SATU sistem belajar baru diterapkan di SD-SD Cianjur sejak 1980. Ukuran sekolah yang baik, yakni yang murid-muridnya rajin mendengarkan dan mencatat kata guru, sudah dicoret. Gantinya, sebuah sistem belajar yang gaduh: siswa-siswa berdiskusi, bertanya, bahkan mendebat guru. Cara belajar siswa aktif, demikian disebut, ini adalah sistem yang sumbernya ada di Inggris. Sabtu dua pekan lalu, dikelas VI SD Negeri Ibu Dewi, di pinggir utara Cianjur, murid-murid dibagi dalam beberapa kelompok, dan tiap kelompok mengamati beberapa cacing yang menggeliat-geliat ditaruh pada kaleng berisi tanah. Siswa-siswa itu bertuas mempelajari cacing. Yang menarik, mereka mendiskusikan juga hasil pengamatan ketika itu. Mengapa cacing selalu menggeliat-geliat. Kemudian, dibuka seminar. Maka, datang pertanyaan bertubi-tubi, untuk kelompok yang menyimpulkan bahwa cacing menggeliat-gehat guna mengamankan diri. Pertanyaan itu: Apa hanya karena ingin mengamankan diri cacing bergerak-gerak? Jadi, mengapa kalau suatu saat cacing tak bergerak? Rasa aman yang bagaimana yang dibutuhkan cacing? Seminar ini dianggap selesai bila semua siswa setuju dengan satu kesimpulan bersama. Guru hanya bertugas mengendalikan seminar. Sudah sejak dulu para ahli pendidikan di BP3K (Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan) Departemen P & K mencari sistem pendidikan yang cocok. "Sudah biasa terdengar, bila orang mencap sistem pendidikan kita menghasilkan kultur bisu," kata Harsja Bachtiar, ketua BP3K. Akibat sistem mencatat dan guru berceramah, siswa Indonesia cenderung takut mengeluarkan pendapat, takut bertanya, apalagi mendebat pendapat orang lain. Akhirnya, sebuah sistem yang sudah lebih dari setengah abad diterapkan di Inggris di ujicobakan di 60 SD negeri di Cianjur. Sistem ini, pada pokoknya, "Mendorong siswa aktif belajar sendiri, guru hanya memberikan pengarahari dari belakang," kata Conny Semiawan kepala Pusat Penembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan BP3K. SDSD di Cianjur dipilih, karena kabupaten ini bisa mewakili tiga lingkungan: kultur kota, kultur desa, dan kultur perbatasan kota dan desa. Di dalam kelas, sistem ini diwujudkan dalam bangku-bangku yang diatur menjadi empat sampai enam kelompok, mengelilingi sebuah meja. Berpusat di meja-meja itulah kegiatan belajar dilangsungkan. Diskusi, mengamati sesuatu, dan kemudian mencatat hasil pengamatan, dan lain sebagainya. Guru hanya mengawasi. Sesekali memberikan pengarahan, bila macet. Atau memberikan jawaban, bila ketua kelompok minta tolong ini atau itu. Kamis pekan lalu, misalnya, di kelas I SD Negeri Pagelaran I, Cianjur, empat kelompok murid - masing-masing enam orang duduk santai. Dua Kelompok belajar matematika, kelompok yang lain belajar bahasa Indonesia. "Bagaimana menyusun angka lima anak-anak?" tanya Bu Guru Euis Yuhaeti. Maka, anak-anak sibuk menyusun dadudadu di meja. Ada yang menggabungkan satu dadu bermata dua dengan yang bermata tiga, ada yang menyusun dadu bermata satu dengan yang bermata empat. Lalu anggota kelompok saling melihat adakah teman mereka yang salah menyusun dadu. "Dalam sistem konvensional, pelajaran atau informasi disampaikan sepihak, dari guru ke murid, dan seragam. Dalam sistem siswa aktif, siswa sendiri yang mencari informasi baik dari buku pelajaran, surat kabar, atau sumber yang lain," kata Conny pula. Dan, informasi yang diperoleh justru menggerakkan diskusi para siswa itu. Dengan cara ini, kata Conny pula, pelajaraan jadi lebih dipahami. "Bukan merupakan pengetahuan sesaat, tapi pengetahuan yang mendasar hingga terbawa seumur hidup," katanya. Pada awalnya, 1980, hanya 60 SD negeri yang menjalankan sistem belajar siswa aktif, sebagai uji coba. Kini, di Kabupaten Cianjur hampir seluruhnya, sekitar 120 SD negeri, melaksanakan sistem ini, karena dianggap berhasil. Salah satu indikator keberhasiran beberapa siswa yang meneruskan ke SMP ternyata memang leblh bisa memahami pelajaran. "Memang belum ada penelitian," kata Maman Rahman, 3, guru matematika SMPN Pagelaran. "Tapi memang ada perbedaan. Siswa saya yang dari SD uji coba umumnya sudah mempelajari pelajaran yang akan diberikan, berani bertanya dan berpendapat." Kunci sistem ini, sebenarnya, bukan soal baru. Yakni, "Peluang tiap individu murid untuk mengekspresikan diri," kata Conny Semiawan. Cara itu menimbulkan semangat kegembiraan dalam belajar, "Bukan menjadikan siswa hanya pasif, harus menurut apa kata guru." Dan menurut Euis Yuhaeti, guru kelas I SDN Pagelaran, memang hanya di kelas I guru masih banyak campur tangan. Tapi untuk selanjutnya siswa-siswa sudah pintar belajar sendiri. Adapun tantangan sistem ini, "Bagaimana mencari guru yang bisa mengarahkan diskusi," karena "ia harus menuasai pelajaran dengan baik," kata Harsja, ketua BP3K itu. Maka, citra guru pun bukan lagi penguasa kelas, tapi lebih sebagai teman belajar. Para siswa yang lambat belajar ternyata lebih gampang menerima penjelasan dan teman sebaya daripada dari guru, kata Rusmini, kepala SD Gelar, di Kota Cianjur. Memang ada sistem lain yang juga dianggap sukses. Yakni, PPSP atau Proyek Perintis Sekolah Pembangunan di delapan IKIP negeri, sejak 1971 (TEMPO, 27 November 1982). Tapi sistem ini dianggap terlalu mahal: harus ada modul dan guru-guru pilihan. Juga, PPSP merupakan sekolah terpadu, dari TK sampai SMA. Sedangkan sistem siswa aktif menggunakan buku pelajaran biasa. Maka, Harsja pun punya gagasan untuk menasionalkan sistem siswa aktif. Dan sebenarnya sistem PPSP dan sistem Cianjur tak jauh berbeda. Dua-duanya, "Berprinsip memberikan kail kepada murid lebih daripada ikan," kata Conny. Bedanya, yang PPSP penekanannya lebih pada individunya, yang Cianjur lebih pada belajar dalam kelompok. Akibatnya, seperti bisa dilihat pada nilai rapor, tak ada yang rendah dan tak ada yang tinggi sekali di Cianjur. Sebab, nilai itu merupakan rata-rata dari angka ulangan perseorangan, dan angka yang dicapai keompok. Sistem Cianjur rupanya dianggap cocok oleh para siswa. Buktinya, mereka yang kini duduk di SMP, yang tentu saja sistem belajar-mengajarnya masih konvensional membentuk kelompok belajar di luar sekolah, atas inisiatif sendiri. Para orangtua pun heran. Warjan, 39, yang dua dari empat anaknya duduk di SD uji coba, mengatakan, Kurniasih kini ceplas-ceplos menanyakan apa sebabnya ketika ia melarang anak itu berbuat begini atau begitu. "Tapi ia tetap sopan,' kata petani ini, tentang anaknya yang duduk di kelas V itu. Dan itulah yang diharapkan Harsja, 15-20 tahun mendatang: satu generasi bau "Yang lebih terbuka, mandiri, berani mengemukakan pendapat, serta mampu mengatasi tantangan aman."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini