JUMLAH mereka di Jakarta hanya sekitar tigapuluhan. Tetapi
mereka dianggap mewakili dunia internasional. Lewat
tangan-tangan mereka berita-berita tentang Indonesia tersebar ke
seluruh dunia. Bagaimana wajah-wajah mereka? Inilah beberapa di
antara mereka yang diwawancarai TEMPO. Kali ini mereka berbicara
tentang diri mereka, dunia kerja dan suka-duka mereka, dan juga
tentang Indonesia.
HARTOYO, koresponden UPI
Setelah meletusnya peristiwa Gestapu, banyak wartawan asing
datang ke Yogya dan umumnya mereka memerlukan guide. Hartoyo,
kini 42, yang waktu itu kuliah di fakultas Ekonomi UGM kebetulan
menjadi guide R.E. Stannard, koresponden UPI di Indonesia. Dan
di tahun 1966 ketika mencari pekerjaan di Jakarta, kembali
Hartoyo bertemu dengan Stannard yang segera menawarinya
pekerjaan sebagai Wartawan UPI.
Dunia jurnalistik bukan hal baru bagi Hartoyo. Di tahun 1952 ia
pernah menjadi wartawan kantor berita PIA selama beberapa tahun.
Agaknya ia dianggap cukup berprestasi dan di tahun 1973 diangkat
sebagai koresponden UPI untuk Indon esia. Ia merupakan
satu-satunya warta wan setempat di Asia Tenggara yang menjadi
koresponden UPI.
Belasan tahun menjadi wartawan, Hartayo pernah sekali mendapat
"peringatan" Deppen. Waktu itu ia menulis tentang pernyataan
Adam Malik tentang kemungkinan pencairan hubungan diplomatik
Indonesia-RRC. Seorang pejabat Deppen menelponnya dan mengatakan
berita yang ditulisnya itu "membahayakan." Membahayakan untuk
siapa, untuk saya atau untuk pemerintah?, tanya Hartoyo.
Penelpon dari Deppen hanya menjawab dengan tertawa.
Diangkatnya orang Indonesia sebagai karesponden kantor berita
asing dianggapnya menguntungkan karena sebagai orang Indonesia
dia akan memandang segala sesuatu dengan kacamata Indonesia dan
"tidak lekas kaget" melihat suatu peristiwa. "Tetapi itu tidak
berarti artawan asing akan menulis dengan berat sebelah karena
banyak wartawan asing yang menulis secara obyektif."
Hartoyo yang punya tiga anak dan tinggal di daerah Menteng ("itu
yang mengontrakkan UPI") suatu waktu ingin bekerja untuk pers
Indonesia. "Sebagai orang Indonesia, rasanya lebih mantap
bekerja untuk pers nasional danmelihat tulisan kita dimuat. Itu
lebih memuaskan."
RAPHAEL PURA
Ia biasa dipanggil Rocky oleh teman-temannya. Berbadan tegap
dengan muka yang agak menantang, ia bisa dikira seorang petinju.
Tetapi itulah Raphael Pura (31 tahun) koresponden dan
perwakilan tetap koran The Asian Walstreet Journal di Jakarta.
Bahasa Indonesianya lancar tetapi dengan logat Malaysia yang
didapatnya ketika di tahun 1968 selama 3« tahun jadi sukarelawan
Peace Corps di semenanjung itu.
Sejak duru ia ingin jadi wartawan. Itu sebabnya ia masuk jurusan
jurnalistik di Ohio University sampai mendapat MA. Dari
universitas yang sama ia memperoleh juga MA di bidang
International Relations. Selesai sekolah ia diterima sebagai
staf tetap ewsweek di Tokio. Belakangan begitu mendengar Asian
Wallstreet Joumal mau membuka edisi Asia, ia langsung melamar
dan diterima.
Ia tergolong wartawan yang suka memuat tulisan yang eksklusif,
terutama tentang ekonomi. Seorang pejabat tinggi Departemen
Pertambangan menganggap tulisan dan ulasannya cukup seim
bang dan menguasai persoalan. Secarabercanda ia sering
mengatakan mungkin ia punya darah Bali. "Di Bali kan banyak
pura," katanya.
UROS SKALA
Kegemaran koresponden KB Tanjug (Yugoslavia) ini ialah
memelihara anjing dan berjalan kaki. Sayang tidak aman berjalan
kaki di Jakarta. Selain tempat yang tersedia sangat sempit, para
pengendara kendaraan bermotor juga kurang menghargai pejalan
kaki. Pernah sekali ia ditabrak sebuah sedan dan penabraknya
hanya menyampaikan alamat dan nomor mobilnya tetapi tanpa nomer
seri sehingga akhirnya ketika dicari tidak ketemu, Uros (58
tahun) terpaksa dirawat di Pertamina dan untuk itu ia harus
mengeluarkan 1000 dollar.
Sebetulnya ia sarjana hukum tetapi lama pers ternyata lebih
menariknya, dan sampai sekarang pengalaman jurnalistiknya sudah
mencapai 25 tahun. Uros tinggal di Indonesia bersama isterinya.
Keempat anak dan lima cucunya tinggal di negara asalnya.
Berita yang dikirimkannya umumnya yang menyangkut kehidupan
rakyat banyak, misalnya tentang Perumnas atau kegiatan Opstib.
Ia mengatakan tidak pernah mendapat kesulitan untuk mencari
beritadi Indonesia. Ia merasa cukup tahu mana yang berita
baginya dan mana yang urusan dalam negeri Indonesia. Misalnya
mengenai kegiatan mahasiswa ia hanya mengamati saja. Dalam
menjalankan tugas sehari-hari ia naik helicak, bis-kota dan
kalau perlu sekali baru naik taksi.
Ia kurang puas dengan pelayanan teleks di Jakarta, yang terbatas
waktunya, sehingga tidak setiap waktu ia dapat mengirimkan
berita. Tetapi ia menganggap fasilitas yang tersedia di sini
untuk menjalankan tugasnya cukup.
SOEHARYONO
Ia mungkin orang Indonesia yang paling lama bekerja di suatu
perwakilan pers asing. Tahun 1956 ia mulai bekerja di perwakilan
KB Reuter dan bertahan di situ sampai sekarang. Pengalanan
jurnalistiknya dimulai sebagai wartawan harian Nasional
Yogyakarta ketika ia masih kuliah di fakultas Ekonomi UGM yang
hanya setahun sempat dikecapnya.
Tidak ada alasan baginya untuk keluar dari Reuter. Hubungan
kerjanya telah dibina dengan baik. Saat ini ada enam orang
pegawai di kantor perwakilan Reuter Jakarta, termasuk dia
sendiri sebagai Wakil Kepala Perwakilan. Di Reuter dia pernah
ditugaskan di beberapa tempat, misalnya London selama 1« tahun,
Hongkong 1 tahun dan Singapura 6 bulan.
Reuter Jakarta sekarang mengirim berita sehari rata-rata 2000
kata. Berita yang dikirim mencakup segala hal, politik, ekonomi
ataupun perkembangan umum. Menurutnya, banyak sekali keuntungan
pemerintah karena tulisan-tulisan tentang Indonesia di pers
asing. Pernah ia sekali kena semprot Ali Sadikin waktu masih
jadi gubernur DKI.
Rupanya Haryono, 41 tahun, tidak kalah galak. Dia menantang Ali
Sadikin untuk menunjukkan bagian mana tulisannya tentang Jakarta
yang dianggap salah. Karena menurut dia selain menulis tentang
segi baiknya, dia menulis juga tentang segi jeleknya, misalnya
tentang kelab malam. Akhirnya Bang Ali me ngerti dan persoalan
selesai.
Kata Haryono: "Belum tentu orang yang bekerja di pers asing
tidak punya rasa nasionalisme." Sebagai orang Indonesia, dalam
menulis berita tentu saja ia juga mempertimbangkan kepentingan
nasional Indonesia.
FX MASAYUKI KITAMURA (30 tahun)
Pengalaman pertarna Fransiscus Xaverius Masayuki Kitamura,
koresponden KB Kyodo di Indonesia ialah kena pungli. Di lapangan
terbang Halim tahun lalu ia diharuskan membayar ke pabean $10.
Ketika isteri dan anaknya tiga bulan kemudian menyusulnya
datang, mereka juga harus bayar pungli. Tetapi mereka ini
kemudian segan pulang ke Jepang karena merasa cocok dengan udara
Indonesia. Makanan pun enak.
Ditunjuk sebagai koresponden Kyodo untuk Indonesia sejak tahun
lalu, Kitamura yang sudah mengunjungi beberapa daerah Indonesia
termasuk pulau Buru, tampaknya sudah bisa menyesuaikan diri
dengan keadaan Indonesia. "Di Indonesia tidak ada sensor untuk
wartawan asing. Kami bisa menulis apa saja."
Tidak berarti ia tidak punya keluhan. Ia tidak bisa mengerti
mengapa untuk mengunjungi daerah-daerah diperlukan izin yang
lama sekali keluamya. Khususnya untuk pergi ke Irian Jaya dan
Timor Timur. "Itu kan bagian dari Indonesia juga?" tanyanya.
Ia memang belajar untuk jadi wartawan. Begitu lulus dari
jurusan Jurnalistik Universitas Sofia di Tokyo ia langsung
bekerja di KB Kyodo. FX di depan namanya menunjukkan bahwa dia
beragama Katholik, yang juga dianut isteri dan tiga anaknya.
Satu lagi yang disesalkannya ialah penghitaman yang dilakukan
pada berita tentang Indonesia yang dimuat koran Jepang yang
masuk ke Indonesia. "Di Jakarta tinggal lebih dari 5.000 orang
Jepang. Mereka biasanya, terutama isteri-isteri mereka yang
hanya menguasai bahasa Jepang, membaca koran Jepang.
Kini mereka samasekali tidak tahu tentang situasi Indonesia."
Akibatnya mereka mudah percaya pada desas-desus."
Ia menunjukkan contohnya. 19 Januari di kalangan masyarakat
Jepang tersebar desas-desus bahwa keadaan akan kacau dan mungkin
terjadi pembakaran mobil-mobil seperti waktu Malari. Akibatnya
banyak orang-orang Jepang yang segera menimbun persediaan
makanan, beras, gula dan makanan kaleng. "Itu sangat menyedihkan
saya," katanya.
ALAN GEOFFRY MORRIS
Di Departemen Penerangan ia tercatat sebagai wartawan, tetapi
menurut Morris, ia sebetulnya pegawai biasa di Radio Australia,
bagian siaran luar-negeri ABC khusus untuk Indonesia. Dari 6000
pegawai ABC hanya 300 yang bertugas sebagai wartawan di News
department. Morris (41 tahun) lahir di India dan masuk Radio
Australia tahun 1965. Lulusan SMP yang kemudian menjadi bintara
Angkatan Laut ini setelah bebas tugas masuk Radio Australia
karena mencintai bahasa Indonesia.
Dengan bekerja di Radio Australia itu diharapkannya bahasa
Indonesianya terpelihara dan berkembang. Meskipun begitu, ia
merasa--anehnya-kalau terlalu lama tinggal di Indonesia, bahasa
Indonesianya akan semakin rusak. Ia merasa mengaku lebih tertib
dalam berbahasa Indonesia daripada orang awam di Indonesia.
Kalimat "Apa itu?" menurut Morris salah, dan seharusnya '7Apakah
gerangan itu?" Maklum ia belajar bahasa Indonesia dari orang
Melayu.
Morris merasa tidak pernah merasa terkekang kebebasannya selama
di Indonesia. Kalau ada kesulitan dalam mengumpulkan berita, itu
bukan karena pembatasan dari sumber berita tetapi karena
perbedaan kebudayaan. Di Australia atau di Amerika seorang
wartawan biasa angkat telepon untuk minta keterangan dari
seorang menteri atau pejabat tinggi. Tetapi di sini hal itu
memang kurang sopan. kata Morris.
Ia bukan saja mencintai Indonesia, tetapi juga mencintai Yekti,
isterinya. Dengan Sayekti yang asal Purwokerto ini Morris punya
dua anak. Mereka berdua pernah populer ketika mengasuh acara
jawaban surat surat Radio Australia.
"Saya tidak senang menjadi wartawan dan tidak akan meneruskan
karir ini," kata Morris. Ingin bekerja apa nantinya? "Saya ingin
aktif dalam pengajaran bahasa Indonesia."
GUY SACERDOTI
Rambutnya keriting. Kumisnya lebat. Guy Sacerdoti (26 tahun)
adalah yang paling muda di antara wartawan asing yang bekerja di
Indonesia. Pengalaman jurnalistiknya juga dimulai di sini.
Menyelesaikan BAnya dari Union College di New York, Guy yang
pandai main piano ini mencari pengalaman dengan berkeliling
Amerika bersama suatu band musik. Di California ia berkenalan
dengan VIA (Volunteers in Asia), suatu organisasi swasta kecil
yang menyebar para anotanya di beberapa negara Asia untuk
mengajar bahasa Inggeris. Di Indonesia VIA bekerja sama dengan
Butsi dan Departemen P & K. Pertama dikirim ke Indonesia, Guy
ditempatkan di Ambon, tinggal bersama suatu keluarga dengan uang
saku Rp 10.000 sebulan.
Di tahun 1975 dan kemudian Mei 1976, perusahaan televisi NBC
memintanya untuk membantu meng-cover kedatangan Presiden Ford
dan konperensi OPEC di Bali. Guy yang mulai kerasan tinggal di
Indonesia merasa senang bekerja sebagai orang pers. Ia mulai
membantu Far Eastern Economic Review, kemudian juga menulis
untuk Mc Graw Hill World News dan salah satu penerbitan
perusahaan itu, Business Week. Ia masih juga membantu NBS dan
akhir-akhir ini juga majalah Time.
Di akhir 1976, pernah uangnya tinggal Rp 80, sedang ia masih
harus menunggu satu minggu sebelum menerima kiriman uang. Selama
satu minggu ia terpaksa makan bergilir ke rumah rekan-rekannya.
Sekarang ia sudah mampu menyewa kamar di Tanah Abang.
Selama ini ia tidak merasa mendapat kesulitan kalau mengumpulkan
bahan tentang hal-hal yang menyangkut penanaman modal asing,
tentang Pertamina atau Pertambangan karena sumber-sumber
tersebut lebih terbuka bagi pers asing. Tetapi di bidang lain
menurut dia sulit atau malahan ia merasa dipersulit.
SHOSUKE KANEYUKI
Dengan oplag yang tiap harinya melebihi 7 juta, Yomiuri Shimbun
merupakan suratkabar terbesar yang menempatkan korespondennya di
Indonesia.
Kaneyuki (40 tahun) telah dua tahun menetap di Jakarta. Selain
mengcover Indonesia, ia iuga bertugas mengcover Australia da
Oceania. Khusus untuk peristiwa-peristiwa ekonomi, ia juga harus
mencover negara-negara Asean.
Tahun ini ia merasa senang karena tidak lagi kena pungli ketika
mengurus berbagai dokumen. Yang dikeluhkannya ialah bagaimana
sulitnya untuk mengkonfirmasi suatu berita di Indonesia. Di
Jepang, sangat mudah menemui pejabat sampai tingkat menteri pun
untuk konfirmasi suatu berita. Caranya ialah dengan mendatangi
rumah sang pejabat pagi-pagi sekali atau larut malam sebelum dia
berangkat ke kantor atau kalau pulang ke rumah.
Ruangan yang tersedia di Yomiuri untuk berita-berita dari
Indonesia tidak terlalu besar dan tergantung pada situasi.
Berita yang dapat prioritas adalah berita politik, ekonomi dan
sosial yang menyangkut hubungan Indonesia-Jepang.
HAMISH MCDONALD
Umurnya mencapai 30 tahun Mei nanti. Pendidikannya: BA dalam
Ilmu Politik dan Sastra Perancis di Sydney University. Karir
jurnalistiknya dimulai begitu dia tamat sekolah dengan memasuki
Sydney Morning Herald. Tapi ia datang pertama kali di Indonesia
tahun 1970 bukan sebagai wartawan, tetapi menurut pengakuannya
sebagai hippy. Ia bosan jadi wartawan di Australia dan di tahun
1975 menjual VWnya. Dengan bekal A$4000 datang ke Jakarta untuk
jadi wartawan asing freelance yang menetap di Jakarta.
Ia menulis di sana-sini dan hasilnya hanya cukup untuk hidup
pas-pasan dengan isteri dan anaknya. Anaknya, Catriona (S tahun)
lebih lancar bicara bahasa Betawi ketimbang bahasa Inggeris
--berkat tinggal mereka di suatu gang di belakang Kartika Plaza.
Mula-mula ke mana-mana ia naik biskota. Lalu ketika nasibnya
membaik ia bisa beli sepeda motor Kawasaki dan isterinya Honda
bebek.
Hamish kemudian diangkat sebagai koresponden tetap Sydney
Morningerald dan Washington Post, sehingga nasibnya jauh lebih
baik lagi. Ia mampu pindah ke rumah yang lebih lumayan di
Kebayoran dan bisa membeli mobil Toyota bekas. Dia kerja keras,
dari jam 7 pagi sampai larut tengah malam. Sebab ia juga
stringing (membantu lepas) BBC, ABC, Financial Review, National
Times, FEER dan beberapa yang lain.
YOSHITAKA MASUKO
Mungkin Yoshitaka Masuko (40 tahun) satu-satunya wartawan asing
yang mempunyai orangtua angkat di Indonesia. Tahun 1970 oleh
kantornya Masuko dikirim belajar ke Fakultas Sospol UGM sebagai
pendengar selama satu tahun. Di Yogya ia menyewa kamar di jalan
Cikditiro 16. Pemilik rumah, R.M. Cokrodiprodjo (82 tahun)
merasa sayang pada pemuda Jepang ini dan mengangkatnya sebagai
anak sendiri. Sampai sekarang orang tua angkatnya ini kalau ke
Jakarta pasti menginap di rumah Masuko.
Masuko sendiri memasuki A sahi Shimbun, salah satu koran
terbesar di Jepang, setamatnya dari Fakultas Politik dan Ekonomi
Universitas Waseda. Ia diangkat sebagai koresponden di beberapa
daerah di Jepang. Ia datang ke Jakarta sebagai koresponden Asahi
Shimbun tahun 1974. Bahasa Indonesianya lancar dan ia sering
tampak menonton pementasan drama di TIM.
Ia juga tidak gembira dengan penghitaman pada penerbitan asing
termasuk koran Jepang. "Pengusaha-pengusaha Jepang tentu mengira
di sini tidak ada kestabilan keamanan dan politik. Kalau tidak,
mengapa koran-koran sampai dihitamkan. Dan mereka mungkin akan
berfikir dua tiga kali kalau mau memperbesar bisnis mereka."
Tapi jika per.ghitaman di korannya ia tolak, penghijauan di
Jakarta disambutnya dengan gembira. "Di Tokyo penuh polusi,
sukar sekali kalau anda mau melihat pohon-pohon."
GHAFFUR FADYL
Tahun 1966, (haffur Fadyl yang sejak 1963 bekerja sebagai
wartawan KB Antara berpendapat bahwa dengan keadaan Antara yang
"turun-naik" dall "banyak politiknya" akan membuat dia tidak
akan bisa maju lagi. Karena itu ia masuk ke perwakilan KB
Associated Press AP) untuk "belajar."
Ia merasa pilihannya tidak sia-sia. Tahun 1968 ia mendapat
beasiswa untuk belajar jurnalistik di AS dan tahun 1973 ia
diangkat jadi koresponden AP dan kepala perwakilan di Jakarta.
Perwakilan Jakarta berada di bawah koodinasi Singapura yang
merupakan biro regional.
Tahun lalu ia terpilih sebagai ketua Jakarta Foreign
Correspondent Club, perkumpulan para wartawan asing di Jakarta.
Selama beberapa tahun terakhir ini organisasi ini memang tidak
aktif, tetapi Ghaffur bermaksud menghidupkannya lagi dalam waktu
dekat.
Ia menjawab "kepingin sih kepingin" ketika ditanya apakah ia
tidak ingin bekerja di pers nasional. "Kalau memang memuaskan
dari segala segi, why not?"
SIDOROV TOURI
Sebagaimana umumnya wartawan Rusia yang ditugaskan di sini,
Sidorov Touri (28 tahun) koresponden KB TASS, lancar berbahasa
Tndonesia. Ia memang lulusan institut Bahasa-bahasa Timur pada
Universitas Moskow, bagian bahasa Indonesia. Isterinya, Natasha,
yang bersama bayinya Anya dibawanya ke sini, juga lulusan
Institut yang sama, tetapi dari lain jurusan.
Ia bekerja sendirian di sini dan sedang menunggu kedatangan
seorang rekannya lagi dari Rusia. Tampaknya ia taat benar kepada
kebijaksanaan resmi TASS. Setiap kali ditanya soal yang
dianggapnya soal dalam negeri, ia selalu menjawab bahwa "itu
urusan pemerintah Indonesia."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini