TENAGA manajer kurang? Di Indonesia, di antara 67 juta pekerja hanya terdapat 450 ribu manajer - tak sampai 1%. Sedangkan di AS, "Jumlah kelompok terakhir ini mencapai 15%," ujar Menteri Perdagangan Rachmat Saleh, di depan Konperensi Internasional VII Mengenai Manajemen di Jakarta, pekan lalu. Sekitar 340 anggota Federasi Asosiasi Alumni Institut Manajemen Asia (FAIMAA) menyimak tema ini dengan saksama melalui konperensi tersebut. Menurut perkiraan Rachmat Saleh, dengan laju pertumbuhan ekonomi 5%, Indonesia membutuhkan 7.500 manajer baru tiap tahun. Soalnya, lalu, manajer macam apa yang sebetulnya kita butuhkan? Menurut Gabino A. Mendoza, rektor Institut Manajemen Asia (AIM) yang berbicara di depan konperensi, "Manajer yang baik adalah yang menghayati lingkungan dan kebudayaan tempat ia bekerja." Nah. Teknologi manajemen itu sendiri, kebetulan, lahir di AS pada 1800-an. Di sana, berdasarkan tuntutan spesialisasi dan produksi massal, teori ini kemudian melahirkan sistem "ban berjalan".Banyak orang berpendapat, inilah satu-satunya teori manajemen yang benar, Jepang ternyata "membelot". "Dasar pemikiran manajemen Jepang adalah keluwesan dan penghematan," kata Mendoza, 53. Pria Filipina itu mengaku tidak lagi mempercayai teori manajemen AS. Untuk Asia, katanya, harus dicari sistem manajemen yang serasi dengan lingkungan Asia. Dalam semangat itulah, agaknya, AIM didirikan di Manila, 1968. Hingga kini, dari delapan ribuan alumni AIM, tahun ini terpilih empat outstanding alumni of the year. Dua dari Muangthai, satu Malaysia, dan satu Indonesia. Yang terakhir ini adalah Eduard Suriadjaya, putra sulung Presiden Komisaris Astra Inc. "Saya memilih AIM karena studi kasusnya lebih relevan untuk diterapkan di sini," tutur Eduard, 36, kepada TEMPO. Untuk dia, yang menerima gelar Master in Management (MM) pada 1979, "Keasiaan ini penting." Demikian pula pendapat Teerachai Chemnasiri, eksekutif senior Siam Cement di Bangkok, yang terpilih menjadi ketua FAIMAA 1984/1985. Ia, satu dari empat oustanding tadi, menepiskan kesempatan belajar ke Universitas California Selatan, AS, dan memilih AIM. Di sini, AIM bekerjasama dengan Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), yang memulai kegiatannya 1979. "Saat ini kami mendidik sekitar seribu orang setahun, 200 di antaranya dengan program AIM," kata Samali T. Budimulia, ketua pimpinan harian LPPI. Peminat, menurut Samali, lebih besar dari sarana yang tersedia. AIM sendiri merasakan keterbatasan kapasitas. Dari tujuh yang melamar, hanya seorang yang dapat diterima. Setiap tahun lembaga ini menghasilkan 180 sampai 200 Master of Business Management (MBM) dan MM. Kemudian, ada sekitar 800 peserta kursus singkat. MBM diambil dua tahun dengan syarat sarjana muda dan pengalaman kerja dua tahun. MM diperoleh dalam setahun dengan syarat sarjana muda dan pengalaman kerja enam tahun. Untuk program MBM dipu'ngut US$ 2.500 per tahun dan MM US$ 3.000 per tahun. Belum termasuk biaya asrama US$ 2.500 per tahun. Untuk kursus singkat dikutip US$ 1.200 sampai US$ 3.000 sebulan, tergantung tingkatnya. Dan jumlah ini masih lebih murah bila dibandingkan dengan biaya serupa di AS. "Karena itu. sava kirim anak buah saya ke AIM," kata Robby Djohan, ketua FAIMAA sebelum Teerachai. Dirut Bank Niaga itu, yang sempat mencicipi kursus dua bulan di AIM, sudah mengirim 20 anak buahnya ke sana. Beberapa di antara anak buah itu kemudian dibajak perusahaan lain. Peristiwa ini tambah menyakinkan Robby akan kurangnya tenaga manajer di sini. Menurut ketua Persatuan Bank Swasta Nasional 1982/1985 itu, diperlukan empat sampai lima tahun untuk mendidik seorang sarjana menjadi manajer. Padahal, di Indonesia baru Institut Manajemen-Prasetiya Mulya yang menyediakan pendidikan bergelar Master of Business Administration (MBA). "Itu pun belum ada yang lulus," kata Kwik Kian Gie, direktur IMPM. Alumnus AIM di Indonesia diperkirakan 700 orang. Separuh bekerja di sektor swasta, sisanya di kantor pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini