HUJAN membasahi Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, ketika pesawat Garuda G-895 yang membawa tujuh utusan Departemen Luar Negeri RRC dari Hong Kong mendarat, Senin petang pekan ini. Delegasi yang dipimpin Xu Dunxin, Wakil Menteri dan Direktur Departemen Asia Deplu RRC, dengan didampingi dua penerjemah dan seorang sekretaris, disambut oleh Dirjen Politik Deplu RI John Louhanapessy. Menyelip di antara penyambut, Pengusaha Tong Ju, yang bermarkas di Singapura dan berperan penting ketika RI-RRC membuka hubungan dagang langsung melalui penandatanganan Memorandum of Understanding 1985. Kedatangan tujuh utusan Cina ini, dan akan berunding dua sampai tiga hari di Hotel Indonesia minggu ini, menurut John Louhanapessy, akan membicarakan soal-soal teknis mengenai pemulihan hubungan diplomatik kedua negara. Soal-soal teknis yang akan dibicarakan akan meliputi fasilitas diplomatik, peninjuan kembali perjanjian-perjanjian lama, masalah dwikewarganegaraan, dan soal utang. Tentang utang ini, kata John Louhanapessy, yang menjabat Ketua Tim Teknis Antar-Departemen Yang Terkait dalam perundingan kedua negara, akan dicari penyelesaian terbaik. "Kita punya angka, tapi belum mendengar angka dari mereka," katanya. Xu Dunxin juga optimistis akan ditemukan penyelesaian terbaik mengenai soal pemulihan hubungan kedua negara. "Dalam pertemuan antara Presiden Soeharto dan Menteri Luar Negeri Cina Qian Qichen di Tokyo, akhir April lalu, keduanya menyatakan akan memulai normalisasi hubungan kedua negara. Masalah-masalah prinsipiil telah dipecahkan. Pertemuan kali ini tinggal membahas soal-soal teknis," ujar Dunxin. Pertemuan Tokyo itu adalah langkah lanjut beberapa penjajakan dari perwakilan kedua negara di PBB -- terakhir, Oktober lalu, antara Menteri Ali Alatas dan Qian Qichen. Dengan kedatangan tujuh utusan Cina ini, perundingan lebih lanjut mengenai pemulihan hubungan diplomatik tinggal menunggu waktu. Soal ini, menurut sumber TEMPO, tergantung perhitungan strategis Pak Harto. Tapi itu, katanya, juga bukan faktor final. Peristiwa pembantaian mahasiswa di Lapangan Tiananmen, Beijing, awal Juni lalu, bisa saja mempengaruhi nuansa keputusan-keputusan lanjutan dari Pertemuan Tokyo. Memang, kita secara resmi, seperti diungkapkan Menteri Alatas, menganggap kejadian tersebut sebagai urusan dalam negeri RRC, dan tak perlu kita usik. Hanya saja, kita perlu waspada terhadap sejumlah perubahan fakta politik di Beijing sesudah tragedi Tiananmen. Kekuasaan Partai Komunis Cina (PKC), yang mengatur segala kepentingan negara, kini sudah beralih ke jaringan elite yang antireformasi politik. Persisnya, kelompok yang percaya kepada kekuasaan terpusat dan mementingkan indoktrinasi politik bagi mahasiswa dan pemuda ketimbang keterampilan dan keahlian. Dengan garis seperti itu, ada baiknya bila sekarang kita kembali minta jaminan bahwa PKC tetap tidak akan melebarkan sayap (seperti membantu sisa-sisa PKI), sebagaimana dijanjikan pada pertemuan-pertemuan terdahulu. Selanjutnya, jika dasar pemulihan hubungan ini juga kepentingan ekonomi, bukan melulu politik, kalkulasi baru juga perlu disiapkan. Rapat Komite Sentral PKC awal bulan silam udah menggariskan bahwa pemerintah akan memberlakukan kebijaksanaan perekonomian terpusat. Kewenangan pemerintah provinsi memutuskan harga komiditi setempat dan menyetujui proyek investasi akan dihapus. Itulah salah satu langkah baru PKC, hasil usulan Dewan Perencanaan Negara, yang dipimpin Wakil Perdana Menteri Yao Yilin -- pengikut Chen Yun, tokoh yang setia pada sistem kekuasaan terpusat Marx. Mohamad Cholid dan Liston P. Siregar (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini