BANYAK keluarga yang berkerumun di depan pesawat TV mereka, pada hari libur Kamis pekan silam. Dan ketika di malam Jumat Pon itu, Menteri Pertambangan dan Energi Ginandjar Kartasasmita muncul di layar kaca untuk mengumumkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), orang pun sudah malas keluar rumah. Mereka bahkan tidak kaget ketika mendengar bahwa semua jenis BBM didongkrak harganya antara Rp 20 dan Rp 80 per liter. Dan ini terutama, karena sejak awal Januari lalu, Pemerintah sudah memberi aba-aba akan adanya kenaikan harga BBM itu.- Menurut Ginandjar, yang mewakili Menko Ekuin Radius Prawiro, ada tiga faktor yang dipertimbangkan dalam keputusan kenaikan BBM tersebut. Pertama, pertimbangan faktor-faktor ekonomis. Kedua, adalah faktor sosial, yakni melihat ke- mampuan masyarakat. Faktor ketiga adalah aspek politis, dalam upaya memelihara stabilitas nasional. Adapun faktor ekonomis, jelas menyangkut pendapatan negara. Pertimbangan utama yaitu untuk membendung konsumsi BBM itu. "Penggunaan BBM telah menjurus menjadi konsumtif dan bersifat pemborosan dan tidak semata-mata untuk tujuan produktif lagi," kata Menteri Ginandjar. Alasan ini barangkali masih layak diperdebatkan. Program pembangunan kota-kota satelit boleh jadi juga telah dan masih akan merupakan faktor perangsang konsumsi BBM. Sejak tahun 1980-an, masyarakat berpenghasilan rendah mulai tergusur ke pinggiran kota sehingga rute bis kota menjadi semakin panjang. Dalam tahun-tahun terakhir, orang-orang kaya pun sudah mulai hijrah ke kawasan yang "lebih sejuk", menjauh dari pusat kota. Lihat saja permukiman Cinere yang sudah berbatasan dengan Depok. Permukiman yang terpisah cukup jauh dari lokasi pekerjaan mereka di kota, mau tak mau, menjadikan mereka konsumen BBM yang lahap. Tiap hari menempuh jarak puluhan kilometer samalah artinya dengan menghabiskan bensin puluhan liter. Tak mengherankan jika ada yang berpendapat bahwa kenalkan harga BBM itu terasa tanggung-tanggung apalagi jika kenaikan itu dimaksudkan untuk membendung konsumsi BBM. Tapi, seperti telah dikatakan Ginandjar, faktor kedua yang diperhatikan Pemerintah adalah pertimbangan sosial, khususnya menyangkut daya beli masyarakat. "Biarlah sekarang yang kaya-kaya menanggung lebih berat," kata Ginandjar kepada Bambang Aji dari TEMPO. Kendati begitu, Pemerintah belum sampai mengikuti anjuran Bank Dunia agar penjualan BBM untuk konsumsi kelas kaya dibikin lebih mahal dari harga untuk transportasi massa atau kendaraan komersial. Bahkan BUMN seperti PLN masih diharuskan membeli BBM sesuai dengan harga umum. Di sini tersirat bahwa Pemerintah menentukan harga BBM dengan sangat mempertimbangkan masalah stabilitas nasional. Yang dimaksudkan di sini, menyangkut kemungkinan menyalanya inflasi. Tapi Prof. Johannes berpendapat, langkah yang ditempuh Pemerintah untuk membendung konsumsi dengan menaikkan harga terasa kurang tepat. Untuk menghemat minyak bumi, ia lebih condong memanfaatkan energi pengganti. Prof. Johannes mengajukan satu contoh menarik, yakni pemakaian bioarang dan bioasap sebagai pengganti minyak tanah. Indonesia setiap tahun membuang percuma 9 milyar kg sekam padi. Jika 7,2 milyar kg sekam dicampur 7,2 milyar kg bioarang, energi yang dihasilkannya cukup untuk menggantikan konsumsi 7,2 milyar liter minyak tanah," kata Prof. Johannes. Dengan demikian, rakyat tak perlu mengeluarkan Rp 1.368 milyar untuk membeli minyak tanah, dan Pemerintah dapat menghemat Rp 436 milyar, yang sekarang diberikan sebagai subsidi untuk minyak tanah. BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) juga sudah melakukan riset untuk diversifikasi konsumsi energi. Menurut Direktur Pengkajian Sumber Daya Energi BBPT, Dr.Ir. Zuhal, sebenarnya ada tiga alternatif yang bisa ditempuh untuk memperpanjang masa ekspor minyak. Cara pertama, yakni merangsang eksplorasi dan eksploitasi baru. "Jika itu tidak berhasil, maka ekspor minyak yang sekarang 30 juta ton akan terhenti pada tahun 2000," kata Zuhal. Cara kedua, yakni menerapkan teknologi pengeboran yang lebih canggih. Dewasa ini para pengebor minyak di Indonesia sebenarnya baru bisa menyedot sekitar 40% dari cadangan minyak yang ada. Untuk mengangkat minyak yang lebih dalam, diperlukan teknologi lebih mahal. Jika cara ini berhasil, ekspor minyak Indonesia bisa bertahan sampai tahun 2010. "Tapi, investasinya tentu saja mahal, dan baru menguntungkan jika harga minyak mencapai US$ 30 - US$ 40 per barel," kata Zuhal lebih lanjut. Alternatif lain, yakni mencari pemakaian energi baru. Dalam hal ini, BBPT, yang dipimpin Menristek B.J. Habibie, telah mulai melakukan pelbagai penelitian percobaan. Antara lain pembangkit tenaga listrik dengan sistem sel matahari, gerakan ombak, sampai dengan pembangkit tenaga nuklir. Namun, sampai sejauh ini, belum ada alternatif yang begitu meyakinkan secara ekonomis, aman, dan bisa diterapkan secara masal. Alternatif yang sudah bisa dikembangkan, rupanya, adalah pemakaian bahan bakar gas (BBG) sebagai pengganti bensin dan solar. Dalam waktu dekat Pemerintah akan membangun stasiun-stasiun penjualan BBG di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan. Pembiayaan untuk itu kata Menteri Ginandjar, antara lain telah diperoleh dari Bank Dunia, berupa pinjaman US$ 90 juta. Dengan menaikkan harga BBM ini, pendapatan pemerintah dari pajak tentu akan meningkat. Menurut Dirjen Pajak Mari'e Muhammad, jika harga BBM rata-rata naik 15%, jumlah pajak pertambahan nilai (PPN) dari BBM tentu akan naik sekitar 15%. Tapi, Mari'e tak mengungkapkan berapa sebenarnya peran pendapatan pajak dari BBM. "Pokoknya, kita optimistis bahwa akan ada kenaikan," ujar Dirjen Pajak. Apalagi, sejak 1 April 1990, jasa-jasa yang diberikan Pertamina sudah mulai dikenai PPN 10%. Selain itu, produk-produk Pertamina yang bukan BBM, seperti elpiji, pelumas, aspal, juga terkena pajak. Kenaikan harga BBM juga akan mempengaruhi pos-pos pengeluaran pemerintah, khususnya pos subsidi. Menurut perhitungan APBN 1990-1991, jika harga minyak berkisar US$ 16,50 per barel, Pemerintah harus mengeluarkan subsidi BBM Rp 626,5 milyar. Setelah harga BBM naik, perhitungan subsidi akan hapus. "Kalau harga minyak mentah kita bertahan rata-rata US$ 17,5 per barel, maka kita impas tak perlu menyediakan subsidi BBM," kata Ginandjar kepada wartawan TEMPO Bambang Aji. Subsidi akan muncul lagi jika harga minyak melebih US$ 17,5 per barel. Ada kalangan yang merasa subsidi itu sebenarnya wajar-wajar saja. Sebagai penghasil minyak, masyarakat seharusnya boleh menikmati BBM murah. Namun, Bank Dunia mengisyaratkan bahwa konsumen yang paling banyak menikmati BBM sebenarnya mereka yang ber pendapatan lebih baik. Sentilan ini rupanya kemudian dipakai sebagai bahan pertimbangan, untuk menaikkan harga BBM. Yang menjadi pertanyaan ialah, dana sebesar Rp 626,5 milyar, yang semula dianggarkan untuk subsidi itu, mau dialihkan ke pos mana. Syukur jika itu akan dipakai untuk memperbesar proyek Inpres. "Itu akan sangat baik, sebagai usaha untuk menekan kemiskinan," kata seorang pakar. Tapi, jika penghematan subsidi larinya pada pendukung proyek bantuan luar negeri, maka akan kurang manfaatnya bagi usaha menekan kemiskinan di Indonesia secara langsung. Pakar ekonomi Prijono Tjiptoherijanto berpendapat agak lain. Ia mengkonstatir, kenaikan harga BBM adalah koreksi akibat salah perhitungan APBN. "Tahun ini harga minyak dicanangkan US$ 16,50 per barel. Apakah itu tak terlalu optimistis, sementara tahun lalu dipatok US$ 15 per barel?" gugat Prijono. Jika ternyata harga minyak mentah cuma mencapai US$ 16, pos pendapatan pemerintah dari luar negeri (pajak ekspor minyak) tak akan tercapai. Terpaksa pendapatan dalam negeri digenjot, antara lain dengan menaikkan BBM itu tadi. Pen- dapat ini barangkali bernada terlalu pesimistis. Sumio Higashi, seorang pejabat dari FEOT (Far East Oil Trading Company), sebuah perusahaan penjual minyak Pertamina di Jepang, memperkirakan rata-rata harga minyak Indonesia tahun anggaran ini bisa melampaui patokan US$ 16,5 per barel. Harga minyak Minas untuk penyerahan Mei memang telah anjlok sampai US$ 16,3 per barel. "Tapi, kami perkirakan, harga bulan Mei sudah mencapai titik paling rendah," kata Higashi, mantan Penasihat FEOT itu. Harga tersebut memang merosot dari titik puncak US$ 19,32 pada Februari 1990. Yasuoki Takeuchi, Ketua Niipon Oil Co., Ltd. yang juga menjabat Ketua Petroleum Association of Japan, juga mempu- nyai pendapat yang menyenangkan Pemerintah. Ia memperkirakan, pada musim gugur mendatang, harga minyak akan kembali naik sampai US$ 18 per barel. Sejalan dengan hitungan-hitungan makro itu, pengumuman Menteri Ginandjar di malam Jumat lalu itu ibarat pekerjaaan rumah bagi berbagai kalangan pengusaha. Mereka yang tergabung dalam Kadin (Kamar Dagangan dan Industri) kali ini tampaknya cukup cepat bereaksi. Hari Senin pekan ini, selang tiga hari setelah pengumuman BBM, Kadin telah selesai membuat perhitungan tentang pengaruh kenaikan BBM bagi se- kitar 79 jenis industri -- yang dinilai tidak begitu besar. Secara rata-rata, kenaikan BBM mempengaruhi biaya industri sekitar 0,56%. "Industri yang terkena pengaruh cukup besar adalah industri-industri keramik (4,7%), logam dasar (3,1%), semen (2,76%), dan logam bukan mesin (2,7%)," kata Ir. Aburizal Bakrie, yang mewakili Ketua Umum Kadin Sotion Ardjanggi, dalam pernyataan pers. Tapi perhitungan Kadin tadi khusus untuk biaya produksi langsung. Belum diperhitungkan biaya bahan baku. Mereka juga harus siap memperhitungkan serangan dari tarif angkutan. Kalangan pengusaha angkutan truk di Surabaya, misalnya, sudah merancang usul agar Pemerintah meninjau kembali ketentuan tarif truk yang dipatok Menteri Perhubungan sejak tahun 1986. "Ketetapan yang berlaku sampai sekarang adalah Rp 66 per km per ton. Wajarnya sekarang dinaikkan menjadi Rp 90/km/ton," kata Ir. Ardianto Wiyono, Direktur PT Panca Jaya, yang memiliki 100 unit truk. Alasan Ardianto Wiyono, bukan hanya karena kenaikan harga solar. Berbagai komponen biaya angkutan, seperti oli dan gaji sopir, juga sudah meningkat. Ada kemungkinan usul itu akan diperhatikan Pemerintah. Menteri Perhubungan Azwar Anas, yang ditemui TEMPO di Surabaya, sudah memberi angin untuk kenaikan tarif-tarif ang- kutan, kecuali tarif angkutan bis kota biasa. "Tarif Patas, apalagi Patas AC, juga tarif bis antarkota, kami serahkan kepada keseimbangan pasar," kata Azwar. Ia juga memberi isyarat bahwa tarif angkutan lain, seperti Pelni, PJKA, dan pesawat terbang dalam waktu dekat akan mengalami kenaikan. Bagi Ketut Pekpek, lampu hijau itu agaknya harus ditunggu sampai akhir tahun ini. Ia memiliki 33 bis wisata yang rata-rata per bulan membawa 500 turis dari Eropa. Pemimpin Golden Kris Tour di Bali itu melihat kenaikan harga BBM akan membawa bayangan agak gelap bagi bisnisnya untuk beberapa bulan. Sebenarnya, sebagai pengusaha swasta, tak ada larangan baginya untuk menaikkan tarif. Tapi Ketut tak berani mengubah paket-paket wisata yang sudah terjual ke-pada turis asing sampai Desember mendatang. "Bisa-bisa kami dituntut di pengadilan. Apalagi oleh turis Jerman," katanya. Tapi, pengusaha jasa angkutan mini dan mikrolet rupanya memanfaatkan kenaikan BBM itu dengan langsung menaikkan tarif. Para kenek angkutan "tuyul" itu, sejak Jumat lalu mengutip tarif sewa sampai sekitar 40% di atas tarif lama. Kini giliran ibu-ibu rumah tangga yang mendapat tantangan baru, yakni bagaimana mengatur supaya pos anggaran uang sekolah anak-anak, dan pos anggaran minyak tanah bisa berimbang. Mudah-mudahan dampak inflasi dari kenaikan BBM tak akan membara. Kalangan DPR, yang pekan lalu sempat mempermasalahkan kenaikan harga premix, sampai awal pekan ini ternyata diam saja. "Pemerintah memang harus menaikkan harga BBM. Kalau tidak, subsidi BBM akan semakin besar," ujar Muharsono, Ketua Komisi APBN dari Fraksi ABRI. Pendapat senada dikemukakan anggota komisi APBN Drs. H. Bunyamin Mattaliti. "Kenaikan harga BBM ini adalah supaya selisih harga BBM tidak terlalu jauh dengan harga di luar negeri. Selisih itu adalah subsidi yang diberikan pada BBM," kata Bunyamin. Kenaikan harga BBM kali ini barangkali memang bukan soal yang peka. Max Wangkar, Bambang Aji, Sri Pudyastuti, Wahyu Muryadi, Riza Sofyat (Jakarta), Aries Margono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini