Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DWI Soetjipto hadir dalam konferensi pers. Direktur Utama PT Pertamina (Persero) itu muncul bersama Komisaris Utama Pertamina Tanri Abeng, Wakil Direktur Utama Ahmad Bambang, Direktur Pengolahan Toharso, dan Vice President Corporate Communication Wianda Pusponegoro. Dalam undangan yang disebar kepada juru warta pada Selasa pekan lalu, semula hanya Ahmad Bambang, Toharso, dan Tanri yang akan menyampaikan pernyataan pers.
Bertempat di lantai Mezzanine Gedung Pusat Pertamina, Jakarta, Dwi membuka acara. Ia menjelaskan perihal rusaknya beberapa kilang pengolah bahan bakar minyak kepada puluhan juru warta. Sepanjang dua bulan terakhir, sejumlah kilang Pertamina mati berturut-turut hingga sepuluh kali. Rusaknya kilang berpotensi menggerus keuangan negara karena kilang tak bisa memproduksi bahan bakar minyak.
Dwi mengatakan gangguan operasi yang dialami sejumlah kilang merupakan hal lumrah. "Kami berusaha seefisien mungkin," katanya. Orang nomor satu di Pertamina itu hanya lima menit berada di sana. Saat Toharso mendapat giliran bicara, Dwi angkat kaki. Ia pamit meninggalkan acara.
Sikap tergesa-gesa Dwi dalam acara konferensi pers, menurut sejumlah pejabat Pertamina, mencerminkan kegamangan mantan Direktur Utama PT Semen Indonesia itu dalam mengatasi kerusakan kilang. Setelah sejumlah kilang tidak beroperasi, Pertamina memutuskan impor solar 1,2 juta barel pada Desember tahun lalu.
Salah satu pejabat di Pertamina mengatakan Dwi belum sepenuhnya merestui impor. Ia bahkan sempat mempertanyakan rencana impor itu kepada salah satu direktur. "Apakah impor solar tepat?" ucap pejabat tadi menirukan pertanyaan Dwi.
Pejabat tadi menjawab impor tidak perlu. Alasannya: harga solar mengacu pada Mean of Platts Singapore, yang lebih mahal ketimbang harga BBM produksi kilang Pertamina.
Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) mempertanyakan keputusan impor solar tersebut. Mengacu pada hasil verifikasi akhir tahun lalu, stok solar Pertamina dilaporkan berlebih. "Katanya kelebihan solar, kok malah impor?" ujar Direktur Bahan Bakar Minyak BPH Migas Hendri Ahmad.
Menurut Hendri, Pertamina kelebihan stok solar karena wajib mencampur BBM dengan bahan baku nabati (fatty acid methyl ester) sebesar 20 persen. Kebijakan ini diterbitkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Wakil Direktur Utama Pertamina Ahmad Bambang membantah impor solar diputuskan mendadak. Keputusan itu, kata dia, didasarkan pada kondisi terbaru kilang. Mantan Direktur Utama PT Pertamina Trans Kontinental itu mengatakan terjadi lonjakan permintaan solar di Kalimantan yang berasal dari perusahaan batu bara. Naiknya permintaan dipicu oleh membaiknya harga komoditas batu bara yang mencapai US$ 101 per ton pada Desember tahun lalu. Lonjakan permintaan membuat stok solar tergerus, yang tadinya 23 hari menjadi hanya cukup untuk 19 hari.
Suplai semakin tidak menentu setelah kilang Balikpapan mengalami pemadaman darurat (emergency shutdown) pada 2 Desember. Operasi kilang yang menghasilkan 43 juta ton solar tahun lalu itu kembali terganggu pada 11 Desember. Kilang bahkan berhenti memproduksi solar selama lebih dari 24 jam mulai Ahad dua pekan lalu.
Kementerian Energi menyetujui proposal impor Pertamina. Direktur Pembinaan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Setyorini Tri Hutami, menyebutkan izin impor juga diberikan untuk jenis bensin (gasoline) selama enam bulan. "Rekomendasi impor juga sudah disetujui."
Senior Vice President Integrated Supply Chain Pertamina Daniel Purba mengatakan tambahan impor Premium dan Pertamax sebesar 3 juta barel bukan keputusan mendadak. Rencana impor itu sudah ditetapkan pada Oktober tahun lalu sebagai langkah mengantisipasi kilang Balongan, Cirebon, yang berhenti beroperasi selama 30 hari pada Januari ini. "Kilang Balongan menjalani perawatan mesin," ujarnya.
Berbeda dengan solar, proses impor di Kilang Balongan memang diputuskan tiga bulan sebelumnya. Ini membuat sejumlah pegawai di bagian pengolahan dan pemasaran minyak menaruh kecurigaan terhadap keputusan impor solar 1,2 juta barel yang diputuskan kurang dari tiga bulan. Rencana impor solar juga bertentangan dengan hasil rapat direksi pada Oktober tahun lalu. Isi rapat itu memutuskan tidak impor solar.
Rusaknya kilang Pertamina dan keputusan impor solar menyedot perhatian Kementerian Energi. Direktur Teknik dan Lingkungan Minyak dan Gas Kementerian Energi Djoko Siswanto berencana memanggil Toharso pada Senin pekan ini. "Kami mengharapkan kehadiran Saudara beserta Kepala Teknik Pemurnian dan Pengolahan membahas kejadian unplanned shutdown," kata Djoko dalam suratnya.
RIBUT-ribut soal impor solar 1,2 juta barel ini muncul di tengah ketidakkompakan direksi. Mantan pejabat Pertamina yang paham perjalanan perusahaan di bawah Dwi Soetjipto mengatakan dewan direksi selama ini tidak akur. Perkubuan di dewan direksi menguat setelah ada perombakan struktur baru dewan direksi dan komisaris pada Oktober tahun lalu.
Perombakan itu terjadi setelah dua bulan sebelumnya Komisaris Utama Pertamina Tanri Abeng mengusulkan perubahan anggaran dasar, termasuk perombakan struktur dan kewenangan direksi baru Pertamina kepada Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno. Menteri Rini setuju usul tersebut. Kocok ulang direksi diteken satu bulan kemudian.
Walhasil, tubuh dewan direksi kian gemuk, dari tujuh menjadi sembilan direktur. Salah satu jabatan baru yang muncul adalah wakil direktur utama, yang ditempati Ahmad Bambang.
Jabatan wakil direktur utama semakin vital karena berwenang menunjuk direktur lain mengambil keputusan bila direktur utama dan wakilnya berhalangan. Dalam anggaran dasar sebelumnya, kewenangan soal ini dipegang direktur utama. Peran penting lainnya: wakil direktur utama diberi kewenangan memimpin dan mengkoordinasikan direktorat pemasaran, pengolahan, serta deputi direktur energi baru terbarukan.
Wakil direktur utama juga berwenang mengambil keputusan impor bahan bakar minyak. Kewenangan inilah yang digunakan Ahmad Bambang dalam memutuskan impor solar 1,2 juta barel—meski kurang direstui Direktur Utama Dwi Soetjipto.
Seorang pejabat di perseroan mengatakan kelompok yang gemar impor sempat tiarap sejak Pertamina bisa mengoptimalkan produksi nafta dari kilang PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI). Di perusahaan petrokimia ini, jabatan direktur operasional dipegang oleh pejabat Pertamina.
Selama ini Pertamina mengekspor nafta dari TPPI ke Singapura. Nafta ini dijadikan bahan baku untuk memproduksi Premium, yang dijual kembali ke Indonesia. Proses inilah yang merugikan Pertamina. Itu sebabnya nafta tidak diekspor, tapi dipakai untuk memproduksi Premium di Kilang Balongan. Pejabat baru tadi mengklaim upaya ini bisa menekan impor Premium.
Impor solar juga bisa disetop setelah residual fuel catalytic cracking (RFCC) di Cilacap beroperasi. "RFCC mampu memaksimalkan produksi dan menghentikan impor solar," ujar pejabat tadi. Kinerja manajemen yang bisa menekan volume impor membuat importir meradang.
Ahmad Bambang membantah memuluskan kelompok tertentu yang diuntungkan oleh kebijakan impor. Ia menilai struktur anyar Pertamina justru membuat kinerja antardirektorat di Pertamina lebih transparan. "Tidak ada lagi dusta. Tidak ada yang disembunyikan," katanya. Dwi Soetjipto enggan menjawab pertanyaan seputar hal ini.
Tanri Abeng menilai struktur baru ini bagian dari respons manajemen terhadap kompleksitas bisnis Pertamina. Tidak tertutup kemungkinan perombakan tersebut akan dilanjutkan di tubuh perusahaan pelat merah ini. Tanri mengusulkan sebagian besar kerja korporasi diserahkan ke anak perusahaan. "Tugas korporat adalah memikirkan strategi dan pengawasan, sehingga bisa diukur profitabilitas masing-masing," ujarnya.
Deputi Bidang Energi, Logistik, dan Kawasan Pariwisata Kementerian BUMN Edwin Hidayat Abdullah mengatakan usul struktur baru yang datang dari Tanri Abeng dikaji oleh konsultan profesional. Gagasan perombakan disampaikan Tanri pada Mei 2015 dengan tujuan menggenjot kinerja Pertamina. "Perubahan ini tidak ujug-ujug," ucapnya.
Anggota Komisi BUMN Dewan Perwakilan Rakyat, Inas Nasrullah Zubir, mengatakan parlemen akan memeriksa perubahan anggaran dasar yang berimbas pada kepemimpinan ganda di Pertamina. "Dalam perusahaan tidak boleh ada matahari kembar," katanya.
AKBAR TRI KURNIAWAN, ALI NUR YASIN,
ROBBY IRFANY, AGUS SUPRIYANTO
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo