KALAU mau membeli Indonesia, belilah Indocement. Kalimat yang mengagungagungkan pabrik semen terbesar di Asia ini, yang belakangan makin sering terdengar di kalangan investor asing. Apalagi rapat umum pemegang saham (RUPS) Indocement, Selasa pekan lalu telah mengesahkan langkah akuisisi raksasa yang diambil grup ini. Memang, semakin besar usaha, semakin sering disorot. Padahal, akuisisi, yang populer dua bulan terakhir ini, merupakan langkah yang masih dipertanyakan orang, terutama dampaknya terhadap para pemegang saham minoritas. Banyak orang mempertanyakan, misalnya, kenapa Pemerintah sebagai pemegang 25% saham Indocement menyetujui langkah akuisisi ini? Bukankah Pemerintah bisa terlebih dahulu menarik uang yang pernah mereka suntikkan? Total, Pemerintah kini menguasai 155 juta lembar saham, yang jika dikalikan dengan harga sekarang a Rp 12.500, bernilai lebih dari Rp 1,9 trilyun. Jumlah itu memang besar, tapi diperkirakan Indocement mampu memasoknya. Bukankah tiap tahun Indocement mengalami kelebihan arus kas Rp 200-300 milyar? Usul pembelian kembali saham muncul ke permukaan, karena diperkirakan langkah akuisisi itu akan banyak merugikan pemegang saham minoritas. Selain itu, langkah pembelian kembali, juga akan menguntungkan Pemerintah. Sebab, dengan dana sebesar itu, "Pemerintah bisa berbuat banyak untuk memenuhi kebutuhan berbagai proyek yang mendesak," kata Christianto Wibisono, pengamat yang paling vokal dalam mengkritik langkah akuisisi ini. Sebagai seorang pemegang saham Indocement, Direktur PDBI itu sempat mengedarkan selebaran yang berisi empat pertanyaan, semuanya ditujukan pada direksi Indocement. Pada intinya, Christianto meragukan manfaat akuisisi dan karena itu menganjurkan Indocement untuk membeli saham yang telah mereka lepas ke masyarakat dengan harga pantas. Alasannya: beban utang Indocement akan meningkat dan pada gilirannya berdampak pada dividen pemegang saham yang menciut. Selain itu, ia juga bersedia mengajukan proposal alternatif agar biaya akuisisi bisa lebih hemat. Paling mengesankan adalah, Christianto mengimbau agar pemegang saham minoritas menolak akuisisi hal yang agaknya menyebabkan pihak tertentu menuduhnya telah melakukan machtsvorming. Apakah semua yang dituduhkan Christianto itu benar? Dengan tegar dan tangkas, direksi Indocement membeberkan jawaban mereka. Diakui, akibat akuisisi utang perusahaan akan membengkak menjadi Rp 2,3 trilyun. Tapi, itu tidak berarti dalam rupiah dividen bagian pemegang saham minoritas akan menurun. Sebaliknya, laba yang diperoleh akan menaik. Buktinya, karena pada 31 Desember 1991 (sebelum akuisisi) Indocement untung Rp 308 milyar, sehingga angka itu diprediksikan akan meningkat tahun ini menjadi Rp 326 milyar. Atau naik Rp 18 milyar. Namun, lain jadinya jika yang diperbandingkan antara perolehan laba "tanpa akuisisi" dan "sesudah akuisisi". Jelas, akuisisi akan menyebabkan turunnya keuntungan sebesar Rp 70 milyar (karena laba "tanpa akuisisi" diperkirakan akan mencapai Rp 396 milyar). Dengan kata lain, seperti diperhitungkan Christianto, akuisisi bisa mengakibatkan berkurangnya dividen yang seharusnya diterima pemegang saham tahun depan. Adalah menarik bahwa penurunan dividen ternyata tidak terlalu merisaukan Pemerintah sebagai pemilik 25% saham Indocement. Ini diungkapkan Fuad Bawazier, Direktur Pembinaan BUMN Departemen Keuangan. Katanya, akibat akuisisi laba memang akan menurun. Tapi,"Kalau bicara soal investasi, kita tidak bicara setahun dua tahun. Paling tidak, harus melihat lima tahun ke depan." Fuad tampaknya yakin bahwa dengan langkah akuisisi itu kelak Indocement akan berhasil meraih laba yang lebih besar. Apalagi yang diakuisisi adalah perusahaan-perusahaan yang sangat sehat. Bogasari, yang memonopoli pasar tepung terigu, tahun lalu meraih laba Rp 100 milyar lebih. Indofood dan Wisma Indocement tahun lalu masingmasing melaba Rp 30 milyar dan Rp 7 milyar. Menurut Fuad, sangat disayangkan jika peluang bisnis yang begitu bagus dilewatkan saja. Apalagi keuangan Indocement meraih laba rata-rata hampir Rp 1 milyar sehari sangat mendukung. Itu pula alasan yang dipakai Pemerintah untuk tidak menjual kembali sahamnya kepada pemegang saham mayoritas. "Buat apa dijual?" tanya Fuad. Kalaupun saham itu dijual kembali, akan sulit untuk mencari lahan yang tepat untuk investasi. Lalu, jika ditanamkan pada usaha lain, belum tentu melaba. "Kan mendingan seperti sekarang. Tanpa harus mengeluarkan biaya, tiap tahun Pemerintah dapat dividen," kata Fuad lagi, ringan. Tahun ini Pemerintah menerima dividen Rp 25 milyar dari Indocement. Suara lain yang juga mendukung akuisisi, datang dari pialang saham yang mewakili investor asing. Menurut mereka, langkah akuisisi Indocement cukup positif, karena yang dibeli adalah perusahaan-perusahaan yang untung. Karena itu harga saham Indocement di bursa tidak guncang, malah naik Rp 50 menjadi Rp 12.700 per lembar. Padahal, "Biasanya, sesudah akuisisi harga saham jatuh," kata David Halpert, pialang senior dari PT Goh Ometraco. Menurut Eugene K. Galbraith dari Hoare Govett Ltd. penyebab stabilnya harga saham Indocement, terutama karena pihak manajemen memberikan informasi yang cukup terbuka. "Disclosure Indocement lebih baik ketimbang informasi akuisisi yang diberikan perusahaanperusahaan lain," katanya tanpa merinci. Namun, tidak semua perusahaan yang melaba memiliki prospek cerah. Indofood menguasai 90% pangsa pasar mi instant dan Wisma Indocement, tampaknya okeoke saja. Lain dengan PT Bogasari. Karena usahanya bersifat monopoli, para pialang yang mewakili investor asing melihat Bogasari sebagai perusahaan yang rawan. Kenapa? Alasan pertama, efisiensi Bogasari masih perlu dipertanyakan. Bagaimana seandainya Pemerintah melakukan deregulasi di bidang pengadaan tepung terigu? "Apakah Bogasari bisa kompetitif?" tanya Galbraith. Pendapat senada juga dikemukakan oleh pialang lain yang menilai monopoli seperti Bogasari sangat berbahaya untuk investasi, karena sangat bergantung pada iklim politik. Galbraith malah memastikan bahwa Bogasari belum tentu akan melaba jika Pemerintah menderegulasi pengadaan tepung terigu. Maklum, tanpa saingan, efisiensi Bogasari tak bisa diukur lantaran tak ada pembandingnya. Itulah sebabnya, pialang maupun investor tetap menuntut agar Pemerintah segera menurunkan seperangkat regulasi yang mengatur perusahaanperusahaan go public. Soalnya, tanpa aturan seperti ini, emiten bisa berbuat semaunya. Bisa akuisisi, bisa menggadaikan saham, atau bisa pula menerbitkan saham tambahan yang baru. Pokoknya dapat uang. Sementara halhal seperti itu, "Tidak pernah dicantumkan dalam prospektus ketika mereka mau masuk bursa," kata Djunaidi A.K., Direktur Keuangan Astek, yang juga menjadi investor minoritas di Indocement. Di luar Pemerintah, ada juga pemegang saham minoritas yang menyesalkan akuisisi ini. Astek, misalnya, berpendapat bahwa akuisisi itu akan menurunkan dividen, sedangkan untuk menjual kembali sahamnya, juga tidak mungkin. Karena pasti merugi. Terutama bagi investor yang membeli ketika saham Indocement berada di puncak tangga, dengan harga Rp 16 ribu selembar. Budi Kusumah, Ivan Haris, Bina Bektiati, dan Dwi S Irawanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini