Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Presiden Prabowo Subianto memutuskan kenaikan UMP sebesar 6,5 persen pada 2025.
Kenaikan PPN pada tahun depan berpotensi mengurangi kenaikan upah riil.
Pemerintah belum mengungkap formula UMP.
SAAT mengumumkan kenaikan upah minimum provinsi atau UMP 2025 sebesar 6,5 persen, Presiden Prabowo Subianto yakin kebijakan tersebut bisa menjaga konsumsi buruh. "Penetapan upah minimum bertujuan meningkatkan daya beli pekerja dengan tetap memperhatikan daya saing usaha," ujarnya pada Jumat, 29 November 2024.
Daya beli masyarakat dalam beberapa bulan terakhir melemah. Hal itu tampak dari konsumsi rumah tangga yang tumbuh di bawah pertumbuhan ekonomi. Pada kuartal III 2024, Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia mencatat ekonomi tumbuh 4,95 persen, sedangkan konsumsi rumah tangga 4,91 persen. Pada kuartal I, konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 4,91 persen dan naik menjadi 4,93 persen pada kuartal II. Adapun ekonomi tumbuh masing-masing 5,11 persen dan 5,05 persen dalam dua periode tersebut.
Indikator pelemahan konsumsi lain terlihat dari terjadinya deflasi. BPS mencatat deflasi terjadi berturut-turut dari Mei hingga Oktober 2024.
Di tengah kondisi ini, Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance Eko Listiyanto menyatakan kenaikan UMP sebesar 6,5 persen bisa menstimulus konsumsi, setidaknya di level buruh. "Umumnya, di kelas buruh, ketika ada kenaikan pendapatan, itu langsung dibelanjakan, tidak ditaruh di surat berharga negara. Itu yang menggerakkan ekonomi," ujarnya kepada Tempo, Senin, 2 Desember 2024.
Pergerakan daya beli ini akan mendorong tumbuhnya permintaan. Eko menyatakan pengusaha juga akan merasakan dampak positif berupa peningkatan penjualan. Kondisi ini akan mengkompensasi risiko di sisi pelaku usaha. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) sebelumnya mengungkapkan risiko kenaikan UMP sebesar 6,5 persen, dari penangguhan investasi, penundaan penambahan tenaga kerja baru, hingga pemutusan hubungan kerja massal.
Namun Eko mengingatkan, kenaikan UMP baru akan terasa signifikan efeknya terhadap daya beli jika pemerintah tak membebani masyarakat dengan beragam pungutan, salah satunya kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN). Tahun depan, tarif PPN bakal naik menjadi 12 persen dari sebelumnya sebesar 11 persen. "Kalau PPN naik, kenaikan UMP jadinya membuat impas saja," katanya. Ia memastikan tak akan ada kenaikan konsumsi karena harga barang dan jasa bakal melonjak.
Direktur Center of Economic and Law Studies Nailul Huda menyatakan kenaikan UMP sebesar 6,5 persen sebenarnya masih rendah. Dia membandingkannya dengan proyeksi inflasi sebesar 3,5 persen tahun depan. "Artinya, tambahan pendapatan riil hanya 3 persen," ujarnya.
Kelas menengah ke bawah yang konsumsinya didominasi volatile food mendapat kenaikan upah riil yang lebih rendah lagi. Sebab, inflasi volatile food atau komponen bergejolak bisa mencapai 5-6 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tentu saja, penghitungan ini belum mempertimbangkan kenaikan PPN. Jika tarif pajak tersebut tetap naik menjadi 12 persen, Huda memperkirakan inflasi bisa mencapai 4,1 persen. Dampaknya adalah kenaikan upah riil makin tipis. "Pekerja tidak bisa menabung lagi, bisa jadi malah makan tabungan," katanya. Fenomena makan tabungan terjadi saat masyarakat mulai menggunakan uang tabungan mereka untuk memenuhi kebutuhan harian.
Pada saat yang sama, inflasi yang tinggi bakal menurunkan permintaan di pasar. Menurut Huda, dunia usaha bisa lesu karena permintaan terbatas. Ancaman pemutusan hubungan kerja akan makin meningkat. "Maka, seharusnya memang UMP bisa ditingkatkan lebih tinggi lagi. Namun, di satu sisi, tarif PPN tidak meningkat sehingga ada dorongan dari sisi konsumsi masyarakat," tuturnya. Jika skenario ini dilaksanakan, Huda yakin dunia bisnis bisa kembali bergeliat didorong konsumsi rumah tangga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti dari Next Policy, Shofie Azzahrah, menyoroti efek lain kebijakan UMP teranyar. Dia mencatat ada risiko makin lebarnya disparitas gaji antarprovinsi. Perbedaan terjadi karena penetapan upah minimum cenderung mencerminkan tingkat biaya hidup dan produktivitas lokal antarwilayah yang sangat bervariasi. "Daerah dengan upah lebih rendah bisa kehilangan tenaga kerja terampil yang berpindah ke daerah dengan upah lebih tinggi sehingga memicu migrasi dan memperburuk ketimpangan regional," ujarnya.
Shofie menyatakan disparitas upah antarprovinsi yang terus melebar menimbulkan risiko urbanisasi berlebihan. Tenaga kerja cenderung berpindah ke daerah dengan upah lebih tinggi. Hal ini dapat menyebabkan ekonomi di wilayah tertinggal stagnan akibat berkurangnya tenaga kerja produktif. Selain itu, ketimpangan sosial berisiko makin tajam, yang pada akhirnya dapat mengancam stabilitas ekonomi dan sosial dalam jangka panjang.
Dia mengusulkan pemerintah mengurangi disparitas ini dengan menetapkan standar upah minimum nasional yang berbasis produktivitas sektoral sambil tetap mempertimbangkan indeks biaya hidup regional. "Kebijakan redistribusi, seperti subsidi upah atau pelatihan tenaga kerja di daerah tertinggal, juga dapat menjadi solusi yang efektif," katanya. Pemerintah pun dapat mendorong pengembangan penghiliran industri manufaktur di wilayah-wilayah tertinggal.
Meski kenaikan UMP masih di bawah usulan 8-10 persen, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Said Iqbal menyatakan pihaknya cukup puas terhadap keputusan Presiden Prabowo. "Kenaikannya sudah mendekati 8 persen," ujarnya.
Dia yakin kebijakan tersebut bakal meningkatkan daya beli buruh pada tahun depan. Dengan catatan, pemerintah membatalkan kenaikan tarif PPN pada tahun depan. Menurut Said, buruh masih berjuang meminta pemerintah menunda kebijakan yang akan berlaku mulai 1 Januari 2025 tersebut.
Namun saat ini Said belum mengetahui rincian formula penghitungan UMP 2025. "Kata Menaker, saat kami menghadap Pak Presiden, tetap memakai formula inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan rata-rata indeks tertentu 0,9," tuturnya.
Tempo berupaya meminta konfirmasi ihwal penghitungan UMP 2025 ini kepada Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi. Namun, hingga berita ini ditulis, tak ada respons darinya. Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto hanya menyebutkan penghitungan ini didasarkan pada pertumbuhan ekonomi dan inflasi. "Jelas, dari pertumbuhan ekonomi ataupun tingkat inflasi," ujarnya di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin, 2 Desember 2024.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Daniel A. Fajri berkontribusi dalam penulisan artikel ini