BARANGKALI baru Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) yang memilih pengurus tak pakai "dagang sapi". Buktinya: Konvensi dan Musyawarah Nasional ke-4 KAHMI di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, yang berakhir Ahad lalu, lebih merupakan acara "kangen-kangenan" ketimbang forum tarik urat leher menggolkan ketua baru. Tapi, itu bukan berarti bahwa KAHMI merupakan organisasi tak penting. Melihat mereka yang datang, organisasi yang menghimpun sarjana dari berbagai disiplin ilmu ini terhitung organisasi tak mungkin dilecehkan. Pada acara pembukaan Munas, tampak hadir kader-kader HMI, seperti Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Akbar Tandjung, Ketua Umum PPP Ismail Hasan Metareum, sampai pendiri HMI (yang sekarang jadi anggota Dewan Pertimbangan Agung) Prof. Lafran Pane. Sementara itu, Menteri Muda Pertanian Prof. Syarifuddin Baharsyah dan Gubernur Sulawesi Tenggara H. Alala bahkan menyempatkan diri jadi pembicara dalam acara temu ilmiah KAHMI. Tak berlebihan bila Presiden Soeharto -- dalam sambutan tertulisnya yang dibacakan oleh Menteri Dalam Negeri Rudini pada pembukaan Munas -- menilai Korps Alumni HMI sebagai organisasi yang penting. Mengapa KAHMI, yang dinilai penting oleh Presiden Sqeharto, selama 12 tahun tak menyelenggarakan Munas? Tak jelas, apa yang mengganjal. Ada yang menyebut, karena beda persepsi dengan HMI mengenai aktivitas KAHMI. Kabarnya, HMI menghendaki KAHMI "tak bermain di luar rumah". Sekalipun antara HMI dan KAHMI tak ada hubungan formal sama sekali. Dugaan lain, yang menyebabkan Munas KAHMI mulur, berkaitan dengan lahirnya Undang-Undang Keormasan. Dengan banyak anggota di pemerintahan, KAHMI seperti dituntut jadi "panutan" bagi organisasi lain, yang mempersoalkan Undang-undang Keormasan. Itu ternyata tak mudah bagi KAHMI -- yang mengukuhkan diri sebagai ormas setelah sarasehan terakhir (dari tiga rangkaian) di Jakarta, 12 Juni 1988. Itu terlihat, antara lain tampak pada penamaan pertemuan mereka di Hotel Sahid Jaya. Mereka menyebut pertemuan itu "konvensi" bukan "kongres". Alasan pemilihan kata konvensi itu, menurut Ketua Panitia Ahmad Nurhani, agar mengesankan kekeluargaan dan menghindari perdebatan. Kenyataannya, perdebatan memang bisa dihindarkan. Bahkan, KAHMI memilih pimpinan baru (sekarang bukan lagi ketua umum, melainkan presidium) dalam suasana jauh dari tegang. Presidium terpilih untuk tiga tahun mendatang: Nurcholish Madjid, Soelastomo, Ahmad Nurhani, Ahmad Kalla, Bedu Amang, Syukri Ilyas, dan Firdaus Wajdi. Mereka menggantikan kepemimpinan "tunggal" Syukri Ilyas, yang terpilih sebagai ketua umum KAHMI pada Munas ke-3 di Pandaan, 1977. Tak hanya itu yang ditelurkan Konvensi KAHMI. Juga kejelasan sosok KAHMI. Bila HMI bertujuan membentuk insan akademis, kata Nurcholish, KAHMI ini adalah produknya. Saat ini, KAHMI, yang didirikan di Surakarta 14 September 1966, lanjutnya, menghimpun sekitar 300 doktor dari berbagai disiplin ilmu. "Akan sangat mubazir bila potensi alumni HMI itu dibiarkan terserak-serak," kata Presiden Soeharto. Anggota KAHMI memang bukan orang sembarangan. Menurut Syukri Ilyas, 70% dari 35.000 anggota KAHMI berada di pemerintahan -- di antaranya tujuh menteri dan tujuh gubernur. Belum lagi yang menjabat direktur jenderal dan direktur. Apakah HMI jadi lunak karena hampir sebagian besar anggota KAHMI jadi pejabat? Ternyata, tidak. "Siapa bilang kami tak pernah mengkritik Pemerintah," kata Ketua Umum HMI Herman Widyananda. Ia menambahkan, selain mengkritik, HMI juga memberikan saran, seperti pengusulan sistem pajak bertambah sebagaimana di Amerika. Mereka itulah calon-calon anggota KAHMI. Zaim Uchrowi, Ahmadie Thaha, Diah Purnomowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini