"Kita ingin mendengar orang-orang Afrika berbicara tentang
Afrika. Anda juga seharusnya dapat memperoleh penjelasan orang
India tentang India".
Ny. Indira Gandhi, Juli 1976.
WAKTU itu ia masih berkuasa. Sebagai Perdana Menteri India yang
banyak dikritik pers Barat karena ia menginjak demokrasi, Ny.
Gandhi bermaksud menandingi sorotan media asing itu.
Ia tentu tak sendirian di kalangan pemegang pemerintahan Dunia
Ketiga. Juli 1976 itu di Ibukota India New Delhi diadakan
pertemuan tingkat menteri antara negara-negara Non Blok, guna
membahas lebih lanjut gagasan didirikannya sebuah kantor berita
khusus milik Dunia Ketiga.
Gagasan itu bermula secara serius tahun 1973. Di Konperensi
Non-Blok di ibukota Aljazair September 1973, ada saran agar
sebuah kantor berita didirikan untuk menghadapi kantor-kantor
berita Barat. Saran itu kemudian dibahas dalam pelbagai
pertemuan yang disponsori badan urusan pendidikan, ilmu dan
kebudayaan PBB Unesco, di Lima (Agustus 1975), Tunis (Maret
1976) dan Kota Meksiko (Mei 1976). Pertemuan di New Delhi itu
merupakan slah satu kelanjutannya.
Suatu usaha memang amat dibutuhkan untuk tidak membiarkan
gambaran dunia dimonopoli oleh kantor berita dan para wartawan
Barat. Tentu saja tak dapat dikatakan bahwa dengan sengaja pers
Barat telah berkomplot untuk mencat hitam banyak negara Dunia
Ketiga. Tapi seperti diakui sendiri oleh Washington Post dalam
komentarnya tentang keseimbangan pemberitaan internasional, 22
April 1977, harus difahami keengganan sebuah negeri untuk
memperoleh gambaran tentang dirinya sendiri dari tangan orang
asing.
Kebatinan Untuk Frankfurt
Si wartawan asing, yang menulis buat pembaca nun jauh di sana,
dalam waktu yang terbatas, untuk ruangan koran yang cuma
beberapa kolom, dengan gampang bisa terjatuh: hasil mereka tak
jarang sedikit lebih baik dari kebodohan. Kadangkarena mereka
tak memahami betul negeri yang mereka tulis. Lebih sering karena
para redaktur dan pembaca mereka di Amerika, Eropa, Jepang atau
Australia hampir sepenuhnya buta tentang itu. Bagaimana misalnya
seorang wartawan Jerman bisa menlahami konflik Islam dan
kebatinan Jawa dan menulisnya dalam 2000 kata agar berita
tentang itu jelas bagi para pedagang di Frankfurt? Tentu ada
yang disederhanakan, dan sering meleset.
Belum lagi faktor persaingan antar wartawan, yang mendorong
mereka cuma mencari berita yang dramatis. Seorang wartawan
Australia dalam kunjungan ke Buru barubaru ini dikabarkan hampir
gembira menemukan suatu cerita yang menarik: ada tahanan yang
makan "tikus" di sana. Ternyata seorang tahanan mengatakan bahwa
mereka makan "jagung"--dan menggunakan bahasa Uclanda maize yang
terdengar seperti mice (tikus).
Maka kecaman pun dilontarkan, bahwa pers Barat hanya mencari hal
yang gawat saja tentang Dunia Ketiga. Kalau tidak: sesuatu yang
menggelikan, seperti tingkah Idi Amin, penobatan diri Kaisar
Bokassa, atau cara orang-kaya baru Arab berbelanja di London.
Sering nampak bahwa laporan tentang itu diwarnai rasa
superioritas Barat. Tapi tak seluruhnya adil buat mengatakan
bahwa wartawan dan kantor berita Barat cuma doyan berita
buruk.
Sebuah studi yang dilakuhan Robert L. Bishop dari Universitas
Michigan akhir 1973 menelaah reportase tentang Afrika yang
dibikin oleh kantor berita Reuter dan AFP. Ternyata berita
tentang "bencana" hanya mencakup 2% cari laporan kedua kantor
berita Barat itu. Sedang prosentase berita ekonomi, pendidikan,
kebudayaan dan ilmu mencapai 23 sampai 33%.
Thema Pembangunan dan Propagarda
Sayangnya herita pembangunan yang cukup banyak itu sering tak
dimuat oleh koran-koran, meskipun sudah ditulis oleh para
koresponden asing di Arrika dan Dunia Ketiga lain. Keengganan
memuat berita pembangunan dari negeri berkembang itu bukan cuma
terdapat pada pers Barat, yang rata-rata kian mengurangi ruangan
untuk berita dari luar negeri. Pers Dunia Ketiga sendiri sering
tak tertarik ke situ.
Ini nampak dalam sebuah survai statistik yang dilakukan pada
koran-koran Amerika Latin, Nopember 1975. Laporan dari survai
itu menyimpulkan bahwa berita dengan thema "pembangunan"
dianggap bukan berita, dan tak menarik bagi pers Amerika
Latin. Satu contoh: satu berita yang disiarkan oleh AFP, AP
dan Prensa Latina (uba) mengabarkan adanya laporan PBB tentang
ribuan hasil obat-obatan yang dimasukkan ke Dunia Ketiga tanpa
dibutuhkan. Berita iui hanya dimuat di sementara pers Meksiko.
Pers Amerika. Latin lain tak peduli.
Mungkin karena berita dengan tema "pembangunan" sering berbau
propaganda - terutama jika disiarkan oleh kantor berita atau
media lain yang dikuasai pemerintah. Bagaimana pers Indonesia
harus menelan berita pembangunan RT (sebuah anggota Dunia
Ketiga juga) yang disiarkan oleh kantor berita resmi Hsinhua ?
Tanpa kemerdekaan pers di suatu negeri, sulit diperoleh gambaran
yang layak dipercaya yang disiarkan pers negeri itu. Seperti
dikatakan Hilary Ng'weno, seorang editor Kenya dalam The Weekly
Review yang terbit di Nairobi Nopember 1977: "Kontrol pemerintah
terhadap pers menghasilkan juga gambaran yang menyimpang seperti
yang justru dikeluhkan oleh bangsa-bangsa Dunia Ketiga dalam
menghadapi pengaruh serta praktek kantor berita Barat."
Kasus "The Straits Times"
Dan itulah satu soal fundamentil yang dihadapi Dunia Ketiga
dalam mencoba menerobos monopoli pemberitaan yang dipegang oleh
media Barat, dan mencoba lebih mengenal satu sama lain. Soal
pelik lain ialah kenyataan, bahwa Dunia Ketiga -yang bermaksud
mendirikan sebuah kantor berita sendiri punya pelbagai warna
ideologi dan kepentingan. Melalui pers yang dikontrol penguasa,
kepentingan itu bisa didesaklcan secara erang-terangan atau
halus yang terkadang merugikan anggota Dunia Ketiga lain.
Contoh terbaru dan terdekat ialah kasus koran Singapura The
Straits Times, dalam memberitakan peristiwa di Indonesia selama
Januari 1978. Ucapan Ketua DPR-MPR Adam Malik kepada Reuters,
yang mengecam perwira tinggi yang bicara politik, disiarkan
koran itu dengan judul berhuruf raksasa: MLIK BLASTS AT
GENERALS. Yang dikritik Adam agaknya para jenderal yang tak
berada di pusat kekuasaan, bahkan sudah swasta. Tapi judul itu
secara dilebihkan mengesankan adanya konflik Adam Malik dengan
para jenderal Indonesia umumnya.
Indonesia, lesat The Straits Times, memang bisa nampak seperti
sedang kacau oleh pergulatan kekuasaan di puncak. Maka baik
kalangan diplomat Indonesia di Singapura maupun di Deplu
menyesalkan hal itu. Sebuah sumber di Deplu mengatakan telah
menghubungi pejabat negara sesama Asean itu, supaya mencegah The
Straits Times berbuat begitu. Tapi, menurut sulnber itu kepada
TEMPO dari pihak Singapura datang jawaban bahwa itu sukar
dilakukan, karena di Singapura "ada kemerdekaan pers".
Kemerdekaan pers di Singapura? Untuk The Straits Times? Seorang
wartawan senior di Jakarta berkomentar: "Singapura boleh
membanggakan banyak hal, tapi Indonesia bisa lebih bangga dalam
hal kemerdekaan persnya--meskipun baru-baru ini ada larangan
terbit sementara buat 7 koran." Dengan kemerdekaan yang cukup
pula agakllya pers Indonesia bisa lebih dipercaya oleh orang
luar. Lewat mulut yang ketakutan yang berbunyi memang biasanya
justa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini