BANJIR minyak tampaknya mulai mereda, setelah OPEC bersepakat untuk menekan produksi totalnya dari 17,5 menjadi 17 juta barel sehari. Siasat OPEC untuk makin mengetatkan ikat pinggang produksi minyaknya, sampai sekarang, berhasil menaikkan gengsi harga patokan resmi yang US$ 29 per barel untuk jenis Arabian Light Crud (ALC). Harga di pasar spot (tunai), yang tadinya ditawarkan sampai beberapa dolar di bawah harga resmi, mulai kehilangan pamornya. Di luar dugaan, Iran telah berperan cukup besar dalam menenangkan jatuhnya harga minyak Produksi harian negeri Imam Khomeim itu. menurut catatan buletin Petroleum Information International yang berpusat di Houston, Texas, merosot menjadi 1,2 juta barel. Dengan kata lain, hanya separuh dari jatah Iran yang disepakati sidang OPEC di Wina, bulan Juli lalu. Iran kabarnya juga menolak untuk memberikan potongan harga, suatu hal yang sering mereka lakukan untuk melancarkan ekspor minyaknya. Demikian pula Arab Saudi. Pertengahan Agustus lalu, produksi negeri minyak yang terbesar di dunia ini ditekan lagi 4,1-4,3 juta barel sehari. Turun sekitar 400 ribu barel dari produksi rata-rata sehari pada bulan sebelumnya. Sampai berapa lama "gerakan" mengetatkan produksi itu bisa mereka pertahankan, masih harus dilihat. Tapi OPEC tampaknya sedang melancarkan diplomasi ke berbagai negara penghasIl minyak, termasuk yang bukan anggotanya. Tak kurang dari Menteri Perminyakan Arab Saudi, Sheikh Ahmad Zaki Yamani, yang terbang ke Malaysia dua pekan lalu, didampingi penjabat sekjen OPEC, Dr. Issam Abdul Rahim Al-Chalabi. Sambutan dari Kuala Lumpur membuat kedua senior OPEC itu lega juga. "Pada dasarnya, kami selalu bersama OPEC. Kami selalu berkiblat pada OPEC dalam penentuan harga dan strateginya, dan itu menguntungkan kami," kata penasihat Petronas, Tun Hussein Onn, sehari sebelum Yamani dan Al-Chalabi meninggalkan Kuala Lumpur. Selesai berkunjung empat hari di Kuala Lumpur, misi Yamani yang ditugasi menggarap produsen minyak non-OPEC diamdiam singgah sehari di Jakarta. Tak banyak yang tahu ketika pesawat pribadi Yamani, Boeing 707 putih, mendarat di pelabuhan udara internasional Halim Perdanakusuma, Sabtu siang lalu. Demikian pula ketika rombongan 14 orang itu memasuki Hotel Jakarta Hilton, diantar oleh tuan rumah Menteri Subroto. "Ini merupakan kunjungan tak resmi," kata seorang pejabat Pertamina. Suasana yang informal itu memang tampak ketika Sheikh Yamani bersama istri di jamu makan malam oleh Menteri Subroto di lantai 21 gedung Pertamina yang megah itu, dengan menu, antara lam, sayur asam dan lodeh yang, menurut seorang pejabat Departemen Pertambangan dan Energi, sengaja dipesan Yamani. Satu-satunya orang luar yang diundang adalah dubes Brunei, yang banyak bicara del ngan Yamani. Rupanya Sheikh Yamani membatalkan kunjungannya ke Brunei, dan esoknya, sekitar pukul 12.00 WIB, lansung terbang ke Sydney. Kepada pers yang mencegatnya di Halim Menteri Yamani menyempatkan diri untuk bicara sebentar. Menjawab, pertanyaan tentang strategi baru OPEC untuk mengimbau negara-negara non-OPEC, Zaki Yamani mengakui, "Tak bisa berbuat banyak, kecuali mengharapkan terciptanya suatu formula harga di antara anggota OPEC sendiri." Kalau kesepakatan di antara anggota OPEC bisa dicapai, "Ini akan bisa menolong tingkat produksi." Ia juga yakin bahwa OPEC akan tetap menjadi kekuatan utama untuk menentukan harga. minyak, "paling tidak selama dua atau tiga dasawarsa ini," katanya. "Hal ini dibutuhkan, baik oleh para konsumen maupun produsen." Tapi ia agaknya tak memastikan apakah kuota nroduksi yang 17 juta barel sekarang akan bisa dinaikkan lagi. "Kalau kami ingin menaikkan kuota dalam kuartal keempat tahun ini, saya kira kami harus berundmg dan memutuskan secara bersama. Itu lebih baik daripada membiarkan setiap anggota menaikkan produksi minyaknya bertentangan dengan kesepakatan OPEC." Disiplin kuota produksi sungguh merupakan masalah yang sulit dipatuhi oleh beberapa negara OPEC, seperti Nigeria dan Iran, juga oleh Arab Saudi sendiri. Kalaupun Iran dan Arab Saudi belakangan ini memotong drastis produksinya, itu lebih disebabkan karena harga yang makin bersaing di pasaran spot. Untuk mengamankan kuota produksi, Subroto bertolak ke Caracas, Sabtu sore lalu, hanya berselisih enam jam dari tamunya, untuk berunding dengan beberapa menteri perminyakan OPEC di sana. Pasaran minyak makin terasa runyam ketika Uni Soviet menurunkan harga resmi minyak jenis Ural dengan US$ 1,50 per barel, menjadi US$ 27,50 per barel, yang mulai berlaku awal Agustus. Soviet terpaksa mengimbangi minyak jenis Brent punya Inggris, yang di pasaran spot bulan Juli lalu bisa dibeli US$ 3,50 lebih rendah dari harga resminya yang US$ 30 per barel. Tapi yang aaknya paling dikhawatirkan OPEC adalah kalau Nigeria terpaksa kembali membanting harga minyak patokannya, paling sedikit dengan USX 2,50 per barel dari harga resmi US$ 29 per barel. Sebab, jenis Ural, Brent, dan Bonny punya Nigeria kurang lebih berkuahtas sama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini