Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rapat di kantor Badan Pengawas Pemilihan Umum Surakarta itu nyaris tanpa debat. Diawali makan siang dengan menu nasi ayam goreng, peserta rapat membulatkan suara setelah tiga jam berbagi informasi dan data. Tim Penegakan Hukum Terpadu, yang terdiri atas perwakilan Badan Pengawas Pemilu, kepolisian, dan kejaksaan, menggelar rapat pada Kamis tiga pekan lalu itu untuk menentukan nasib Ketua Persaudaraan Alumni 212 Slamet Maarif.
Sebelumnya, Bawaslu menerima laporan pelanggaran dari Tim Kampanye Daerah Jokowi-Ma’ruf Kota Solo. Mereka menuding Slamet berkampanye ketika berorasi dalam acara tablig akbar yang digelar di Bundaran Gladak, Jalan Slamet Riyadi, Solo, pada Ahad, 13 Januari 2019. Tuduhan ini diduga terkait dengan posisi Slamet sebagai wakil ketua di Badan Pemenangan Nasional Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Setelah menerima laporan tersebut, Bawaslu menerjunkan tim ke lapangan untuk mengeceknya. Setelah mengantongi temuan di lapangan, Bawaslu kemudian membawa kasus ini ke rapat tim Penegakan Hukum Terpadu. “Kami menduga sudah ada niat berkampanye dalam acara itu,” ujar Komisioner Bidang Penindakan Pelanggaran Bawaslu Kota Surakarta Poppy Kusumo, Rabu pekan lalu.
Mereka bersepakat membawa pelanggaran Ketua Persaudaraan Alumni 212 Slamet Maarif itu ke ranah pidana. Tim membawa kesepakatan itu ke Kepolisian Resor Kota Surakarta. Atas laporan itu, penyidik memeriksa kembali Slamet dan belasan saksi. Sepekan setelah penyelidikan, polisi menetapkan Slamet sebagai tersangka. “Penetapan ini dilakukan seusai pemeriksaan para saksi dan gelar perkara,” kata Wakil Kepala Polres Kota Surakarta Ajun Komisaris Besar Andy Rifai.
Slamet Maarif./Andhika Prasetia/detikcom
Juru bicara Front Pembela Islam ini diduga melanggar Pasal 280 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Atas pelanggaran itu, Slamet terancam hukuman maksimal dua tahun penjara dan denda maksimal Rp 24 juta, sesuai dengan Pasal 492 dan 512 Undang-Undang Pemilu. Poppy tak menjelaskan perdebatan penggunaan pasal yang terjadi dalam rapat tim Penegakan Hukum Terpadu.
Menurut Poppy, pihaknya sudah mencium aroma kampanye saat undangan tablig akbar di Solo tersebar. Bawaslu, menurut dia, sejak awal sudah mengingatkan panitia agar tak menyelipkan materi kampanye di sana. Polisi pun meminta panitia membatalkan acara karena merasa tak mengeluarkan izin. Tapi panitia bergeming. Mereka menganggap tablig akbar adalah pengajian biasa yang cukup melalui pemberitahuan, tak membutuhkan izin polisi.
Karena panitia tetap ngotot, polisi mengawasi ketat tablig tersebut. Sehari sebelum acara digelar, polisi menggelar razia besar-besaran terhadap kendaraan bermotor yang masuk ke Kota Solo. Polisi juga memasang barikade beberapa ratus meter dari lokasi acara. Sebanyak 2.300 personel dikerahkan di sekitar kota dan lokasi acara. “Kami berusaha mencegah karena aksi ini ilegal, tidak berizin,” ujar Ajun Komisaris Besar Andy Rifai saat itu.
Pemerintah Kota Solo ikut bereaksi. Mereka membatalkan acara hari bebas kendaraan (car-free day) yang seyogianya digelar di Jalan Slamet Riyadi saban Ahad. Namun mereka membantah membatalkan car-free day untuk menghindari pergelaran tablig akbar. “Ada pembersihan pohon sepanjang Jalan Slamet Riyadi,” kata Kepala Dinas Perhubungan Kota Surakarta Hari Prihanto.
Meski terkepung kendala, sekitar seribu orang tetap menghadiri tablig akbar tersebut. Amien Rais adalah salah satu peserta di sana. Acara tetap berlangsung sejak pagi dengan kawalan ketat polisi. Sejumlah tokoh bergantian berorasi di atas mobil komando, dari bekas Bupati Wonogiri, Begug Purnomosidi, hingga Lieus Sungkharisma. Slamet Maarif berorasi paling akhir. Acara bubar sekitar pukul 09.30.
Bawaslu Kota Surakarta menerjunkan tim untuk mengawasi tablig akbar itu. Pihak lain yang ikut memantau adalah Tim Kampanye Daerah Jokowi-Ma’ruf Kota Solo, pelapor kasus kepada Bawaslu Surakarta.
Juru bicara Front Pembela Islam ini diduga melanggar Pasal 280 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Atas pelanggaran itu, Slamet terancam hukuman maksimal dua tahun penjara dan denda maksimal Rp 24 juta.
Bawaslu bergerak cepat seusai pergelaran tablig akbar. Mereka memanggil para saksi serta ahli politik dan bahasa. Bukan hanya itu, mereka juga menganalisis bukti-bukti pelanggaran, seperti rekaman video dan foto. Slamet Maarif ikut diperiksa sebagai saksi. Ia membantah tuduhan berkampanye di luar jadwal. “Saya tidak menyebut nama calon dan nomor urut,” ucap Slamet setelah menjalani pemeriksaan di Bawaslu, akhir Januari lalu.
Poppy Kusumo mengatakan Slamet Maarif memang tak berkampanye secara eksplisit. “Kata-katanya dikemas sedemikian rupa,” ujarnya. Ia berkeyakinan hal itu tak menghilangkan unsur kampanye. Poppy menyebut ada dua bagian yang dianggap memenuhi unsur kampanye dalam pidato Slamet yang berdurasi sekitar 17 menit tersebut.
Pertama, kata dia, Slamet bertanya ”2019 siapa presidennya?” saat berorasi di atas mobil komando. Ia melontarkan pertanyaan itu tiga kali. Massa membalas pertanyaan itu dengan meneriakkan nama Prabowo. Kalimat ini, menurut Poppy, memenuhi unsur kampanye. “Sudah ada visi dan misi yang sama antara pembicara dan audiens,” ujarnya.
Slamet diduga kembali berkampanye pada pengujung orasi. Ia meminta massa tak merusak gambar presiden dengan cara mencoblos atau mencoret. Ia pun mengajak massa tak merusak gambar kiai agar tak kualat. Kalimat ini diduga merujuk pada gambar Presiden Joko Widodo dan KH Ma’ruf Amin di kertas suara. “Dia menyuruh mencoblos foto yang lain,” tutur Poppy. Anjuran itu, kata dia, juga dianggap memenuhi unsur kampanye meski dilakukan tanpa alat peraga.
Hingga akhir pekan lalu, Slamet Maarif tak merespons permintaan wawancara Tempo. Pengacara Slamet, Mahendradatta, mengklaim kliennya bukan bagian tim kampanye nasional pasangan Prabowo-Sandiaga. “Dia tak pernah dimintai persetujuan menjadi bagian tim kampanye,” ujar Mahendradatta. Slamet mengikuti berbagai acara yang turut dihadiri Prabowo, kata dia, sebagai ulama.
Mahendradatta membantah tudingan bahwa Slamet berniat berkampanye dalam acara tablig akbar. Ia mengatakan kliennya tak pernah menyebutkan nama dan nomor urut pasangan calon presiden dan wakil presiden di sepanjang orasi. Mahendradatta juga menganggap status tersangka Slamet cacat hukum. Seharusnya, menurut dia, Bawaslu yang memproses dan menetapkan status tersangka kliennya. Lalu pihaknya bisa melakukan banding di Bawaslu Provinsi Jawa Tengah. “Ini kriminalisasi terhadap ulama,” ujarnya.
Tersandung Pidana Pemilu
MUSTAFA SILALAHI, AHMAD RAFIQ (SOLO)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo