Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Blog kepunyaan Thomas H. Glocer, bos Reuters, belakangan kebanjiran pengunjung. Mereka datang dengan harapan memperoleh bocoran informasi tentang rencana penjualan saham perusahaan yang bergerak di bisnis jaringan berita itu. Tapi, alih-alih memenuhi keingintahuan tamunya, pria berusia 47 tahun itu malah menulis tentang indahnya matahari Brasil dan potensi ekonomi negeri tersebut.
Semua berawal pada Maret lalu. Cuma selintas, ia menyinggung rencana yang menarik perhatian publik tersebut. Itu pun dengan kalimat yang amat diplomatis. ”Semuanya merupakan kabar baik bagi Reuters,” begitu tulisnya. Setelah itu tak ada kabar lebih lanjut. Tentu saja orang jadi semakin penasaran. Benarkah berita itu? Mengapa langkah itu dilakukan?
Pekan lalu pertanyaan itu akhirnya terjawab. Reuters menjual sahamnya kepada Thomson Corporation, perusahaan asal Kanada yang bergerak di bisnis yang sama: newswire. Nilainya? Luar biasa, mencapai US$ 17,5 miliar atau sekitar Rp 157,5 triliun. Jumlah itu hampir setara dengan sepertiga anggaran Indonesia.
”Kedua belah pihak yakin perjanjian ini akan menjadikan mereka pemimpin dalam pasar informasi dunia,” demikian siaran pers kedua perusahaan. Perkawinan itu menjadikan keduanya, yang dulu lawan, menjadi kawan, sekaligus menyatukan modal, tenaga, dan jaringan yang luas. Dengan demikian mereka memiliki kekuatan untuk menguasai pasar yang lebih besar.
Thomson merupakan perusahaan global yang bermarkas di Toronto, Kanada. Perusahaan yang didirikan Roy Thomson ini bermula dari sebuah stasiun radio kecil di Toronto. Tapi kini mereka menjadi salah satu penguasa media di Amerika Utara serta penyedia data keuangan, hukum, dan juga kesehatan. Tahun lalu mereka membeli AFX, jaringan berita keuangan milik kantor berita Agence France-Presse (AFP).
Bagi Reuters, perjodohan ini dinilai amat menguntungkan. ”Paling tidak bisa menghemat pengeluaran hingga US$ 500 juta dalam tiga tahun ke depan,” ujar Glocer. Bukan hanya itu. Perusahaan pasca-penggabungan ini diperkirakan akan menghasilkan penjualan sampai US$ 11 miliar atau hampir Rp 100 triliun.
Sesuai dengan kesepakatan, Glocer bakal menjadi Chief Executive Officer Thomson-Reuters, sedangkan Chief Executive Thomson, Richard J. Harrington, 60 tahun, akan pensiun ketika merger ini sudah final. Dari sisi persahaman, keluarga Thomson akan menguasai 53 persen. Sementara itu, pemegang saham publik Thomson mendapatkan 23 persen, dan sisanya akan dikuasai pemegang saham Reuters.
Kendati sudah hampir beres, kesepakatan ini masih harus menghadapi persoalan yang tidak ringan. Komisi persaingan usaha di Uni Eropa dan Amerika Serikat tentu saja tidak akan mendiamkan transaksi yang bisa mengancam kompetisi bebas. Maklumlah, Reuters dan Thomson selama ini menduduki peringkat kedua dan ketiga pasar data finansial. Jika bergabung, mereka akan menjadi nomor satu.
Data Inside Market Data Reference, penyedia informasi perusahaan yang berbasis di Inggris, April lalu, menunjukkan Bloomberg berada di baris terdepan dalam pasar informasi keuangan. Perusahaan milik Wali Kota New York Michael Bloomberg ini menguasai 33 persen dari kue tahunan sebesar US$ 12,6 miliar (Rp 113 triliun). Reuters berada di posisi kedua (23 persen), serta Thomson dan Exchange di urutan berikutnya, masing-masing 11 persen. Tentu saja ini akan berubah jika merger sudah selesai.
Tapi tak berarti merger itu hanya akan menajamkan persaingan di antara keduanya. Pada saat yang sama, terbetik kabar bahwa Dow Jones—menguasai tiga persen pasar data keuangan—juga akan menjual sahamnya. Peminatnya malah sudah muncul terang-terangan, yaitu Rupert Murdoch. Raja media itu siap menggelontorkan US$ 5 miliar atau Rp 45 triliun. Ia sepertinya ingin menebus kegagalan membeli Reuters beberapa tahun silam.
Pinangan sudah diluncurkan pada akhir April lalu. News Corp., perusahaan milik Murdoch, melayangkan surat kepada pemilik Dow Jones berisi tawaran membeli perusahaan yang telah berdiri sejak 1882 itu. Bila akuisisi berlangsung mulus, rencana Murdoch memperkuat jajaran bisnis berita kabelnya akan tercapai.
Ia bisa membentuk Fox Business Channel gaya baru dengan pasokan berita terkini secara rutin dari para wartawan di jaringan kantor berita Dow Jones, Wall Street Journal, dan Barron. Lebih jauh lagi, pengambilalihan ini akan menempatkan Murdoch ke singgasana pemain utama dalam bisnis berita keuangan global.
Namun Dow Jones sudah menolak tegas tawaran Murdoch. Alasannya, taipan media asal Negeri Kanguru ini dikenal sering ikut campur dalam menentukan isi berita. Karena tabiat itu, kredibilitas media yang ada dalam lingkup grup ini bisa menurun.
Murdoch batal, penawar lain mulai berdatangan. Tak perlu lama menunggu, General Electric—yang memiliki jaringan berita bisnis CNBC— dan Washington Post disebut-sebut sebagai peminat yang juga akan segera mengajukan penawaran.
Kini perusahaan media yang berusia 125 tahun itu masih harus bekerja ekstrakeras memilah calon pembeli. Salah seorang investor Dow Jones, Lawrence Haverty sampai-sampai bertamsil, ”Dow Jones seperti Nemo yang dikelilingi ikan hiu.” Posisi Dow Jones memang bisa menentukan siapa yang bakal menjadi penguasa bisnis informasi ini.
Irfan Budiman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo