Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kebijakan ekonomi populis berorientasi jangka pendek kian dominan mewarnai dunia. Proteksionisme salah satunya. Pada hari-hari pertama memerintah, Presiden Amerika Serikat Donald Trump langsung menarik negerinya keluar dari pakta perdagangan Trans-Pacific Partnership (TPP). Trump juga mengajak Meksiko dan Kanada berembuk lagi soal Traktat Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA).
Proteksionisme memang menguntungkan perusahaan yang menikmati perlindungan. Namun inefisiensi dan ongkos tersembunyi yang muncul belakangan justru akan menggerogoti ekonomi negara pada jangka panjang. Inilah bahaya yang kini membuat cemas banyak ekonom dan analis di seluruh dunia.
Menimbang latar belakang Trump sebagai pengusaha, kekhawatiran itu semakin sahih. Sudah menjadi tabiat pebisnis untuk mengabaikan risiko tak langsung pada jangka panjang. Yang penting untung membesar atau harga saham melonjak. Kabinet baru Amerika juga banyak beranggotakan mantan pengusaha yang seumur kariernya bergelut dengan korporasi. Mereka kini memburu manfaat jangka pendek, menaikkan popularitas agar sang Presiden terpilih lagi empat tahun mendatang.
Celakanya, pasar finansial punya tabiat sama. Jika kelak ekonomi ambruk karena krisis, itu urusan nanti. Yang penting, ada kemungkinan pertumbuhan yang harus diantisipasi sekarang. Setelah sempat melemah pada awal 2017 karena Trump tak juga membeberkan programnya, kini bursa saham di Amerika Serikat langsung melonjak setelah Trump mengubah langgam birokratis Gedung Putih menjadi irama cepat korporasi. Indeks Dow Jones melambung melewati 20 ribu untuk pertama kalinya dalam sejarah.
Investor seyogianya tak ikut lasak tergesa main tabrak. Apalagi di Indonesia juga ada fenomena serupa. Presiden Joko Widodo adalah mantan pengusaha yang juga gemar membuat keputusan cepat berorientasi jangka pendek. Program populis yang menyenangkan orang banyak mendapat prioritas dengan mengabaikan kekuatan kas negara. Sejak awal, pemerintah Jokowi harus mematok target pajak amat tinggi untuk membiayai keinginan itu. Ini langkah tak realistis karena sejak 2013 ekonomi Indonesia justru sedang lesu tergencet lemahnya harga komoditas.
Konsekuensinya, sejak 2015 pemerintah harus berkutat mengatasi defisit anggaran karena penerimaan pajak jauh dari sasaran. Banyak rencana belanja yang tak terlaksana. Bahkan, tahun lalu, anggaran negara hanya bisa selamat karena pemerintah pusat menunda transfer yang menjadi hak daerah.
Target penerimaan perpajakan yang terlalu tinggi di awal pemerintahan itu masih terus bergulir menjadi beban berat pada 2017, naik 27 persen dari realisasi 2016. Tak mudah mencari tambahan sebesar itu ketika ekonomi bergerak lamban. Beban yang tak realistis ini dapat mengundang pertanyaan pasar tentang kredibilitas anggaran.
Pemerintah tak bisa meremehkan reaksi pasar karena, salah satunya, kepemilikan investor asing di Surat Berharga Negara (SBN) cukup dominan. Per 25 Januari 2017, SBN milik asing nilainya Rp 684 triliun dari total Rp 1.806 triliun yang ada di pasar. Di tengah euforia yang menggelora di Wall Street, jika keyakinan pada Indonesia goyah, tak terbayangkan akibatnya bila banyak investor melepas SBN karena tergiur bujukan Trump.
Tak ada pilihan lain, pemerintah tak bisa menari mengikuti gendang Trump. Meski tren populisme kini mendunia, pemerintah harus menempuh kebijakan tak populer demi manfaat jangka panjang dan menyelamatkan ekonomi Indonesia. *) Kontributor Tempo
Kurs | |
Pekan sebelumnya | 13.382 |
Rp per US$ | 13.357 |
Pembukaan 27 Januari 2017 |
IHSG | |
Pekan sebelumnya | 5.290 |
5.304 | |
Pembukaan 27 Januari 2017 |
Inflasi | |
Bulan sebelumnya | 3,58% |
3,02% | |
Desember 2016 YoY |
BI 7-Day Repo Rate | |
4,75% | |
19 Januari 2017 |
Cadangan Devisa | |
30 November 2016 | US$ miliar 111,466 |
Miliar US$ | 116,362 |
31 Desember 2016 |
Pertumbuhan PDB | |
2015 | 4,73% |
5,1% | |
Target 2016 |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo