Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) buka suara setelah dituding merusak lingkungan dan melanggar HAM dalam hasil riset Climate Rights International. Manajemen PT IWIP menyatakan bahwa PT IWIP dan seluruh tenant selalu taat pada aturan dan memiliki perizinan atas semua kegiatan operasional.
"IWIP dan seluruh tenant senantiasa mendukung program hilirisasi nikel yang digagas oleh pemerintah dengan melakukan seluruh kegiatan operasional industri dengan bertanggung jawab," kata Manajemen PT IWIP kepada Tempo melalui keterangan tertulis, Jumat, 19 Januari 2024.
Manajemen PT IWIP mengatakan perusahaan turut memperhatikan dampak sosial dan lingkungan dengan melaksanakan berbagai program pengembangan masyarakat dan CSR. Saat ini, IWIP fokus dengan program CSR perusahaan yang mengacu pada empat pilar utama, yaitu pendidikan, kesehatan, sosial budaya dan lingkungan, serta pengembangan ekonomi masyarakat lokal.
"IWIP sebagai perusahaan memiliki mekanisme pencegahan dan monitoring rutin yang kami percaya dapat menekan dampak ke lingkungan. Dalam melaksanakan seluruh kegiatan operasional industri, IWIP mengacu pada persetujuan Analisis dampak lingkungan (AMDAL) yang telah disetujui oleh kementerian terkait," katanya.
Lebih lanjut, Manajemen PT IWIP juga mengatakan bahwa kawasan industri IWIP telah melakukan pengelolaan lingkungan dan pemantauan rutin setiap 6 bulan pada aspek geofisik dan kimia dengan total mencapai lebih dari 200 titik lokasi pemantauan untuk memastikan setiap kegiatan dari PT IWIP dapat memenuhi baku mutu lingkungan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Sebagai komitmen menjaga lingkungan, manajemen PT IWIP mengklaim selalu berupaya untuk berdiskusi dan mencari solusi bersama masyarakat dalam mencapai kesepakatan. Misalnya, perusahaan berkomitmen terus mendukung dan memberdayakan nelayan sekitar kawasan industri dan pertambangan dengan menjalankan program CSR pembinaan kelompok usaha nelayan. Kemudian, melakukan penanaman mangrove dan coral bekerja sama dengan salah satu perguruan tinggi di Maluku Utara.
Lebih lanjut soal penggunaan pembangkit, manajemen PT IWIP mengatakan pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di kawasan IWIP telah mengacu pada RUPTL yang sudah mengikuti peraturan perundang-undangan. Selain itu, telah disetujui Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam.
Selanjutnya: PT IWIP berupaya memenuhi bauran energi
PT IWIP, kata manajemen, juga terus berupaya memenuhi bauran energi dan mengurangi emisi gas rumah kaca di kawasan industri. Salah satunya dengan menyiapkan energi terbarukan berupa pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB). Upaya lainnya, yakni melalui penanaman mangrove, pengalihan bahan bakar, penggunaan teknologi rendah karbon, hingga pengendalian emisi menggunakan alat electrostatic precipitator (ESP), Continuous Emission Monitoring System (CEMS) dan Flue Gas Desulphurization (FGD).
Sebelumnya, peneliti Climate Rights International (CRI) Krista Shennum menyebut pembangunan dan pengoperasian kawasan industri PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) serta di sekitar pertambangan nikel di Halmahera, Maluku Utara, menghancurkan kehidupan masyarakat adat dan anggota masyarakat lain. Selain itu, menyebabkan kerusakan lingkungan.
"Setidaknya ada 5.331 hektare hutan tropis ditebang di dalam konsensi pertambangan nikel di Halmahera. Ini menyebabkan hilangnya sekitar 2,04 metrik ton gas rumah kaca yang sebelumnya tersimpan di sana bentuk karbon," kata Krista dalam konferensi pers di Jakarta Pusat, Rabu, 17 Januari 2024.
Dampak lingkungan lainnya adalah polusi udara lantaran PT IWIP masih menggunakan pembangkit listrik tenaga uap di luar jaringan atau captive power plant. Pembangkit tersebut diduga menggunakan batu bara kualitas rendah sehingga polusi yang dihasilkan lebih buruk.
Tak cuma itu, lanjut Krista, masyarakat sekitar juga kehilangan akses terhadap air bersih dan mata pencaharian tradisional. Ia berujar, masyarakat yang sebelumnya berprofesi sebagai nelayan kehilangan pekerjaan lantaran sumber perikanan ikut rusak.
Adapun temuan ini dihasilkan Kresta melalui wawancara yang dilakukan kepada 45 warga di sekitar kawasan pertambangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain persoalan lingkungan, dalam penelitiannya, Krista mendapati indikasi pelanggaran HAM berupa upaya perampasan tanah dalam proses akuisisi lahan oleh perusahaan. "Ada diduga aparat keamanan yang datang pada jam-jam rawan, dini hari, untuk memaksa warga menjual lahannya," kata dia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini