Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Berita Tempo Plus

Neraca atau Manajemen Bobrok

Pengelolaan industri minyak dan gas dipertanyakan. Sebagian besar masuk ke kantong kontraktor asing.

7 Maret 2005 | 00.00 WIB

Neraca atau Manajemen Bobrok
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HINGGA kini perlawanan itu terus berlangsung, dari jalanan sampai gedung Dewan Perwakilan Rakyat. Mahasiswa menuntut pemerintah menarik keputusan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Di DPR, anggota Dewan bahkan mulai menyusun kekuatan: tujuh fraksi sepakat menggunakan hak angket mempertanyakan keputusan itu. Kaukus Dewan Perwakilan Daerah juga menggalang dukungan dengan tujuan sama.

DPR menilai pemerintah terburu-buru menaikkan harga BBM, sebelum menempuh sejumlah langkah yang dituntut DPR. Panitia Anggaran dan Komisi Keuangan dan Perbankan, misalnya, meminta audit harga pokok pembelian minyak mentah Pertamina. Parlemen juga menyangsikan penyaluran dana kompensasi akan berjalan transparan dan tepat sasaran.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengakui keputusan itu merupakan pilihan sulit. Pemerintah terpaksa menaikkan harga BBM rata-rata 29 persen karena setiap bulan harus memberi subsidi sekitar Rp 2 triliun. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2005, pemerintah hanya menganggarkan subsidi BBM Rp 19 triliun. Ternyata harga minyak mentah dunia jauh di atas patokan APBN, sehingga subsidi diperkirakan membengkak jadi Rp 54 triliun.

Namun, ada sejumlah perkara yang tetap dipersoalkan beberapa kalangan. Satu di antaranya menyangkut pengelolaan lapangan minyak dan gas di Indonesia. Pengamat energi Joeslin Nasution, misalnya, mengatakan seretnya dana dari bisnis minyak dan gas di Indonesia adalah akibat bobroknya manajemen di industri ini. Menurut Joeslin, pengelolaan bisnis minyak dan gas di Indonesia telah menciptakan "mafia" yang berurat-berakar. Akibatnya, penerimaan negara dari sektor itu makin lama makin kecil.

Joeslin mengungkapkan, ada sejumlah sumber dana yang kalau dikelola dengan benar bisa menambah pendapatan negara sehingga subsidi tak perlu dikurangi. Dia menyebutkan perhitungan harga minyak yang tidak transparan sampai soal biaya investasi kontraktor production sharing (cost recovery) yang seluruhnya diganti pemerintah.

Setiap tahun biaya investasi kontraktor asing ini meningkat sehingga menggerogoti jatah pemerintah, dan pada akhirnya penerimaan negara dari minyak dan gas. Biaya ini tak ada batasnya. "Berapa pun yang diajukan kontraktor asing, seratus persen diganti pemerintah," katanya.

Mantan anggota Kelompok Kerja Dewan Komisaris Pertamina, Elan Dewotono, sama sependapat. Empat tahun bekerja di Pertamina, ia sampai pada kesimpulan bahwa kebijakan pemerintahlah yang menyebabkan penerimaan negara dari industri ini terus menurun sehingga subsidi kepada rakyat dikurangi. Satu di antaranya, ya, itu tadi, pengeluaran kontraktor asing yang diganti seluruhnya dalam bentuk cost recovery.

Kerap kali, kata Elan, nilai yang diajukan kontraktor minyak disetujui pemerintah begitu saja, tanpa audit mendalam. "Siapa yang mengaudit sumur mereka yang jauh di pedalaman dan hutan sana?" ia bertanya. Keadaan makin buruk ketika Badan Pengawasan Pengusahaan Kontraktor Asing (BPPKA) dibubarkan. Fungsinya mengontrol kontraktor asing digantikan oleh Badan Pelaksana Migas.

Sejak jauh hari Elan khawatir akan perubahan itu. BPPKA saja, yang memiliki beberapa perwakilan di daerah, sulit mengontrol pekerjaan kontraktor asing, apalagi Badan Pelaksana Migas yang tak punya tangan di wilayah penambangan. Akibat berbagai kelemahan itu, penerimaan negara dari sektor ini secara proporsional menurun. Elan memaparkan data yang dimilikinya dari 1994 hingga 1999.

Pada 1999, pemerintah hanya memperoleh 52 persen dari pendapatan minyak mentah Indonesia, sedangkan kontraktor minyak mendapat lima persen. Sisanya yang 43 persen dipakai untuk biaya operasional. Padahal, pada 1997, bagian pemerintah masih sekitar 70 persen. Yang terjadi pada gas hampir sama.

Jika dijumlahkan, bagian pemerintah dari pengeboran minyak dan gas ini pada 1999 tinggal 51 persen dari sebelumnya sekitar 65 persen. Sedangkan penerimaan bersih kontraktor hanya turun dari 15 persen jadi 13 persen. Akibatnya, penerimaan negara dari sektor migas turun: sementara pada 1994 masih US$ 2,7 miliar, pada 1999 tinggal sekitar US$ 1,2 miliar.

Yang dibicarakan Joeslin dan Elan adalah kenaikan ongkos produksi yang sangat tinggi. Untuk minyak dan gas, misalnya, ongkos produksi meningkat dari sekitar 20 persen menjadi 36 persen. Faktor inilah yang sangat menguras penerimaan negara. Padahal, yang dipahami publik, bagian pemerintah dari lapangan minyak bumi adalah 85 persen, sedangkan hak kontraktor cuma 15 persen.

Pada kenyataannya, perhitungan bagi hasil itu dilakukan setelah dikurangi biaya produksi. Walhasil, penerimaan yang masuk ke kas pemerintah adalah penerimaan kotor, sementara yang ke kantong kontraktor adalah penerimaan bersih.

Elan memperkirakan angka untuk 1999-2004 tak akan jauh berbeda. Data di Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral memang menunjukkan adanya kenaikan terus-menerus biaya produksi minyak di Indonesia. Pada 1999 biaya produksinya US$ 2,25 miliar, dan pada tahun 2004 sudah menjadi US$ 3,93 miliar atau naik rata-rata 15 persen per tahun. Sebaliknya, produksi minyak Indonesia terus menurun. Sementara pada 1999 masih 1,35 juta barel per hari, pada tahun 2004 tinggal 980 ribu barel per hari. Tak aneh jika proporsi ongkos produksi yang diganti pemerintah terus meningkat.

Dalam dengar pendapat dengan DPR, medio Desember lalu, Presiden Direktur Petro China International Company di Indonesia, Wei Zhigang, mengkonfirmasi adanya kenaikan biaya produksi. Hingga November 2003, biaya produksi perusahaannya mencapai US$ 245 juta, naik dari US$ 238 juta pada 2002, sementara pemasukan ke negara hanya US$ 165 juta. Lonjakan itu, katanya, karena meningkatnya biaya proyek LPG Jabung di Sumatera.

Tak hanya soal cost recovery, kebijakan lain yang sangat fatal adalah perubahan pajak. Joeslin menyatakan, peraturan yang mengharuskan perusahaan penambangan membayar pajak meski belum menghasilkan menyebabkan kegiatan eksplorasi terhenti. Mantan anggota DPR dari Komisi Energi ini menyatakan, sejak 2002 nyaris tak ada investasi baru penambangan di Indonesia. Produksi minyak mentah akhirnya turun drastis. Hingga akhir Februari, minyak mentah yang dihasilkan hanya 800 ribu barel per hari.

Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi, Rachmat Sudibjo, mengakui kaitan yang sangat erat antara cost recovery dan penerimaan negara. Karena itu, audit dilakukan dalam tiga bentuk, yaitu pre, current, dan post-audit. Meskipun tak punya unit di daerah, dia yakin pengawasannya sudah optimal. "Kami bisa langsung pergi ke wilayah bersangkutan," katanya.

Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) juga ikut mengaudit klaim perusahaan penambangan. Meski diakuinya, badan audit pemerintah itu tak berperan penuh. "Tidak semua dicek, hanya hal tertentu saja," ujarnya. Kontrol ini, katanya, seharusnya bisa menekan beban pemerintah.

Sumur yang uzur juga menyebabkan pengeboran harus dilakukan berulang-ulang. "Tidak heran kalau biaya produksi sekarang jauh lebih tinggi dibanding dulu," kata Rachmat. Namun, dia juga mengakui, tak ada sanksi bagi kontraktor asing yang melaporkan pengeluaran yang tidak benar.

Audit yang dilakukan PriceWaterhouseCoopers pada 1999 antara lain mengkonfirmasi adanya permainan dalam ongkos produksi kontraktor. Audit itu antara lain menemukan kebocoran dalam soal pembayaran premi asuransi. Dalam tempo empat tahun, 1994-1998, ada pembayaran premi yang nilainya US$ 136 juta di atas harga pasar. Pemerintah dirugikan US$ 116 juta.

Mestinya Pertamina memang segera diaudit dan hasilnya dibuka untuk publik, paling tidak untuk parlemen. Faktanya, anggota DPR kesulitan mendapat angka yang benar dalam pengelolaan Pertamina. Itu sebabnya mereka menuntut audit. Belum lagi tuntutan itu dipenuhi, harga BBM sudah dinaikkan.

Leanika Tanjung, Dara Meutia Uning

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus