KENYATAAN berikut ini terlihat di mana-mana. Baik di Pusat Buku
Proyek Senen, Jakarta, maupun toko-toko buku lain. Bahkan di
Pameran Buku Ikapi 13-23 Mei di Balai Sidang Senayan. Bagian
yang banyak dikerumuni pengunjung selamanya bagian yang
menawarkan buku fiksi -- terutama novel pop dan bacaan
anak-anak. Di Pusat penjualan buku bekas, juga di Pusat
Perdagangan Senen, bahkan sebagian besar buku yang dijual adalah
cerita silat, novel pop dan komik.
Apa kabar buku ilmu pengetahuan? Dalam pembukaan pameran buku di
Balai Sidang itu, Ketua Ikapi Pusat menyebut-nyebut tentang
"buku yang dicetak dalam jumlah sedikit, tapi menjualnya dalam
tempo yang lambat." Agaknya itu cocok untuk buku jenis tersebut.
Untunglah tak semua penerbit kemudian ramai-ramai mengabaikan
buku ilmiah. Bahkan 1977, ketika novel pop meledak pasarannya,
beberapa penerbit buku ilmiah tetap bertahan. Entah karena
idealisme, atau memang pihak penerbit susah ganti haluan.
Penerbit Bhratara, Jakarta, misalnya, menganggap demam novel itu
sebagai musiman saja. Bahkan penerbit ini sampai kini hanya
sedikit menerbitkan buku fiksi -- itu pun bacaan remaja dan
anak-anak. Lalu kata Bardin, Direktur Penerbit Binacipta,
Bandung: "Penerbitan buku ilmu pengetahuan adalah satu-satunya
bidang yang saya kuasai. Yang lain, saya cuma tahu
remang-remang."
Untuk itu Bardin harus menghadapi kenyataan yang juga dihadapi
Bhratara. PT Pradnya Paramita atau PT Bina Ilmu. Buku ilmu
pengetahuan yang rata-rata per judul hanya dicetak dua sampai
tiga ribu itu, baru habis paling cepat dua tahun.
Salah satu hal yang memperlambat penjualan, katanya, soal
advertensi " Advertensi di koran atau majalah mahal. Bisa-bisa
harus menaikkan harga buku," ceritanya. Itu juga dikeluhkan H.
Oemar Bakry, Presdir Penerbit Mutiara, dalam wawancaranya dengan
majalah pencinta buku Optimis. Beberapa departemen yang
dianggapnya ada hubungannya dengan buku yang diterbitkannya, pun
dikirimi folder.
Hasilnya? Yang lewat agen belum pernah ditelitinya. Yang lewat
departemen, sampai kini Departemen Kehakiman sering memesan buku
Binacipta sebanyak 500-1000 eksemplar per judul. Tentu saja buku
tentang hukum, yang memang banyak dikeluarkan penerbit Bandung
satu ini.
Tak sebagaimana naskah buku fiksi yang suka datang sendiri
kepada penerbit (penulis fiksi kini memang banyak tampaknya),
karangan untuk buku ilmu memang sedikit. Maklum, honorarium
penulisan buku ilmiah pun tak menggairahkan -- padahal proses
penyusunannya tak jarang membutuhkan waktu dan biaya tak
sedikit. "Biasanya para penulis itu orang kalangan universitas,"
kata Bardin.
PT Pradnya Paramita pun mengatakan, penulis buku pengetahuan
biasanya dosen. Misalnya Prof. Dr. Ismail Sunny, dosen Fak.
Hukum UI, yang menulis tinjauan undang-undang penanaman modal
asing. Juga Prof. Dr. Supomo, yang karangannya banyak dicetak
penerbit ini. Penerbit yang mengeluarkan baik buku pengetahuan
maupun novel & bacaan anak-anak, tahu persis perbedaan pasaran
kedua jenis itu. Pada buku fiksi, apalagi kalau penulisnya
sedang populer, oplah 5 ribu bisa habis dalam 6 bulan. Ini tutur
H. Ariefin Noor, Direktur PT Bina Ilmu, Surabaya. Padahal buku -
ilmu pengetahuan dengan oplah 2.500 belum tentu dalam 3 tahun
habis terjual.
Untunglah, bagi beberapa lembaga negeri maupun swasta -- yang
bergerak dalam bidang ilmu dan juga menerbitkan buku -- masalah
bisnisnya bukan yang utama. Lembaga llmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) misalnya bahkan sengaja hanya mencetak buku hasil
penelitiannya sendiri dalam jumlah terbatas -- 500-2.000
eksemplar. Tujuan utamanya memang memasyarakatkan hasil
penelitian LIPI -- dengan ancar-ancar yang diharap pas.
Juga LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan
Ekonomi dan Sosial), Yayasan Obor dan Yayasan llmu-ilmu Sosial
-- lembaga swasta yang menerbitkan buku keilmuan agaknya memang
tak mencari untung. Ditambah pihak universitas -- UI dan UGM
misalnya, yang akhir-akhir ini banyak menerbitkan buku -- mereka
inilah yang mewarnai dunia buku keilmuan kita kini.
Cuma berapa besar penerbitan buku pengetahuan kita, sulit
diketahui persisnya. Pusat Dokumentasi llmiah Nasional sendiri
tak pasti. Hanya dari buku yang diterbitkan Ikapi tiap tahun,
bisa diketahui bahwa sebagian besar buku ilmiah kita buku
terjemahan. Yang ditulis orang kita sendiri, berdasar riset
sendiri, tak banyak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini