KETIKA Grup Summa guncang lantaran terlampau agresif, ekspansi yang dilakukan Astra lalu disorot orang. Apalagi holding company PT Astra International Inc. sudah go public. Jadi, sorotan publik tentu tak terelakkan. Lagi pula, payung Grup Summa ini ternyata gemar melakukan ekspansi. Dan mirip Summa, Astra banyak melebarkan sayapnya di luar bisnis utamanya, otomotif. Memang, sebelum melangkah, di bawah komando Om Willem, Astra telah lebih dulu membenahi bisnis intinya. Itu terlihat dari jumlah perusahaan yang dilaporkan pada rapat umum pemegang saham, akhir Mei lalu. Selain 10 perusahaan yang merakit mesin sekaligus bodi mobil dan motor, sudah ada 22 perusahaan pendukung yang bergerak di bidang produksi berbagai komponen otomotif. Mulai dari yang membuat aki hingga memproduksi AC. Namun, ekspansi yang dilakukan di luar bisnis inti terbukti tak kalah agresifnya. Ada 36 anak perusahaan yang kini bernaung di bawah payung Astra. Rincinya: 5 perusahaan jasa keuangan, 5 perusahaan yang bergerak di industri perkayuan, 14 di sektor perkebunan, 2 perusahaan di industri kimia, 1 di elektronik, satu di alatalat berat, dan tujuh perusahaan yang bergerak di bidang lain yang berorientasi ekspor (sepatu, pakaian jadi, bumbu masak). Seperti dikatakan William kepada TEMPO, sebagian besar anak perusahaan itu belum menghasilkan. Walaupun begitu, Astra akan tetap melanjutkannya. "Kami bukan serakah. Tapi ini dilakukan untuk menjawab tuduhan terhadap industri otomotif, yang oleh banyak orang disebut sebagai pemakai devisa terbanyak," alasannya. Dolar yang diharapkan kelak akan mengalir diperkirakan sebagian besar akan datang dari sektor perkebunan. Astra kini menguasai 300 ribu hektare lahan, yang separuhnya (sekitar 150 ribu hektar) telah ditanami kelapa sawit, karet, cokelat, teh, hingga pisang dan singkong. Tapi karena banyak yang masih dalam tahap penanaman awal belum seberapa yang bisa disumbangkan oleh "bisnis sampingan" ini. Diperkirakan, sektor perkebunan baru menyumbangkan kurang dari 3% (sekitar Rp 175 milyar) dari total penjualan Astra. Dalam laporan keuangan konsolidasi, terlihat sejumlah anak perusahaan, tahun lalu, merugi Rp 51 milyar lebih. "Agribisnis ini membutuhkan waktu. Paling cepat baru tahun ketujuh bisa menghasilkan untung," kata William. Diperkirakan jatuh pada 1995-1996. Seperti biasa, bos pendiri Astra ini yakin atas usahausahanya. Dan itu pula yang menyebabkan dia terus melanjutkan "bisnis sampingannya". Termasuk meneruskan pembangunan 13 perusahaan yang hingga kini masih dalam tahap praoperasi. Sedangkan untuk pendanaannya, "Itu sudah ada jatah pembiayaannya sendiri," katanya. Dengan kata lain, William menjamin ekspansi itu tidak mengganggu keuangan Astra. Jaminan serupa juga diberikan Om Willem setelah menyuntikkan dana Rp 700 milyar untuk Summa. Katanya, yang diberikan itu merupakan uang pribadinya. "Dan ekspansi akan tetap jalan terus," ujarnya. Kendati ada jaminan seperti itu, masih saja ada orang yang meragukannya. Soalnya, modal yang diinvestasi di bidang perkebunan bukanlah kecil. William sendiri belum mau berterus terang tentang jumlah modal yang ditanamkannya di agrobisnis. Namun begitu, jika ditelusuri dari utang-utang yang dibuat Astra, sebagian besar dana yang mengalir ke anak-anak perusahaan bisa diketahui. Satu contoh adalah pinjaman sindikasi dari Dai-Ichi Kangyo Bank, yang jatuh tempo tengah tahun 1994. Entah diberikan kepada anak perusahaan yang mana, yang pasti perusahaan ini menerima pinjaman investasi US$ 25 juta, dengan bunga 1,625% di atas Sibor. Selain dari Dai-Ichi Kangyo, masih ada delapan bank asing dan dalam negeri yang terlibat dalam pemberian pinjaman kepada sejumlah anak perusahaan Astra yang tak disebutkan namanya itu. Misalnya, surat promes yang dikeluarkan oleh salah satu perusahaan kepada Fujibank senilai US$ 33,5 juta dengan bunga 0,75% di atas Sibor. Kemudian ada pinjaman sindikasi yang dipimpin Standard Chartered Bank sebesar US# 30 juta. Seperti halnya kepada Dai-Ichi Kangyo, kepada Standard juga dijaminkan sebagian kekayaan milik anak perusahaan. Total, jika ditambah dengan pinjaman dari Bank BNI, Bank LTCB Central Asia, Bank of Montreal, Algemene Bank Nederland, United Overseas Bank Bali, dan Bank Rakyat Indonesia, pinjaman yang menyangkut nama "anak perusahaan" Astra berjumlah tidak kurang dari Rp 376 milyar. Itu jika dihitung dengan kurs tahun lalu. Namun, karena tidak dirinci dengan jelas, dan nama-nama anak perusahaan itu tidak disebutkan (sengaja atau tidak), angka pasti yang ditanam William di "bisnis sampingannya" tetap merupakan misteri. Sehingga tetaplah menjadi tanda tanya, ada apa sebenarnya di balik laporan keuangan Astra yang kurang transparan itu. Budi Kusumah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini