Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Orang-Orang Di Belakang Berita

Koresponden kantor berita asing di ri, al hartoyo, raphael pura, uros skala, soeharyono, masayuki kitamura, alan morris, guy sacerdoti, shosuke kaneyuki, hamish mcdonald, yoshitaka masuko, ghaffur fadyl.(md)

11 Februari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JUMLAH mereka di Jakarta hanya sekitar tigapuluhan. Tetapi mereka dianggap mewakili dunia internasional. Lewat tangan-tangan mereka berita-berita tentang Indonesia tersebar ke seluruh dunia. Bagaimana wajah-wajah mereka? Inilah beberapa di antara mereka yang diwawancarai TEMPO. Kali ini mereka berbicara tentang diri mereka, dunia kerja dan suka-duka mereka, dan juga tentang Indonesia. HARTOYO, koresponden UPI Setelah meletusnya peristiwa Gestapu, banyak wartawan asing datang ke Yogya dan umumnya mereka memerlukan guide. Hartoyo, kini 42, yang waktu itu kuliah di fakultas Ekonomi UGM kebetulan menjadi guide R.E. Stannard, koresponden UPI di Indonesia. Dan di tahun 1966 ketika mencari pekerjaan di Jakarta, kembali Hartoyo bertemu dengan Stannard yang segera menawarinya pekerjaan sebagai Wartawan UPI. Dunia jurnalistik bukan hal baru bagi Hartoyo. Di tahun 1952 ia pernah menjadi wartawan kantor berita PIA selama beberapa tahun. Agaknya ia dianggap cukup berprestasi dan di tahun 1973 diangkat sebagai koresponden UPI untuk Indon esia. Ia merupakan satu-satunya warta wan setempat di Asia Tenggara yang menjadi koresponden UPI. Belasan tahun menjadi wartawan, Hartayo pernah sekali mendapat "peringatan" Deppen. Waktu itu ia menulis tentang pernyataan Adam Malik tentang kemungkinan pencairan hubungan diplomatik Indonesia-RRC. Seorang pejabat Deppen menelponnya dan mengatakan berita yang ditulisnya itu "membahayakan." Membahayakan untuk siapa, untuk saya atau untuk pemerintah?, tanya Hartoyo. Penelpon dari Deppen hanya menjawab dengan tertawa. Diangkatnya orang Indonesia sebagai karesponden kantor berita asing dianggapnya menguntungkan karena sebagai orang Indonesia dia akan memandang segala sesuatu dengan kacamata Indonesia dan "tidak lekas kaget" melihat suatu peristiwa. "Tetapi itu tidak berarti artawan asing akan menulis dengan berat sebelah karena banyak wartawan asing yang menulis secara obyektif." Hartoyo yang punya tiga anak dan tinggal di daerah Menteng ("itu yang mengontrakkan UPI") suatu waktu ingin bekerja untuk pers Indonesia. "Sebagai orang Indonesia, rasanya lebih mantap bekerja untuk pers nasional danmelihat tulisan kita dimuat. Itu lebih memuaskan." RAPHAEL PURA Ia biasa dipanggil Rocky oleh teman-temannya. Berbadan tegap dengan muka yang agak menantang, ia bisa dikira seorang petinju. Tetapi itulah Raphael Pura (31 tahun) koresponden dan perwakilan tetap koran The Asian Walstreet Journal di Jakarta. Bahasa Indonesianya lancar tetapi dengan logat Malaysia yang didapatnya ketika di tahun 1968 selama 3« tahun jadi sukarelawan Peace Corps di semenanjung itu. Sejak duru ia ingin jadi wartawan. Itu sebabnya ia masuk jurusan jurnalistik di Ohio University sampai mendapat MA. Dari universitas yang sama ia memperoleh juga MA di bidang International Relations. Selesai sekolah ia diterima sebagai staf tetap ewsweek di Tokio. Belakangan begitu mendengar Asian Wallstreet Joumal mau membuka edisi Asia, ia langsung melamar dan diterima. Ia tergolong wartawan yang suka memuat tulisan yang eksklusif, terutama tentang ekonomi. Seorang pejabat tinggi Departemen Pertambangan menganggap tulisan dan ulasannya cukup seim bang dan menguasai persoalan. Secarabercanda ia sering mengatakan mungkin ia punya darah Bali. "Di Bali kan banyak pura," katanya. UROS SKALA Kegemaran koresponden KB Tanjug (Yugoslavia) ini ialah memelihara anjing dan berjalan kaki. Sayang tidak aman berjalan kaki di Jakarta. Selain tempat yang tersedia sangat sempit, para pengendara kendaraan bermotor juga kurang menghargai pejalan kaki. Pernah sekali ia ditabrak sebuah sedan dan penabraknya hanya menyampaikan alamat dan nomor mobilnya tetapi tanpa nomer seri sehingga akhirnya ketika dicari tidak ketemu, Uros (58 tahun) terpaksa dirawat di Pertamina dan untuk itu ia harus mengeluarkan 1000 dollar. Sebetulnya ia sarjana hukum tetapi lama pers ternyata lebih menariknya, dan sampai sekarang pengalaman jurnalistiknya sudah mencapai 25 tahun. Uros tinggal di Indonesia bersama isterinya. Keempat anak dan lima cucunya tinggal di negara asalnya. Berita yang dikirimkannya umumnya yang menyangkut kehidupan rakyat banyak, misalnya tentang Perumnas atau kegiatan Opstib. Ia mengatakan tidak pernah mendapat kesulitan untuk mencari beritadi Indonesia. Ia merasa cukup tahu mana yang berita baginya dan mana yang urusan dalam negeri Indonesia. Misalnya mengenai kegiatan mahasiswa ia hanya mengamati saja. Dalam menjalankan tugas sehari-hari ia naik helicak, bis-kota dan kalau perlu sekali baru naik taksi. Ia kurang puas dengan pelayanan teleks di Jakarta, yang terbatas waktunya, sehingga tidak setiap waktu ia dapat mengirimkan berita. Tetapi ia menganggap fasilitas yang tersedia di sini untuk menjalankan tugasnya cukup. SOEHARYONO Ia mungkin orang Indonesia yang paling lama bekerja di suatu perwakilan pers asing. Tahun 1956 ia mulai bekerja di perwakilan KB Reuter dan bertahan di situ sampai sekarang. Pengalanan jurnalistiknya dimulai sebagai wartawan harian Nasional Yogyakarta ketika ia masih kuliah di fakultas Ekonomi UGM yang hanya setahun sempat dikecapnya. Tidak ada alasan baginya untuk keluar dari Reuter. Hubungan kerjanya telah dibina dengan baik. Saat ini ada enam orang pegawai di kantor perwakilan Reuter Jakarta, termasuk dia sendiri sebagai Wakil Kepala Perwakilan. Di Reuter dia pernah ditugaskan di beberapa tempat, misalnya London selama 1« tahun, Hongkong 1 tahun dan Singapura 6 bulan. Reuter Jakarta sekarang mengirim berita sehari rata-rata 2000 kata. Berita yang dikirim mencakup segala hal, politik, ekonomi ataupun perkembangan umum. Menurutnya, banyak sekali keuntungan pemerintah karena tulisan-tulisan tentang Indonesia di pers asing. Pernah ia sekali kena semprot Ali Sadikin waktu masih jadi gubernur DKI. Rupanya Haryono, 41 tahun, tidak kalah galak. Dia menantang Ali Sadikin untuk menunjukkan bagian mana tulisannya tentang Jakarta yang dianggap salah. Karena menurut dia selain menulis tentang segi baiknya, dia menulis juga tentang segi jeleknya, misalnya tentang kelab malam. Akhirnya Bang Ali me ngerti dan persoalan selesai. Kata Haryono: "Belum tentu orang yang bekerja di pers asing tidak punya rasa nasionalisme." Sebagai orang Indonesia, dalam menulis berita tentu saja ia juga mempertimbangkan kepentingan nasional Indonesia. FX MASAYUKI KITAMURA (30 tahun) Pengalaman pertarna Fransiscus Xaverius Masayuki Kitamura, koresponden KB Kyodo di Indonesia ialah kena pungli. Di lapangan terbang Halim tahun lalu ia diharuskan membayar ke pabean $10. Ketika isteri dan anaknya tiga bulan kemudian menyusulnya datang, mereka juga harus bayar pungli. Tetapi mereka ini kemudian segan pulang ke Jepang karena merasa cocok dengan udara Indonesia. Makanan pun enak. Ditunjuk sebagai koresponden Kyodo untuk Indonesia sejak tahun lalu, Kitamura yang sudah mengunjungi beberapa daerah Indonesia termasuk pulau Buru, tampaknya sudah bisa menyesuaikan diri dengan keadaan Indonesia. "Di Indonesia tidak ada sensor untuk wartawan asing. Kami bisa menulis apa saja." Tidak berarti ia tidak punya keluhan. Ia tidak bisa mengerti mengapa untuk mengunjungi daerah-daerah diperlukan izin yang lama sekali keluamya. Khususnya untuk pergi ke Irian Jaya dan Timor Timur. "Itu kan bagian dari Indonesia juga?" tanyanya. Ia memang belajar untuk jadi wartawan. Begitu lulus dari jurusan Jurnalistik Universitas Sofia di Tokyo ia langsung bekerja di KB Kyodo. FX di depan namanya menunjukkan bahwa dia beragama Katholik, yang juga dianut isteri dan tiga anaknya. Satu lagi yang disesalkannya ialah penghitaman yang dilakukan pada berita tentang Indonesia yang dimuat koran Jepang yang masuk ke Indonesia. "Di Jakarta tinggal lebih dari 5.000 orang Jepang. Mereka biasanya, terutama isteri-isteri mereka yang hanya menguasai bahasa Jepang, membaca koran Jepang. Kini mereka samasekali tidak tahu tentang situasi Indonesia." Akibatnya mereka mudah percaya pada desas-desus." Ia menunjukkan contohnya. 19 Januari di kalangan masyarakat Jepang tersebar desas-desus bahwa keadaan akan kacau dan mungkin terjadi pembakaran mobil-mobil seperti waktu Malari. Akibatnya banyak orang-orang Jepang yang segera menimbun persediaan makanan, beras, gula dan makanan kaleng. "Itu sangat menyedihkan saya," katanya. ALAN GEOFFRY MORRIS Di Departemen Penerangan ia tercatat sebagai wartawan, tetapi menurut Morris, ia sebetulnya pegawai biasa di Radio Australia, bagian siaran luar-negeri ABC khusus untuk Indonesia. Dari 6000 pegawai ABC hanya 300 yang bertugas sebagai wartawan di News department. Morris (41 tahun) lahir di India dan masuk Radio Australia tahun 1965. Lulusan SMP yang kemudian menjadi bintara Angkatan Laut ini setelah bebas tugas masuk Radio Australia karena mencintai bahasa Indonesia. Dengan bekerja di Radio Australia itu diharapkannya bahasa Indonesianya terpelihara dan berkembang. Meskipun begitu, ia merasa--anehnya-kalau terlalu lama tinggal di Indonesia, bahasa Indonesianya akan semakin rusak. Ia merasa mengaku lebih tertib dalam berbahasa Indonesia daripada orang awam di Indonesia. Kalimat "Apa itu?" menurut Morris salah, dan seharusnya '7Apakah gerangan itu?" Maklum ia belajar bahasa Indonesia dari orang Melayu. Morris merasa tidak pernah merasa terkekang kebebasannya selama di Indonesia. Kalau ada kesulitan dalam mengumpulkan berita, itu bukan karena pembatasan dari sumber berita tetapi karena perbedaan kebudayaan. Di Australia atau di Amerika seorang wartawan biasa angkat telepon untuk minta keterangan dari seorang menteri atau pejabat tinggi. Tetapi di sini hal itu memang kurang sopan. kata Morris. Ia bukan saja mencintai Indonesia, tetapi juga mencintai Yekti, isterinya. Dengan Sayekti yang asal Purwokerto ini Morris punya dua anak. Mereka berdua pernah populer ketika mengasuh acara jawaban surat surat Radio Australia. "Saya tidak senang menjadi wartawan dan tidak akan meneruskan karir ini," kata Morris. Ingin bekerja apa nantinya? "Saya ingin aktif dalam pengajaran bahasa Indonesia." GUY SACERDOTI Rambutnya keriting. Kumisnya lebat. Guy Sacerdoti (26 tahun) adalah yang paling muda di antara wartawan asing yang bekerja di Indonesia. Pengalaman jurnalistiknya juga dimulai di sini. Menyelesaikan BAnya dari Union College di New York, Guy yang pandai main piano ini mencari pengalaman dengan berkeliling Amerika bersama suatu band musik. Di California ia berkenalan dengan VIA (Volunteers in Asia), suatu organisasi swasta kecil yang menyebar para anotanya di beberapa negara Asia untuk mengajar bahasa Inggeris. Di Indonesia VIA bekerja sama dengan Butsi dan Departemen P & K. Pertama dikirim ke Indonesia, Guy ditempatkan di Ambon, tinggal bersama suatu keluarga dengan uang saku Rp 10.000 sebulan. Di tahun 1975 dan kemudian Mei 1976, perusahaan televisi NBC memintanya untuk membantu meng-cover kedatangan Presiden Ford dan konperensi OPEC di Bali. Guy yang mulai kerasan tinggal di Indonesia merasa senang bekerja sebagai orang pers. Ia mulai membantu Far Eastern Economic Review, kemudian juga menulis untuk Mc Graw Hill World News dan salah satu penerbitan perusahaan itu, Business Week. Ia masih juga membantu NBS dan akhir-akhir ini juga majalah Time. Di akhir 1976, pernah uangnya tinggal Rp 80, sedang ia masih harus menunggu satu minggu sebelum menerima kiriman uang. Selama satu minggu ia terpaksa makan bergilir ke rumah rekan-rekannya. Sekarang ia sudah mampu menyewa kamar di Tanah Abang. Selama ini ia tidak merasa mendapat kesulitan kalau mengumpulkan bahan tentang hal-hal yang menyangkut penanaman modal asing, tentang Pertamina atau Pertambangan karena sumber-sumber tersebut lebih terbuka bagi pers asing. Tetapi di bidang lain menurut dia sulit atau malahan ia merasa dipersulit. SHOSUKE KANEYUKI Dengan oplag yang tiap harinya melebihi 7 juta, Yomiuri Shimbun merupakan suratkabar terbesar yang menempatkan korespondennya di Indonesia. Kaneyuki (40 tahun) telah dua tahun menetap di Jakarta. Selain mengcover Indonesia, ia iuga bertugas mengcover Australia da Oceania. Khusus untuk peristiwa-peristiwa ekonomi, ia juga harus mencover negara-negara Asean. Tahun ini ia merasa senang karena tidak lagi kena pungli ketika mengurus berbagai dokumen. Yang dikeluhkannya ialah bagaimana sulitnya untuk mengkonfirmasi suatu berita di Indonesia. Di Jepang, sangat mudah menemui pejabat sampai tingkat menteri pun untuk konfirmasi suatu berita. Caranya ialah dengan mendatangi rumah sang pejabat pagi-pagi sekali atau larut malam sebelum dia berangkat ke kantor atau kalau pulang ke rumah. Ruangan yang tersedia di Yomiuri untuk berita-berita dari Indonesia tidak terlalu besar dan tergantung pada situasi. Berita yang dapat prioritas adalah berita politik, ekonomi dan sosial yang menyangkut hubungan Indonesia-Jepang. HAMISH MCDONALD Umurnya mencapai 30 tahun Mei nanti. Pendidikannya: BA dalam Ilmu Politik dan Sastra Perancis di Sydney University. Karir jurnalistiknya dimulai begitu dia tamat sekolah dengan memasuki Sydney Morning Herald. Tapi ia datang pertama kali di Indonesia tahun 1970 bukan sebagai wartawan, tetapi menurut pengakuannya sebagai hippy. Ia bosan jadi wartawan di Australia dan di tahun 1975 menjual VWnya. Dengan bekal A$4000 datang ke Jakarta untuk jadi wartawan asing freelance yang menetap di Jakarta. Ia menulis di sana-sini dan hasilnya hanya cukup untuk hidup pas-pasan dengan isteri dan anaknya. Anaknya, Catriona (S tahun) lebih lancar bicara bahasa Betawi ketimbang bahasa Inggeris --berkat tinggal mereka di suatu gang di belakang Kartika Plaza. Mula-mula ke mana-mana ia naik biskota. Lalu ketika nasibnya membaik ia bisa beli sepeda motor Kawasaki dan isterinya Honda bebek. Hamish kemudian diangkat sebagai koresponden tetap Sydney Morningerald dan Washington Post, sehingga nasibnya jauh lebih baik lagi. Ia mampu pindah ke rumah yang lebih lumayan di Kebayoran dan bisa membeli mobil Toyota bekas. Dia kerja keras, dari jam 7 pagi sampai larut tengah malam. Sebab ia juga stringing (membantu lepas) BBC, ABC, Financial Review, National Times, FEER dan beberapa yang lain. YOSHITAKA MASUKO Mungkin Yoshitaka Masuko (40 tahun) satu-satunya wartawan asing yang mempunyai orangtua angkat di Indonesia. Tahun 1970 oleh kantornya Masuko dikirim belajar ke Fakultas Sospol UGM sebagai pendengar selama satu tahun. Di Yogya ia menyewa kamar di jalan Cikditiro 16. Pemilik rumah, R.M. Cokrodiprodjo (82 tahun) merasa sayang pada pemuda Jepang ini dan mengangkatnya sebagai anak sendiri. Sampai sekarang orang tua angkatnya ini kalau ke Jakarta pasti menginap di rumah Masuko. Masuko sendiri memasuki A sahi Shimbun, salah satu koran terbesar di Jepang, setamatnya dari Fakultas Politik dan Ekonomi Universitas Waseda. Ia diangkat sebagai koresponden di beberapa daerah di Jepang. Ia datang ke Jakarta sebagai koresponden Asahi Shimbun tahun 1974. Bahasa Indonesianya lancar dan ia sering tampak menonton pementasan drama di TIM. Ia juga tidak gembira dengan penghitaman pada penerbitan asing termasuk koran Jepang. "Pengusaha-pengusaha Jepang tentu mengira di sini tidak ada kestabilan keamanan dan politik. Kalau tidak, mengapa koran-koran sampai dihitamkan. Dan mereka mungkin akan berfikir dua tiga kali kalau mau memperbesar bisnis mereka." Tapi jika per.ghitaman di korannya ia tolak, penghijauan di Jakarta disambutnya dengan gembira. "Di Tokyo penuh polusi, sukar sekali kalau anda mau melihat pohon-pohon." GHAFFUR FADYL Tahun 1966, (haffur Fadyl yang sejak 1963 bekerja sebagai wartawan KB Antara berpendapat bahwa dengan keadaan Antara yang "turun-naik" dall "banyak politiknya" akan membuat dia tidak akan bisa maju lagi. Karena itu ia masuk ke perwakilan KB Associated Press AP) untuk "belajar." Ia merasa pilihannya tidak sia-sia. Tahun 1968 ia mendapat beasiswa untuk belajar jurnalistik di AS dan tahun 1973 ia diangkat jadi koresponden AP dan kepala perwakilan di Jakarta. Perwakilan Jakarta berada di bawah koodinasi Singapura yang merupakan biro regional. Tahun lalu ia terpilih sebagai ketua Jakarta Foreign Correspondent Club, perkumpulan para wartawan asing di Jakarta. Selama beberapa tahun terakhir ini organisasi ini memang tidak aktif, tetapi Ghaffur bermaksud menghidupkannya lagi dalam waktu dekat. Ia menjawab "kepingin sih kepingin" ketika ditanya apakah ia tidak ingin bekerja di pers nasional. "Kalau memang memuaskan dari segala segi, why not?" SIDOROV TOURI Sebagaimana umumnya wartawan Rusia yang ditugaskan di sini, Sidorov Touri (28 tahun) koresponden KB TASS, lancar berbahasa Tndonesia. Ia memang lulusan institut Bahasa-bahasa Timur pada Universitas Moskow, bagian bahasa Indonesia. Isterinya, Natasha, yang bersama bayinya Anya dibawanya ke sini, juga lulusan Institut yang sama, tetapi dari lain jurusan. Ia bekerja sendirian di sini dan sedang menunggu kedatangan seorang rekannya lagi dari Rusia. Tampaknya ia taat benar kepada kebijaksanaan resmi TASS. Setiap kali ditanya soal yang dianggapnya soal dalam negeri, ia selalu menjawab bahwa "itu urusan pemerintah Indonesia."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus