GULA memang manis -- terlebih bila harganya murah. Tapi, dewasa ini, konsumen boleh ngiler saja kalau harga gula pasir di pasar internasional hanya sekitar separuh harga gula keluaran pabrik lokal yang dilindungi Bulog, pemegang monopoli pengadaan dan pemasaran gula pasir. Barangkali pasar dunialah yang "bersalah". Kongres Ahli Gula Internasional ke-19 sendiri, yang mengakhiri sidangnya Sabtu lalu di Jakarta, menurut Ketua Umum Kongres Sudjai Kartasasmita, merasa tak berwenang membicarakan upaya menolong harga -- bila memang dianggap sudah jatuh di bawah tangga. Dalam keadaan demikian, entah bagaimana, ada juga perusahaan yang berhasil mencari keuntungan bukan dengan menyelundupkan gula dari luar negeri, tapi mengimpor gula pasir secara terang-terangan. Baru sekitar Juli lalu tingkah mereka diketahui -- sampai-sampai sempat menjadi pembicaraan di kabinet. Anehnya, tidak ada sanksi, malah Bulog memberikan rekomendasi atas impor yang "telanjur" dengan pembukaan LC sampai 5 Agustus lalu. Sejak awal dasawarsa ini, Bulog tidak lagi mengimpor gula, karena kebutuhan dalam negeri praktis sudah tertutup oleh produksi pabrik-pabrik dalam negeri yang berkapasitas sekitar 1,9 juta ton. Hal itu tercermin dalam laporan Bank Indonesia yang mencatat pengeluaran deisa untuk impor gula pasir hanya sebesar US$ 7.000 untuk periode 1982 sampai dengan 1984. Ketika harga gula di pasaran dunia jatuh sekitar Rp 150 per kg, sedangkan pasaran dalam negeri sekitar Rp 600 per kg di akhir 1984, ada perusahaan yang rupanya mulai tergiur mencari lubang impor. Tahun lalu, menurut laporan BI, nilai impor gula pasir mendadak jadi US$ 311.000. Tahun ini, dalam triwulan I saja, sudah sekitar US$ 250.000. Sementara itu, sejak bulan April hingga Juli 1986, menurut laporan SGS, telah ditangani pemasukan gula dari Jerman Barat sebanyak 10.200 ton. Wajar kalau gula pasir impor itu jadi mencolok di pasaran dalam negeri. Bulog mendapat laporan ada gula impor beredar antara lain di Medan, Jakarta, bahkan di pelosok seperti Kendari atau Lampung. "Gula impor itu tanpa diketahui Bulog," ujar Kepala Biro Pengadaan Luar Negeri Bulog, M. Layuk Allo. Kalangan pedagang gula dalam Gabungan Asosiasi Penyalur Gula & Terigu Indonesia (Apegti) menduga kebocoran Impor itu terjadi melalui importir pemanis sintetis (non-gula) seperti siklamat dan sakarin yang diawasi Departemen Perdagangan. Dirjen Perdagangan Luar Negeri, B.M. Kuntjorojakti, mengakui bahwa akhir-akhir ini para importir non-gula ini telah ikut meramaikan pasaran dengan gula pasir impor. Para importir yang menyeleweng ini ternyata tidak dipersalahkan. Menurut Kuntjoro, titik kesalahan sebenarnya terjadi pada bank-bank devisa dan SGS. "BI selalu mengadakan edaran ke bank-bank -- tentang barang yang tak boleh diimpor -- dan saya anggap bank-bank devisa itu tahu," tutur Dirjen. "SGS, mestinya, juga tidak mengeluarkan laporan kebenaran pemeriksaan (LKP) untuk impor barang yang tidak diperkenankan itu," tambahnya. Buntut segala keruwetan itu, ternyata, pemerintah harus mengetatkan impor segala jenis gula. Bulog selama ini, menurut Keppres 43/1971, hanya diberi wewenang pengadaan, penyaluran, dan pemasaran "gula pasir". Tapi, Juli lalu, Presiden menginstruksikan bahwa "semua jenis gula" harus diimpor melalui Bulog. Hal ini dijelaskan Kepala Bulog dan Direktur Impor Ditjen Daglu kepada BI. Menurut Edaran BI kepada bank-bank devisa, 25 Juli 1986, impor gula pasir dan jenis gula lainnya hanya dapat dilakukan Bulog atau atas rekomendasi Bulog. Max Wangkar, Laporan Budi Kusumah (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini