung mereka di meja perundingan pun kian intens.

Pada Februari lalu, Koofi dan aktivis hak asasi Laila Jafari bergabung dalam negosiasi dengan Taliban di Moskow, Rusia. Kehadiran Koofi dan Laila sangat mencolok dalam ruangan perundingan yang dipenuhi 70 laki-laki. Menurut Koofi, seperti dilaporkan BBC, timnya menunjukkan bahwa Afganistan diwakili oleh beragam pandangan dan tidak lagi terikat pada satu ideologi. Orang-orang Taliban menertawai Koofi ketika dia menyarankan bahwa mereka perlu membawa perwakilan perempuan ke meja perundingan.

Seperti Koofi, perempuan yang terlibat dalam politik di sana lebih sering menuai ancaman dan kekerasan. Menurut Wali Kota Maidan Shahr, Zarifa Ghafari, tekanan terhadap perempuan masih sangat terasa di kotanya. Ghafari adalah wali kota termuda di negeri itu. "Saya banyak menerima ancaman, tapi saya tidak takut,” ujar perempuan 27 tahun itu kepada The National. “Saya justru takut mati tanpa berbuat sesuatu untuk negeri ini."

Aktivis hak asasi perempuan, Saba Sahar, juga berhasil lolos dari upaya pembunuhan pada Selasa, 25 Agustus lalu. Mobil yang ditumpangi Sahar, putrinya, dan pengawalnya ditembaki tak lama setelah meninggalkan rumah mereka di Kabul. Hanya putrinya yang tidak terluka. Empat peluru menembus perut Sahar, tapi ia selamat setelah mengalami koma selama 20 jam.

Sahar dikenal sebagai aktor dan sutradara terkenal Afganistan. Karya-karyanya banyak mengusung tema keadilan dan pemberantasan korupsi. Di kepolisian, Sahar juga mengajar tentang isu gender, tema yang sering diusungnya dalam memperjuangkan hak-hak perempuan. Perempuan 44 tahun ini juga tergabung dalam barisan penentang utama Taliban.

Amnesty International Asia Selatan mengecam serangan terhadap aktivis seperti Koofi dan Sahar. Dalam pernyataan pada 25 Agustus lalu, organisasi itu menilai meningkatnya serangan dan upaya pembunuhan terhadap pembela hak asasi, aktivis politik, jurnalis, dan aktor film sudah sangat mengkhawatirkan. “Pemerintah seharusnya melindungi mereka yang berada dalam risiko itu,” kata organisasi nirlaba pengusung hak-hak asasi manusia itu.

GABRIEL WAHYU TITIYOGA (REUTERS, BBC, AP, CNN, AL JAZEERA, THE NATIONAL)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Gabriel Wahyu Titiyoga

Gabriel Wahyu Titiyoga

Alumni Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta ini bergabung dengan Tempo sejak 2007. Menyelesaikan program magister di Universitas Federal Ural, Rusia, pada 2013. Penerima Anugerah Jurnalistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2014. Mengikuti Moscow Young Leaders' Forum 2015 dan DAAD Germany: Sea and Ocean Press Tour Program 2017.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus