Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lelang term repo yang digelar Bank Indonesia pekan lalu masih membetot banyak peminat. Sementara pada Kamis pekan lalu bank sentral memenangi lelang sebanyak Rp 2,45 triliun, dua hari sebelumnya nilai yang diambil malah mencapai Rp 24,1 triliun. “Operasi moneter ini memberi kepastian bagi bank untuk memperoleh akses likuiditas,” ujar Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bl Nanang Hendarsah.
Melalui operasi moneter itulah bank yang membutuhkan likuiditas dapat menggadaikan surat berharga yang dimiliki kepada bank sentral. Surat berharga yang dimaksudkan bisa berupa Surat Berharga Negara (SBN) atau Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
Sebelumnya, operasi moneter ini hanya digelar sesekali bila dibutuhkan. Namun, mulai 24 Januari 2019, bank sentral mengaktivasi instrumen term repo secara reguler, dengan jadwal lelang lebih teratur maksimal tiga kali dalam satu pekan. Kepastian akses tersebut penting ketika pasar uang antarbank masih tersegmentasi. “Konsentrasi likuiditas terjadi pada sejumlah bank tertentu, tapi belum mengalir merata ke semua bank,” kata Nanang.
Persoalan likuiditas memang tengah dirasakan perbankan. Ekonom Universitas Indonesia, Lana Soelistianingsih, menilai tingginya minat peserta lelang term repo mengindikasikan bahwa mereka membutuhkan dana segar.
Salah satu pemicu likuiditas seret, menurut Direktur Utama PT Bank Mayora Irfanto Oeij, adalah peningkatan penyaluran kredit yang lebih pesat ketimbang pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK). Lembaga Penjamin Simpanan mencatat pertumbuhan kredit hingga November 2018 sebesar 12,05 persen. Adapun peningkatan DPK hanya 7,19 persen.
Kondisi yang terus berlangsung hingga akhir tahun lalu itu menekan keadaan tahun ini. Apalagi kebutuhan duit tunai makin meningkat mendekati hajatan besar pemilihan presiden pada April nanti. “Celah yang makin lebar ini mendorong ketatnya likuiditas,” Irfanto menambahkan.
Bank sentral berupaya mengantisipasi berbagai faktor yang dapat mempengaruhi kondisi likuiditas ke depan. Misalnya lalu lintas modal asing yang sangat dipengaruhi ketidakpastian global, termasuk meningkatnya pertumbuhan kredit. Juga faktor musiman yang mendongkrak kebutuhan uang kartal, yang biasanya berlangsung pada periode hari besar dan libur panjang. Faktor lain adalah operasi keuangan pemerintah.
Operasi keuangan pemerintah bahkan sempat disorot sebagai penyedot likuiditas di pasar. Awal tahun ini Kementerian Keuangan memang gencar menerbitkan surat utang alias SBN. Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Riko Amir menjelaskan, pemerintah menerapkan strategi front-loading, yakni memperbanyak porsi penerbitan SBN pada semester pertama. Pertimbangannya: sebagai respons atas ketidakpastian dan volatilitas pasar global yang disebabkan oleh kenaikan Fed Fund Rate, perang dagang Amerika Serikat-Cina, keluarnya Britania Raya dari Uni Eropa (Brexit), dan fluktuasi harga minyak dunia.
“Kami juga memanfaatkan tingginya likuiditas pasar keuangan pada kuartal I dan mengamankan pembiayaan APBN,” ucap Riko, Jumat pekan lalu. Pemerintah pun mengantisipasi kemungkinan berkurangnya likuiditas pada kuartal II karena belanja masyarakat yang tinggi saat pemilihan umum dan Lebaran. Sebab, kebutuhan untuk pembayaran utang jatuh tempo pada periode itu relatif tinggi.
Riko mengatakan kebijakan front-loading tidak baru dan terbukti cukup efektif untuk mengelola kebutuhan pembiayaan anggaran negara dalam situasi yang tidak pasti. Tahun lalu, misalnya, porsi penerbitan SBN pada semester I sebesar 56 persen. Sisanya diterbitkan pada semester II. Ia memastikan kebijakan ini telah mempertimbangkan potensi bunga berjalan dari penerbitan SBN, yang berada dalam batas kemampuan pemerintah.
Riko menyebutkan strategi pemerintah tidak akan mengganggu likuiditas di pasar domestik. Sebab, penerbitan pada awal tahun ini lebih banyak berupa SBN valuta asing. Tapi Direktur Utama Bank Dinar Indonesia Hendra Lie merasakan adanya pergeseran dana dari ceruk dana pihak ketiga perbankan. “Angkanya berapa, saya belum punya data,” ujarnya.
Dari beberapa SBN yang diluncurkan selama dua bulan pertama tahun ini, dua di antaranya berupa SBN retail. Instrumen investasi jenis ini, menurut Lana Soelistianingsih, bersaing ketat dengan produk deposito perbankan. Keduanya adalah Savings Bond Ritel (SBR) Seri SBR-005, yang dikeluarkan pada Januari; dan Sukuk Tabungan seri ST-003 pada Februari. Pemerintah menawarkan tingkat kupon berfluktuasi, minimal 8,15 persen, untuk SBR-005. Adapun ST-003 memiliki imbal hasil tetap, yakni 8,15 persen.
Bandingkan dengan tingkat bunga deposito yang rata-rata di kisaran 5-6 persen. Irfanto Oeij menilai hal itulah yang menyebabkan suku bunga deposito terkerek naik, bahkan terjadi “perang bunga” antarbank. “Ditambah dengan peningkatan volume penerbitan obligasi,” tuturnya. Bank Dinar termasuk yang ikut mengerek bunga simpanan. “Mengikuti perkembangan rate depo di pasar,” tutur Hendra Lie.
Hasil Lelang Term Repo Bank Indonesia
Riko menjelaskan, pemerintah menetapkan tingkat bunga berdasarkan beberapa hal, di antaranya tenor penerbitan dan kondisi pasar keuangan. Biaya dana penerbitan yang makin tinggi juga menjadi pertimbangan, mengingat Fed Fund Rate yang meningkat empat kali pada 2018 dan tiga kali pada 2017.
Pemerintah juga memperhitungkan kenaikan suku bunga acuan BI-7 DRRR sebesar 175 basis point sepanjang 2018. Tingkat kupon juga ditentukan syarat dan ketentuan instrumen itu sendiri. “Misalnya tradable- atau nontradable dan minimum holding period serta mempertimbangkan konsumen, yakni investor retail domestik.”
Riko menampik jika imbal hasil SBN yang lebih menggiurkan disebut telah menggerus dana deposan perbankan. Ia mengkalkulasi, tahun ini pemerintah akan menerbitkan SBN retail Rp 60-80 triliun. Nilai itu cuma 1-4 persen dari total dana pihak ketiga perbankan, yang per November 2018 tercatat Rp 5.573 triliun.
Di sisi lain, menurut Riko, pemerintah memiliki SBN retail yang jatuh tempo tahun ini sebesar Rp 51,2 triliun. Maka neto penerbitan SBN retail hanya Rp 9-29 triliun atau 0,2-0,5 persen DPK perbankan. Karena itu, pemerintah meminta perbankan tak terlalu khawatir. Alasannya, dengan jumlah penerbitan yang terbatas, diyakini masih terdapat ruang untuk penempatan dana di tabungan dan deposito.
Apalagi, kata dia, likuiditas perbankan yang terserap pada saat pemerintah menerbitkan SBN akan kembali ke sistem keuangan. Sebab, dana yang terhimpun akan digunakan untuk membiayai belanja negara, seperti belanja infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.
Hingga pekan lalu, “drama” berebut dana deposan masih berlanjut. Lana Soelistianingsih bercerita, selembar leaflet dikirimkan sebuah bank swasta asing menawarkan bunga simpanan sebesar 7 persen. Dua skema ditawarkan. Pertama, menyimpan dana Rp 55 juta selama enam bulan. Dana itu akan ditempatkan dalam dua instrumen, yakni tabungan senilai Rp 10 juta dan deposito Rp 45 juta. Bank juga memberi iming-iming uang kembali atau cash back Rp 500 ribu.
Skema kedua malah tak memerlukan dana besar: cukup menaruh Rp 20 juta selama enam bulan. Penempatannya adalah Rp 5 juta untuk simpanan dan Rp 15 juta di deposito. Perbedaan dengan skema pertama hanya di besaran uang kembali, yang hanya Rp 300 ribu. “Bunganya sama, sekitar 7 persen,” ujar Lana.
RETNO SULISTYOWATI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo