Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom dan pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat menanggapi isu MinyaKita kemasan 1 liter yang diedarkan hanya 750–800 mililiter. Menurut dia, pangkal kecurangan ini adalah kenaikan harga minyak sawit mentah (CPO) yang melonjak dalam beberapa bulan terakhir dan produsen yang cari untung sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Achmad menjelaskan, ketika harga CPO melambung, produsen MinyaKita menghadapi dilema antara mengikuti ketentuan harga eceran tertinggi (HET) Rp 15.700 per liter atau menyesuaikan harga demi keberlangsungan produksi. Sayangnya, ujar dia, sebagian memilih jalan pintas, yakni mengurangi isi kemasan atau menaikkan harga di atas HET.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Ini bukti bahwa regulasi harga yang tak adaptif dengan realitas pasar membuka ruang bagi praktik nakal,” ujar Achmad dalam keterangan tertulis, Senin, 10 Maret 2025.
Achmad mengatakan, kebijakan penetapan HET yang kaku dan tak memperhitungkan kenaikan bahan baku membuat produsen menghadapi tekanan biaya produksi. Walhasil, produsen memilih menyelamatkan bisnis dengan mengorbankan konsumen. Padahal, tanggung jawab sosial seharusnya menjadi prioritas dalam penyediaan pangan pokok bersubsidi.
Dalam menghadapi skandal Minyakita, Achmad menilai pemerintah tak cukup memberi sanksi kepada pelaku. Pemerintah juga harus merombak tata kelola produksi dan distribusi minyak goreng rakyat. “Negara harus berpihak penuh pada masyarakat, terutama kelompok miskin yang sangat bergantung pada minyak goreng murah,” ujar Achmad.
Achmad mengatakan, pemerintah harus segera melakukan evaluasi mendalam terhadap HET MinyaKita. Jika harga bahan baku melonjak, HET harus disesuaikan agar realistis.
Tapi Achmad menambahkan, solusi ini harus dibarengi dengan skema subsidi langsung kepada konsumen atau pelaku usaha mikro. Tujuannya, agar mereka tetap memperoleh minyak goreng dengan harga terjangkau tanpa memberatkan produsen.
Selain itu, Achmad mengatakan rantai distribusi minyak goreng rakyat ini panjang dan tidak efisien. Dari produsen, minyak goreng harus melewati banyak tangan hingga sampai ke konsumen, mulai dari distributor besar, distributor kecil, hingga pengecer. Dalam setiap rantai ini, ujar dia, potensi markup harga sangat besar.
Ketika pengawasan negara lemah, Achmad mengatakan, celah ini dieksploitasi untuk keuntungan sepihak. Lemahnya tindakan hukum kian memperburuk praktik iniz Adanya produsen MinyaKita yang beroperasi tanpa izin edar atau SNI, ujar dia, adalah bukti nyata lemahnya pengawasan pemerintah.
“Ketidakhadiran negara dalam mengontrol rantai pasok minyak goreng rakyat menjadi penyebab utama mengapa kecurangan semacam ini bisa tumbuh subur,” ujar Achmad.