MICHIO Watanabe-lah seorang bekas menteri dari Jepang yang kedatangannya ke Jakarta tetap dihormati. Tak kurang dari Presiden Soeharto, Rabu pekan lalu, menerima dirinya di Bina Graha. Kepada Watanabe, kini dengan kedudukan sebagai Ketua Liga Persahabatan Parlemen Jepang-Indonesia, Pak Harto menyampaikan harapannya agar pemerintah Jepang bersedia meminjamkan kembali cicilan pembayaran utang Indonesia. "Saya akan meneruskan hal itu kepada pemerintah Jepang," kata Watanabe, tokoh terkuat keempat dalam jajaran LDP, partai yang berkuasa. Melalui IGGI, Jepang meminjami 80 milyar yen, yang 26%-nya dijanjikan akan berupa rupiah. Pinjaman itu merupakan bagian dari US$ 2,519 milyar yang dijanjikan IGGI. Dan kewajiban yang harus dibayar untuk tahun fiskal yang sama, 1986-1987, adalah US$ 3,8 milyar. Tentu saja, urusan Watanabe di Jakarta tidak hanya berkaitan dengan pinjam-meminjam dan cicil-mencicil saja. Lihat saja, misalnya Rabu malamnya, bekas menteri MITI (Departemen Perindustrian dan Perdagangan Internasional) ini diundang makan malam Ketua BKPM Ginandjar Kartasasmita, setelah siang harinya bertemu dengan Menteri Keuangan Radius Prawiro, serta makan siang bersama para pengusaha di Jakarta. "Kedatangannya berniat menciptakan kondisi yang lebih baik bagi hubungan dagang Indonesia-Jepang," kata Ginandjar. Watanabe di pemerintahan Nakasone, meskipun bukan lagi menjadi menteri, kata Direktur Jetro (Organisasi Perdagangan Internasional Jepang) Hiroshi Oshima, "Memiliki pengaruh besar dalam mewarnai kebijaksanaan Jepang terhadap Indonesia." Jadi, jelas sekarang, mengapa kedatangannya menjadi begitu penting. Eh, siapa tahu kelesuan investasi yen di sini akan mendapatkan angin lebih baik setelah kunjungannya. Rabu sore pekan lalu, pulang dari Taman Makam Pahlawan Kalibata, Watanabe menerima TEMPO di suite room lantai 18 Hotel Sari Pacific, Jakarta. Masih berpakaian lengkap, lelaki setengah baya yang tetap segar ini menyuarakan sikap para investor Jepang, yang tidak merasa sreg dengan kebijaksanaan pemerintah RI. Misalnya soal keharusan menyerahkan 51% saham kepada mitra lokal setelah perusahaan berjalan 10 tahun. "Biasanya," kata Watanabe, "Lima sampai tujuh tahun pertama, sebuah perusahaan masih berjalan susah payah, alias belum untung. Sesudahnya barulah ada keuntungan." Maksudnya, pada saat untung mulai dikecap, rasanya mustahil bagian terbesarnya diserahkan orang lain. Lalu soal keringanan pajak. "Tiga sampai lima tahun pertama tanpa membayar pajak, tak ada pengaruhnya bagi kas negara. Toh, selama itu perusahaan masih defisit," katanya. "Karena itu, saya mengimbau, untuk melancarkan penanaman modal, masa bebas pajak sangat diharapkan. Apalagi negara-negara lain juga sama-sama ingin menarik investor asing." Jika demikian halnya, swasta Jepang sudah bersikap bak gadis pujaan yang diminati banyak pihak, lantas bisa jual mahal: menuntut terlalu banyak. Kecuali dua contoh ganjalan itu, Watanabe merasa perlu menjelaskan mengapa modal Nippon lebih banyak ke AS, misalnya. "Dengan AS kami ada surplus, sedangkan dagang dengan Indonesia kami defisit," tuturnya. Lihat saja data Bank Indonesia. Ekspor ke Jepang tahun lalu bernilai US$ 8.595,40 juta, sementara impor US$ 2.644,4 juta. Surplus? Memang. Tapi itu termasuk dalam ekspor kita di situ adalah minyak bumi dan gas (LNG) -- komoditi dengan nilai tambah kecil dan tidak bersifat padat karya. Tambahan pula, para investor Jepang juga menikmati keuntungan lebih banyak, mengingat sahamnya lebih besar dari hasil industrinya di sini. Situasi bisnis dengan Jepang, tampaknya, memang sedang tidak pas belakangan. Maka, kata Oshima, "Kedatangan Watanabe-san kali ini tepat waktunya." Mohamad Cholid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini