KENAIKAN harga BBM akhirnya diumumkan juga oleh Menteri Pertambangan dan Energi, Ginandjar Kartasasmita, Kamis pekan lalu. Tepat 28 hari sesudah Idulfitri, di saat orang sudah mulai lupa. Soalnya, isu kenaikan harga BBM sudah cukup lama ditiup-tiupkan. Bahkan ledakan membeli sedan juga dikaitkan dengan kenaikan itu. Memang, awal Januari silam ketika Presiden Soeharto menyampaikan pidato pengantar RAPBN, kenaikan harga BBM masih merupakan teka-teki. Tapi waktu itu pun, masyarakat cenderung bersiap-siap menghadapi kenaikan harga. Wajar, bila kini yang dipertanyakan bukan kenaikan itu sendiri, tapi persentase kenaikannya dan bagaimana "magnitude" kenaikan harga itu menimbulkan dampak pada konsumsi, baik rumah tangga maupun industri. Yang pasti, beberapa hal menjadi jelas dari keterangan Pemerintah. Misalnya saja, harga jua BBM didasarkan pada harga minyak mentah sebesar US$ 14,5 per barel. Subsidi yang dialokasikan pada APBN 1990/1991 bersumber dari selisih harga minyah yang diasumsikan APBN (US$ 16,50 per barel) dikurangi US$ 14,57 jumlahnya adalah 626,5 milyar rupiah. Dengan adanya harga dasar itu, Pemerintah juga memuat berapa subsidi BBM bila harga minyak lebih tinggi lagi. Nah, bila harga mencapai US$ 18 per barel maka subsidi menjadi 1,109 trilyun rupiah. Tak pelak lagi, ini jumlah yang amat besar. Kenaikan harga BBM -- bila APBN 1990/1991 berlangsung dengan harga minyak tepat seperti asumsi (US$ 16,50 per barrel) -- akan berakibat pada hilang-nya subsidi BBM dalam anggaran pengeluaran rutin. Dan ini pada gilirannya membuka peluang bagi peningkatan Tabungan Pemerintah karena Tabungan Pemerintah adalah selisih dari Anggaran Penerimaan Rutin dikurangi Anggaran Peng-eluaran Rutin. Peningkatan Tabungan Pemerintah ini amat diperlukan bagi Pembiayaan Rupiah dalam Anggaran Pengeluaran Pembangunan. Pembiayaan Rupiah ini didapat dari Tabungan Pemerintah ditambah Bantuan Khusus. Kini, Pemerintah tampaknya siap menghadapi kemungkinan pengurangan Bantuan Khusus tersebut. Laporan Bank Dunia 4 Mei 1990 menguatkan kemungkinan itu. Seperti kita ketahui, Bank Dunia merekomendasikan Bantuan Khusus bagi Indonesia sebesar US$ 1,2 milyar. Bila realisasi- nya benar demikian, maka terdapat kekurangan US$ 300 juta pada APBN. Dengan meniadakan subsidi BBM sebesar Rp 626,5 milyar, berarti Pemerintah akan mampu menutup kekurangan sebesar US$ 300 juta akibat berkurangnya jumlah Bantuan Khu- sus. Dengan demikian, Pembiayaan Rupiah, yang amat penting dalam Anggaran Pengeluaran Pembangunan, tidak perlu dikurangi. Ini berarti pula, satu celah pada APBN 1990/1991 sudah tertutupi. Kini, kembali ke BBM. Pemerintah mengategorikan tujuh macam BBM atas tiga kategori. Kategori pertama adalah yang merupakan pemberi subsidi yaitu avgas, avtur, dan premium. Kategori kedua adalah yang ditiadakan subsidinya, yakni minyak diesel dan minyak solar. Sementara itu, kategori ketiga adalah yang mendapatkan subsidi, yaitu minyak tanah dan minyak bakar. Ketiga kategori itu sama-sama naik harganya, hanya tingkat kenaikannya berbeda. Dari situ bisa dilihat adanya subsidi silang. Dalam hal ini, ada subsidi dari kategori pertama (avgas, avtur, premium) ke kategori ketiga (minyak tanah dan minyak bakar). Kebijaksanaan ini berbeda dengan rekomendasi Bank Dunia, yang menilai perlunya dikenakan harga yang tinggi pada diesel dan minyak tanah, sementara kenaikan harga BBM kategori pertama dianjurkan tidak terlalu tinggi. Alasan Bank Dunia adalah bahwa harga yang tinggi pada diesel akan mengurangi penggunaan diesel yang harganya terlalu murah, sehingga industri atau konsumen menoleh ke bahan energi lain seperti gas dan batu bara. Diesel Indonesia memang agak terlalu murah. Bandingkan harga diesel Indonesia yang telah dinaikkan (Rp 235 per liter) dengan diesel Singapura (Rp 455), Malaysia (Rp 291), Muangthai (Rp 408), dan Filipina (Rp 286). Tapi pukul rata, hampir semua harga jual jenis BBM Indonesia lebih murah dari negara-negara tetangga ASEAN, termasuk Malaysia yang merupakan eksportir minyak (kecuali pada minyak bakar, Malaysia dan Muangthai lebih murah). Berbicara tentang harga, Menteri Pertambangan Ginandjar menjelaskan, adanya semacam "dilema" yang dihadapi Pe- merintah dalam menetapkan kebijaksanaan harga BBM. Di satu pihak, Pemerintah ingin mengurangi konsumsi BBM, tapi di pihak lain Pemerintah tidak ingin kenaikan harga ini mempengaruhi sektor industri. Karena itu, kenaikan harga minyak bakar ditentukan paling rendah (10%) -- sebab 61% konsumsinya diborong oleh PLN. Dengan demikian, Pemerintah tidak perlu menaikkan tarif listrik. Pada saat yang sama, juga terkesan bahwa struktur biaya industri sebisa mungkin hendak dicegah dari peningkatan yang tinggi. Meskipun begitu, yang belum jelas adalah gerak konsumsi-konsumen mana yang akan terpengaruh oleh kenaikan harga BBM ini. Minyak tanah, yang disubsidi, juga merupakan dilema Pemerintah. Di satu pihak diakui bahwa harga minyak tanah harus terjangkau kelompok yang kurang berpunya. Di pihak lain, konsumsi minyak tanah meningkat terutama di kalangan kaum yang relatif berpunya. Hal ini pun wajar mengingat lebih tinggi taraf hidup lebih besar pula penggunaan energi, termasuk minyak tanah. Dilema-dilema yang dihadapi Pemerintah tersebut tidak dengan sendirinya menyebabkan adanya stalemate atau kebuntuan dalam keputusan kebijaksanaan. Persoalan yang timbul adalah bisakah kenaikan harga dengan variasi 32% (avgas avtur-) hingga hanya 10% (minyak bakar) akan mengurangi konsumsi berbagai jenis BBM itu. Agaknya, laju pertumbuhan yang tinggi (Bank Dunia mem- perkirakan laju 7,4% tahun 1989) di masa-masa kini akan men- dikte pada peningkatan konsumsi masyarakat (Rumah Tangga dan Perusahaan), termasuk konsumsi BBM. Sebagian kalangan peng- amat bahkan sudah khawatir bahwa ekonomi kita menunjukkan tanda-tanda dini dari overheated. Dari sudut pandang demikian, sulit diharapkan berkurangnya permintaan terhadap BBM. Sekalipun ekonomi berkembang lebih baik, Pemerintah sangat berhati hati dalam mengumumkan kenaikan harga BBM. Alasan-alasan kenaikan harga secara lebih rinci dijelaskan oleh Pemerintah, termasuk perkembangan harga nyata, perbandingan harga internasional serta perbandingan indeks kenaikan pendapatan dalam perbandingan dengan harga komposit BBM. Angka-angka yang dijelaskan umumnya mengacu pada amat dipentingkannya stabilitas politik sekarang. Harga bensin premium Indonesia jauh lebih murah daripada harga premium di negara-negara ASEAN. Kemungkinan bahwa dalam satu dasawarsa mendatang, Indonesia akan menjadi importir minyak, apakah sudah diperhitungkan? Bukankah harga BBM sekarang sudah harus diperhitungkan dampaknya pada proyeksi konsumsi di masa depan? Bila konsumen tetap kencang mengonsumsi BBM, maka di masa depan bukan tak mungkin harga BBM dalam negeri melonjak dengan "magnitude" yang lebih tinggi daripada yang pernah kita hadapi selama ini. Ini tidak mustahil akan terjadi karena harga dalam negeri akan sama dengan harga impor ditambah biaya transportasi, asuransi, dan jasa-jasa lainnya yang dibutuhkan dalam mendatangkan BBM. Persoalannya kini adalah, dapatkah kebijak- sanaan harga di masa-masa nanti dijadikan faktor utama untuk menunda habisnya cadangan minyak kita. Cadangan minyak bumi yang menipis telah dengan jelas mengisyaratkan bahwa semakin lama, hal ini semakin sulit ditunda. Sjahrir
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini