Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Di Radio, Ada Mbak Tutut

Munas VI PRSSNI di Jakarta. Siti Hardiyanti berpeluang menjadi ketua umum pengurus pusat PRSSNI periode 1989-1992. Sejumlah persoalan dihadapi pengusaha yang bergerak di bidang radio swasta.

9 Desember 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERTAMBAH lagi urusan Nyonya Siti Hardiyanti Rukmana, yang akrab dipanggil Mbak Tutut. Setelah sukses dengan jalan tol, putri sulung Presiden Soeharto ini meloncat ke radio swasta. Musyawarah Nasional VI Persatuan Radio Siaran Swasta Niaga Indonesia (PRSSNI) di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, yang berakhir Rabu pekan lalu, dengan suara bulat memilih Mbak Tutut sebagai formatur tunggal. Dengan demikian, pimpinan Radio DMC Jakarta ini berpeluang besar menduduki kursi Ketua Umum Pengurus Pusat PRSSNI periode 1989-1992. "Semua ini untuk kemajuan PRSSNI sebagai upaya berpartisipasi dalam program-program pembangunan," kata Mbak Tutut kepada TEMPO, setelah terpilih sebagai formatur tunggal. Sebenarnya, menurut rancangan tata tertib pemilihan, formatur Pengurus Pusat PRSSNI terdiri dari tiga orang, dipilih dari calon-calon yang diajukan pengurus daerah. Mbak Tutut diusulkan oleh pengurus daerah Jawa Barat. Beberapa pengurus daerah yang tidak diberi tahu sebelumnya sempat bertanya-tanya. "Padahal, kami sangat setuju kalau Mbak Tutut dipilih. Kondisi PRSSNI saat ini memang membutuhkan figur seperti Mhak Tutut," kata Amran Y.S. dari Radio Simphoni, Medan. "Paling tidak, sebagai perisai guna menghadapi masalah yang dihadapi PRSSNI," tambah seorang peserta lain. Rupanya, banyak persoalan yang mengganjal anggota PRSSNI. Persatuan radio swasta yang pertengahan bulan ini menginjak usia ke-15 itu kini beranggotakan 449 radio -- 403 mengudara di gelombang AM dan 46 FM -- tersebar di 23 provinsi. Sejauh ini ada tiga masalah yang perlu segera dicarikan jalan keluarnya. Pertama, perizinan yang harus diperbarui setahun sekali. Kedua, tunggakan biro iklan. Ketiga, diberlakukannya UU Hak Cipta atas setiap lagu yang diputar di radio. Perizinan radio swasta ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 70, dan setiap tahun diperpanjang. Ini ada kelemahannya. "Seperti STNK mobil. Ini kan memakan waktu dan biaya yang lumayan," kata Shidki Wahab, Ketua Panitia Munas PRSSNI. Selain itu, juga jadi kendala bagi pemilik radio yang ingin menambah modal melalui kredit. Kegamangan ini yang dirasakan Radio Suzana Surabaya. Dengan izin yang berlaku setahun, niat untuk menanam investasi dalam jumlah besar -- membangun gedung, misalnya -- jadi terhambat. "Untuk menanam modal besar, tentu harus melihat jauh ke depan," kata Bambang Samiaji, pimpinan radio swasta itu. Kalau perpanjangan dibatalkan? Izin setahun sekali itu, menurut Chairil Siregar dari Radio Universitas Sumatera Utara (USU), memang memusingkan. "Biasanya izin baru keluar menjelang habis masa berlakunya," kata peserta Munas dari Medan itu. Praktis, selama surat pembaruan belum keluar, secara hukum radio tersebut tergolong "radio gelap". Chairil mengusulkan agar izin jadi lima tahun sekali. Lain Chairil lain Malik Sjafei, Direktur Utama PT Radio Prambors Rasisonia Jakarta. "Izin setahun sekali itu merupakan evaluasi kelayakan radio siaran," ucap Malik. Dengan sistem ini, PRSSNI diuntungkan karena evaluasi terhadap radio siaran yang sehat dan tidak sehat bisa dilakukan setiap tahun. Sebab, kalau terlalu lama, akan sulit dikontrol. Tunggakan dari biro iklan bukan saja merepotkan, tapi sudah sampai pada taraf mengganggu kelangsungan hidup perusahaan. "Ini memberatkan karena kami harus membayar pajak penjualan di depan," kata Chairil. Kalau terus-menerus begitu, bukan mustahil banyak radio yang bangkrut. Padahal, dari 449 anggota PRSSNI, 80 persen dalam kondisi pas-pasan. Bagi radio yang besar modalnya, itu tak jadi masalah. "Mereka bisa bargaining, tak akan memutar iklan sebelum tunggakan dilunasi," ucap Shidki, Ketua Panitia Munas PRSSNI yang juga bos Radio Draba Jakarta. Jalan keluar yang diusulkan Munas, antara lain, membentuk semacam lembaga penagihan yang mendapat upah 5 persen dari tagihan. Kalau tak tertagih dalam tempo tiga bulan, maka lembaga tersebut yang harus membayar kepada radio yang tertunggak. "Sudah ada bank swasta yang mau bertindak sebagai penagih," ujar Shidki lagi. Entah kapan hal itu dilaksanakan. Rencana berdirinya lembaga penagihan itu disambut positif oleh Baty Subakti, Ketua Umum Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I). "Itu salah satu alternatif untuk memecahkan masalah tunggakan biro iklan. Tapi, apakah lembaga itu punya dana yang besar. Sebab, dia harus berani nombok," katanya. Menurut Baty, soal penagihan bayaran iklan merupakan masalah klasik dalam dunia periklanan. Sebab, setiap biro iklan membutuhkan waktu untuk menyelesaikan administrasinya. Selain itu, sering biro iklan menyebarkan iklannya ke seluruh Indonesia dan membayar sekaligus ke semua radio. Sulitnya, kalau salah satu radio belum menyerahkan bukti penyiaran, yang lain akan terhambat. Sementara itu, ada beberapa biro iklan yang mempunyai asosiasi di luar negeri, sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menyelesaikan pembayaran iklan. Kaitan antara biro iklan dan radio swasta ternyata sulit dipisahkan. Sebab, sampai saat ini iklan lewat radio masih sangat efektif, walaupun sudah ada media cetak dan audio visual. "Dari segi jangkauan, memang kalah. Tapi radio unggul dalam frekuensi. Iklan di radio bisa diulang dalam hari yang sama," kata Baty. Masalah lain yang tak kalah penting adalah royalti bagi setiap lagu yang diputar. "Ini sangat memberatkan," kata Amran Y.S. dari Radio Symponi Medan, yang juga penggemar bola itu. Di negara-negara maju, hal itu memang sudah dilakukan. Tapi kondisi di Indonesia belum memungkinkan, karena pihak produsen kaset juga berkepentingan. Sehingga, muncul iklan terselubung dengan ketentuan memutar lagu beberapa kali sehari. Kepentingan produsen lagu, menurut Chairil Siregar, cukup beralasan, mengingat TVRI dulu masih "malu-malu" mengiklankan lagu. Namun, sejak TVRI terang-terangan mengekspos melalui berbagai acara musik, kesempatan bagi radio makin sempit. "Jadi, kalau radio dikenai royalti, sebenarnya hal itu cukup memberatkan," ujarnya. Lebih-lebih, menurut rencana tak hanya lagu Indonesia, lagu Barat pun bakal dikutip royalti. Ini berdasarkan UU Hak Cipta. Menurut Rinto Harahap, pungutan royalti mulai diberlakukan per Januari 1990. Sasarannya tidak terbatas radio swasta, tapi juga RRI, TVRI, hotel, nite club, dan restoran. Berapa besarnya, "sedang dinegosiasikan," kata Ketua Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (Asiri) itu. Prakarsa royalti, seperti kata Rinto, berasal dari Yayasan Karya Cipta Indonesia. "Yayasan ini yang mendapat kepercayaan dari pencipta lagu dan pemerintah untuk bernegosiasi mengadakan pungutan terhadap lagu-lagu," katanya. Bagaimana aturan selanjutnya, masih menunggu dari pemerintah. Yang terang, "Kami tidak mengada-ada. Landasan hukumnya ada, yakni Undang-Undang Hak Cipta," tambah Rinto. Adanya keluhan bisa dipahami. Selama ini radio yang di-charge produsen, tapi nanti justru radio bisa membebankannya pada produsen bagi semua lagu yang diputar. "Jadi, sebenarnya radio tak terlalu dirugikan," kata Rinto lagi. Sjafe'i Malik dari Radio Prambors mendukung gagasan royalti bagi lagu-lagu. "Boleh-boleh saja. Toh dalam rupiah angkanya kecil," ucapnya. Tapi harus ada kejelasan kapan sebuah lagu dianggap sebagai masa promosi dan kapan dianggap bisa ditarik royalti. Ini erat hubungannya dengan perusahaan rekaman yang pada masa-masa awal lagu disiarkan akan menikmati keuntungan. Radio diuntungkan juga karena memberi hiburan gratis ke pendengarnya. Dengan royalti, radio swasta akan lebih selektif memutar lagu-lagu. Dampak positifnya ada. Radio swasta yang memikul tanggung jawab menyiarkan paket pendidikan, hiburan, dan penerangan mau tidak mau harus membuat program yang seimbang. "Jangan hanya komersial melulu," kata Direktur Jenderal Radio, Televisi, dan Film Alex Leo. Nah, untuk masalah-masalah ini, harapan ditujukan pada Mbak Tutut. Diharapkan, tidak menemui hambatan seperti meluncur di jalan tol. Yusroni Henridewanto, Muchsin Lubis, dan Rustam F. Mandayun

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus