Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Harga gula tak kunjung sesuai dengan target pemerintah.
Tanaman tebu terserang hama di musim kering.
Petani tebu di beberapa daerah terus merugi.
KENAIKAN harga gula tak serta-merta membuat Enal, pedagang bahan pangan pokok di Pasar Sentral Hamadi, Distrik Jayapura Selatan, Papua, memasang label baru di kemasan barang dagangannya. Ia tetap membanderol gula di bawah harga patokan yang ditetapkan pemerintah. Harga patokan pemerintah mencapai Rp 16 ribu per kilogram, tapi Enal menjual gula Rp 15 ribu saja. "Supaya penjualan lancar," kata pemilik Kios Widara itu saat ditemui Tempo di lapaknya pada Kamis, 17 Agustus lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Enal, harga gula putih sudah naik setahun terakhir. Agen menaikkan harga dari Rp 730 ribu per sak berisi 50 kilogram menjadi Rp 740 ribu. Meski tak ikut mengerek harga, Enal tak merasa rugi karena dia masih mendapat keuntungan Rp 1.200 per kilogram. “Biar cepat ambil lagi yang baru dan langganan senang belanja,” ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Enal berbeda dengan Andi, pedagang toko kelontong di Pasar Sentral Hamadi yang sudah setahun menyesuaikan harga. Dia punya strategi lain, yaitu menekan harga bahan pokok lain supaya pelanggan tidak lari. "Biasanya konsumen tidak hanya membeli satu jenis bahan pokok," katanya. Toh harga gula di beberapa supermarket di Kota Jayapura pun tak seragam. Supermarket Saga, misalnya, menjual Rp 15 ribu per kilogram, sementara Supermarket Mega Rp 16.500.
Kenaikan harga gula konsumsi rumah tangga memang merujuk pada regulasi baru, yaitu Peraturan Badan Pangan Nasional Nomor 17 Tahun 2023. Peraturan itu mengatur harga acuan penjualan gula konsumsi di tingkat konsumen Rp 14.500 per kilogram atau Rp 15.500 per kilogram khusus di wilayah Indonesia bagian timur yang meliputi Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat, Papua Pegunungan, Papua Tengah, Papua Selatan, dan Papua Barat Daya.
Harga Rp 15.500 per kilogram juga berlaku di wilayah tertinggal, terluar, terpencil, dan perbatasan. Untuk tingkat produsen atau gula petani, aturan baru ini menetapkan harga acuan pembelian Rp 12.500 per kilogram. Harga-harga acuan ini berlaku mulai 21 Juli lalu.
Pedagang bahan pokok menimbang gula pasir di Pasar Sentral Hamadi, Distrik Jayapura Selatan, Kota Jayapura, Papua. Tempo/Ramah
Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi mengatakan kebijakan menaikkan harga acuan gula konsumsi diambil untuk mencapai keseimbangan di tingkat produsen, pedagang, dan konsumen. “Agar kewajaran harga di tiga lini tersebut tetap terjaga sesuai harga keekonomian saat ini," ucapnya pada Rabu, 9 Agustus lalu.
Menurut Arief, kenaikan harga acuan sebesar Rp 1.000 per kilogram telah melalui diskusi dan pembahasan serta mendapat masukan dari berbagai pemangku kepentingan sektor pergulaan. Pemerintah juga memperhitungkan biaya pokok produksi dengan mempertimbangkan kenaikan harga pupuk, benih, tenaga kerja, dan ongkos distribusi.
Arief mengatakan Presiden Joko Widodo yang meminta harga pangan di tingkat produsen, pedagang, dan konsumen berada di level yang wajar. Karena itu, ia meminta harga acuan gula konsumsi di tingkat produsen dapat segera terwujud. Dengan harga jual gula yang baik, pemerintah berharap dapat memotivasi petani untuk meningkatkan produksi sehingga suplai bahan baku tebu bertambah dan ketersediaan gula dalam negeri meningkat.
•••
LELANG gula milik petani yang difasilitasi PT Sinergi Gula Nusantara (SGN) atau Sugar Co di Surabaya pada Rabu, 16 Agustus lalu, kembali gagal memenuhi harga ketetapan pemerintah Rp 12.500 per kilogram. Penawaran tertinggi yang masuk melalui holding pabrik gula pelat merah itu hanya Rp 12.175. Walhasil, stok yang tersedia sebanyak 16.457 ton, semuanya hasil penggilingan 17 eks pabrik gula PT Perkebunan Nusantara XI, tidak terjual.
Direktur Utama SGN Aris Toharisman membenarkan posisi penawaran lelang gula masih di bawah ketetapan Badan Pangan Nasional. Menurut dia, para pemangku kepentingan sektor pergulaan perlu berkoordinasi kembali. Aris pun mengusulkan pembentukan penyangga harga gula yang ditunjuk pemerintah untuk menjaga stabilitas harga di tingkat petani.
Kondisi serupa ini dialami Irawan, petani tebu di Kediri. Dia mengaku tak pernah mendapat harga yang sesuai dengan patokan Badan Pangan Nasional. “Hasil lelang enggak sampai segitu,” ujarnya pada Kamis, 17 Agustus lalu. Irawan mengaku pernah mendapat harga Rp 12.200 per kilogram, tapi di lain waktu sering kurang dari itu.
Menurut Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, Didik Purwanto, kegagalan lelang ini adalah yang kesekian kali. “Harga tidak pernah mencapai ketentuan,” katanya kepada Tempo sesaat setelah lelang berakhir. “Petani gula makin terpuruk.”
Sebelum aturan harga acuan terbit, Badan Pangan Nasional telah membuat surat edaran yang meminta pengusaha membeli gula di tingkat petani minimal Rp 12.500 per kilogram mulai 3 Juli lalu. Tapi surat edaran itu tak mempan memperkuat posisi tawar petani. Menurut Didik, petani menuntut harga lelang sesuai dengan regulasi baru. Bila harga berada di bawah acuan, petani meminta SGN tidak melego gula kepada pedagang. “Kami mengancam, kalau sampai SGN melepas, kami akan menuntut.”
Petani, Didik menambahkan, sebenarnya sudah membentuk tim penyaluran gula dan menggelar lelang mandiri. Dalam empat kali lelang, harganya masih jauh di bawah acuan pemerintah, yaitu Rp 12.015-12.055 per kilogram. Tapi toh petani tetap melepas rata-rata 1.500 ton gula dalam setiap lelang. “Tapi petani jadi bangkrut,” tuturnya.
Tanaman tebu yang rusak diserang hama ulat, di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. APTRI Lumajang
Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi tak menampik fakta tersebut. Ia mengatakan lembaganya akan berbicara dengan para pedagang besar agar tujuan regulasi baru tercapai. Solusi lain adalah badan usaha milik negara harus punya dana yang cukup untuk menjadi pembeli siaga (offtaker). Gula bisa digunakan sebagai stok atau cadangan pemerintah (food reserve) seperti yang diterapkan pada komoditas beras. “Masih kami perjuangkan bersama,” ia menjelaskan kepada Tempo, Kamis, 17 Agustus lalu.
Badan Pangan mendorong kolaborasi antar-BUMN di sektor pangan, yakni Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik atau Bulog, Id Food (PT Rajawali Nusantara Indonesia [Persero]), dan SGN, untuk merancang kerja sama pasokan dan pendanaan guna menstabilkan pasokan dan harga gula. Tujuannya adalah memenuhi kebutuhan gula nasional, meningkatkan kesejahteraan petani tebu, dan menjaga stabilitas harga di tingkat petani hingga konsumen.
Pelibatan BUMN sektor pangan, menurut Arief, merupakan bagian dari perbaikan tata kelola gula nasional sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Cadangan Pangan Pemerintah. Pemerintah berharap stok gula rata-rata 100-150 ribu ton terpenuhi.
Persoalannya, urusan gula tak hanya menyangkut harga di tingkat petani ataupun konsumen. Ada pula masalah produksi. Irawan, yang mengelola kebun di Kediri, mengatakan panen tebu kali ini jeblok karena cuaca yang panas-kering dan serangan hama ulat pemakan akar. Hama ini disebut embug di Kediri. Irawan bersama kelompok tani di Kediri mendapat penjelasan, musim kemarau basah pada tahun lalu membuat telur atau larva ulat menetas. “Serangannya luar biasa di Kediri,” ujarnya. Irawan menyebutkan kondisi terparah dialami Kecamatan Puncu. Di sana, sebanyak 80 persen tanaman tebu mati. “Terjadi gagal panen.”
Hama ulat juga menyerang lahan-lahan tebu di Malang hingga Lumajang. Sekretaris APTRI Lumajang Faisol mengatakan ribuan hektare kebun tebu di wilayah selatan Lumajang terserang hama. Faisol menyatakan telah melaporkan masalah ini kepada Kementerian Pertanian. “Tapi Kementerian Pertanian menyarankan kami ke Dinas Pertanian.”
Kepala Bidang Perkebunan Dinas Pertanian Kabupaten Lumajang Mamik mengatakan hama uret atau gayas menyerang dengan cara merusak akar tanaman tebu. Menurut diam lembaganya telah mensosialisasi dua cara, yaitu pengendalian mekanik dengan cara mengambil hama uret setelah masa panen serta pengendalian hayati dengan memakai metarhizium. “Kami menyampaikan cara ini kepada kelompok tani dan tokoh petani tebu.”
Meski di lapangan para petani mengaku produksi turun drastis, Badan Pangan Nasional masih optimistis. “Insyaallah stok gula konsumsi cukup,” ujar Arief Prasetyo Adi. Dia mengutip keterangan para ahli dan akademikus yang menyatakan jumlah produksi hanya berkurang 2-5 persen. “Belum ada informasi bahwa hama akan berpengaruh signifikan pada panen yang masih berjalan ini,” kata Arief.
Sedangkan Direktur Utama SGN Aris Toharisman khawatir serangan hama ulat tidak hanya menurunkan produktivitas tanaman tebu, tapi juga mempengaruhi kualitas nira. Berdasarkan hasil penelitian, ucap dia, setiap 1 persen kerusakan ruas yang diakibatkan hama penggerek batang akan menurunkan 0,5 persen bobot tebu. Hal itu akan memperberat produksi yang saat ini terdampak El Niño. Gelombang kekeringan El Niño diproyeksikan akan menurunkan produktivitas tebu 5-10 persen. Akibatnya, produksi gula nasional menyusut sehingga mengganggu stabilitas harga.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Ramah dari Jayapura berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Pukulan Ganda di Lumbung Gula"