Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DATANG ke Surabaya pada Ahad tiga pekan lalu, Eric Stark Maskin mengulas kaitan pasar global dengan ketimpangan ekonomi di negara berkembang. Peraih Nobel Ekonomi 2007 ini mengatakan globalisasi menjanjikan kekayaan dan pendapatan yang lebih besar bagi negara berkembang. Namun, faktanya, "Di negara seperti Cina dan India, kesenjangan justru meningkat," kata Maskin, yang meraih Nobel bersama Leonid Hurwicz dan Roger Myerson.
Dalam seminar yang diadakan International Peace Foundation itu, pria 66 tahun ini menekankan pentingnya keterampilan pekerja di negara berkembang, termasuk Indonesia. Tujuannya agar daya saing dan kesempatan bekerja di pasar global terbuka lebar. Setelah bertemu dengan para peneliti Universitas Surabaya, dosen ekonomi Harvard University, Amerika Serikat, ini menyempatkan diri berbincang dengan Artika Rachmi Farmita dari Tempo. Setelah itu, Maskin pergi ke Gunung Bromo.
Kenapa globalisasi berhasil menekan ketimpangan di masa lalu tapi gagal mempersempit kesenjangan saat ini?
Globalisasi pada masa lalu merupakan contoh klasik dari penerapan teori keunggulan komparatif. Itu sebabnya perdagangan antara sejumlah negara Eropa dan Amerika Serikat mengerek pendapatan para pekerja di Eropa meski keahlian mereka terbatas. Tapi kondisi saat ini berbeda. Proses produksi terjadi di banyak tempat. Perusahaan bisa merekrut karyawan dari mana saja. Hanya mereka yang memiliki keahlian yang punya kesempatan memperoleh pekerjaan. Mereka yang tak punya keterampilan akan semakin tertinggal. Itu yang membuat globalisasi menciptakan ketimpangan.
Apa dampak ketimpangan ini dalam jangka panjang?
Saya khawatir, tidak hanya negara berkembang, tapi semua negara akan menderita akibat meningkatnya gejolak sosial dan politik. Konsekuensi dari kesenjangan ekonomi sangat buruk.
Apa prioritas utama yang harus dilakukan Indonesia untuk mengatasi kesenjangan?
Prioritas pertama adalah pendidikan dan pelatihan kerja. Tugas pemerintah menyediakan sejumlah kesempatan bagi mereka yang berada di level paling bawah. Sebab, mereka terlalu miskin untuk bisa membayar pelatihan. Langkah ini untuk memastikan lebih banyak orang yang memiliki kesempatan memperoleh pekerjaan.
Bagaimana cara meningkatkan pendidikan per kapita?
Salah satunya memperbaiki infrastruktur. Bila mereka terputus dari kegiatan ekonomi dan masyarakat sekitar, mereka tidak punya kesempatan memperoleh pelatihan dan pendidikan.
Tapi alokasi bujet di Indonesia tidak cukup untuk meningkatkan kualitas pendidikan dalam waktu singkat. Apa saran Anda?
Salah satu cara terbaik yang dapat dilakukan adalah membenamkan investasi pada pendidikan dan anak-anak. Cara ini terbukti berhasil mengurangi kesenjangan serta membuat kedudukan setara dan derajat hidup menjadi lebih baik. Bila alokasi dana tidak cukup, mungkin bujet dapat dinaikkan.
Negara mana yang bisa menjadi rujukan bagi Indonesia?
Brasil. Tentu saja kesenjangan ekonomi masih terjadi di sana. Tapi Brasil mampu mengurangi ketimpangan hingga ke titik tertentu. Salah satunya melalui bantuan tunai bersyarat untuk keluarga miskin. Bantuan ini diberikan asalkan mereka menyekolahkan anaknya. Sedangkan India berfokus meningkatkan pendidikan perempuan.
Bagaimana mengatasi distribusi ketersediaan pekerja terampil yang cenderung mencari nafkah di kota besar seperti Jakarta atau di luar negeri?
Hal itu sesungguhnya bukan masalah. Orang akan pergi ke tempat pekerjaan berada. Jadi sangat tidak masuk akal membatasi mobilitas penduduk. Lebih baik menyediakan banyak kesempatan bagi masyarakat. Caranya memperbaiki infrastruktur. Bila kualitas infrastruktur di area terpencil ditingkatkan, orang tidak perlu pindah ke kota. Mereka akan memiliki pekerjaan sebaik yang bisa diperoleh di kota besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo