Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA perkara ini berpotensi melemahkan lagi ekonomi Indonesia yang sedang berupaya menggeliat pulih. Yang pertama, perubahan kebijakan moneter The Federal Reserve. Kedua, wabah Covid-19 yang kian merebak di mana-mana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pasar sebetulnya sudah mengantisipasi perubahan kebijakan The Fed. Namun hasil sidang Federal Open Market Committee (FOMC), Selasa-Rabu, 15-16 Juni lalu, sungguh di luar dugaan karena The Fed mendadak mengirim sinyal perubahan yang amat cepat. Sebelum sidang itu, The Fed mendapat banyak kritik karena lamban merespons. Banyak ekonom menuding The Fed terlalu fanatik mengadopsi gaya jinak-jinak merpati atau, menurut jargon pasar, dovish. Seusai pertemuan FOMC, The Fed berubah menjadi agresif. Merpati itu mendadak sontak berubah menjadi elang, hawkish.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para petinggi The Fed memproyeksikan kenaikan suku bunga dua kali pada 2023, lebih cepat dan lebih kerap ketimbang rencana sebelumnya. Selain itu, The Fed akan mulai mendiskusikan pengurangan suntikan likuiditas ke pasar atau tapering dalam pertemuan FOMC bulan depan. Ini sebuah isyarat penting. Bisa jadi The Fed benar-benar akan memulai tapering sebelum tahun ini berakhir.
Sejak pandemi Covid-19 melanda, dua kebijakan The Fed ini—suku bunga yang membeku di sekitar nol persen dan suntikan likuiditas senilai US$ 120 miliar per bulan—menjadi penyelamat pasar. Jika The Fed mengendurkan dukungan itu, pasar finansial global bakal kalang kabut. Yang paling terpukul adalah pasar negara berkembang, seperti Indonesia. Menyurutnya suntikan likuiditas dari The Fed dan naiknya bunga dapat mendorong modal asing, yang selama ini betah mengeram di sini, keluar dalam jumlah besar.
Berbaliknya arus modal secara masif berdampak buruk bagi ekonomi Indonesia, yang masih memikul defisit neraca transaksi berjalan. Selama ini, aliran modal asing itulah yang menjadi ganjal penutup defisit tersebut. Dana asing ini masuk melalui berbagai wahana investasi di pasar finansial, baik obligasi maupun saham. Jika ganjal ini hilang, defisit neraca transaksi berjalan bisa melebar. Pasokan dolar ke dalam negeri menipis. Konsekuensinya, kurs rupiah makin tertekan.
Selain mengganjal defisit neraca transaksi berjalan, modal asing yang masuk ke Indonesia berperan besar menolong pemerintah membiayai defisit anggaran pendapatan dan belanja negara. Posisi dana asing yang masuk ke obligasi terbitan pemerintah RI hingga 17 Juni 2021 mencapai Rp 981 triliun. Jika dana ini berbalik keluar dalam jumlah yang cukup signifikan, bisa timbul dampak berantai yang merepotkan. Salah satunya pemerintah akan makin sulit menerbitkan obligasi lagi untuk menutup defisit anggaran tahun ini yang diproyeksikan mencapai Rp 1.006 triliun. Setidaknya pemerintah harus bersedia membayar kupon obligasi lebih mahal sebagai pemikat agar dana asing tetap mau bertahan membeli obligasi pemerintah RI.
Di tengah pasar yang tengah bergejolak inilah wabah Covid-19 di Indonesia mendadak mengganas lagi. Upaya pemulihan ekonomi kembali menghadapi tantangan serius. Jika pemerintah membatasi lagi kegiatan ekonomi secara lebih ketat demi mengurangi risiko penyebaran wabah, ekonomi bisa kembali melamban. Sebaliknya, jika tak ada upaya serius menahan penyebaran Covid-19, ekonomi mungkin bakal terpukul lebih parah.
Situasi ini semestinya sudah cukup gawat untuk memantik kembalinya rasionalitas di kalangan pembuat kebijakan. Pemerintah memang tak bisa berbuat apa-apa untuk mengubah kebijakan The Fed. Namun pemerintah seharusnya mengambil beberapa langkah cepat untuk mengatasi keadaan yang sudah masuk wilayah darurat ini. Sudah waktunya pertimbangan ekonomi yang bernalar mendominasi pembuatan kebijakan.
Pertimbangan politik saat ini masih dominan mewarnai keputusan-keputusan pemerintah. Misalnya, hingga kini tak ada ketegasan sikap untuk menghentikan rencana pembelian senjata senilai lebih dari Rp 1.760 triliun hingga 2024. Rencana pembangunan ibu kota baru beristana megah juga tetap bergulir. Sementara itu, ancaman serius yang dapat memukul ekonomi Indonesia dengan telak tetap saja terabaikan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo