Dua tahun tertunda-tunda, Kaltim Prima Coal (KPC) belum juga berhasil menjual 51 persen saham miliknya. Ini membuat Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi jengkel dan mendesak KPC. Menurut Laksamana, penyebab penundaan ada di perusahaan tambang batu bara itu.
Berdasarkan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) tahun 1982, KPC wajib menjual sahamnya kepada pemerintah Indonesia, warga negara Indonesia, atau perusahaan Indonesia paling lambat tahun 2001. Saham itu memang sudah ditawarkan ke pemerintah pusat (20 persen) dan Pemerintah Daerah Kalimantan Timur (31 persen). Harga jualnya ditetapkan US$ 8,22 juta untuk satu persen saham.
Anang Rizkani Noor, juru bicara Rio Tinto, pemegang saham terbesar KPC, membantah tudingan Laksamana. Katanya, pemegang saham berkomitmen melepas. Buktinya, pada pertengahan 2002, sudah disusun kerangka perjanjian dengan pemerintah. KPC diberi waktu enam bulan untuk menjual ke pihak yang ditunjuk pemerintah. Ternyata, sampai akhir Januari 2003, tak ada perusahaan yang bisa mewujudkan perjanjian itu. PT Bukit Asam, yang sudah berancang-ancang, belakangan mundur dengan alasan harga saham KPC masih terlalu mahal.
”Jadi bukan salah kami,” kata Anang. KPC bahkan memperpanjang masa penjualan, sesuai dengan permintaan pemerintah. Masalahnya kini, semua pihak—baik Rio Tinto maupun pemerintah—harus kembali mencari terobosan agar divestasi KPC tidak tercatat sebagai divestasi paling lama dan paling menjengkelkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini