Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Dicetak sedikit, dijual lambat

Buku ilmu pengetahuan ternyata tak banyak dibanding buku fiksi. itupun sebagian besar terjemahan, serta seret laku. tapi beberapa penerbit bertahan. (bk)

23 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KENYATAAN berikut ini terlihat di mana-mana. Baik di Pusat Buku Proyek Senen, Jakarta, maupun toko-toko buku lain. Bahkan di Pameran Buku Ikapi 13-23 Mei di Balai Sidang Senayan. Bagian yang banyak dikerumuni pengunjung selamanya bagian yang menawarkan buku fiksi -- terutama novel pop dan bacaan anak-anak. Di Pusat penjualan buku bekas, juga di Pusat Perdagangan Senen, bahkan sebagian besar buku yang dijual adalah cerita silat, novel pop dan komik. Apa kabar buku ilmu pengetahuan? Dalam pembukaan pameran buku di Balai Sidang itu, Ketua Ikapi Pusat menyebut-nyebut tentang "buku yang dicetak dalam jumlah sedikit, tapi menjualnya dalam tempo yang lambat." Agaknya itu cocok untuk buku jenis tersebut. Untunglah tak semua penerbit kemudian ramai-ramai mengabaikan buku ilmiah. Bahkan 1977, ketika novel pop meledak pasarannya, beberapa penerbit buku ilmiah tetap bertahan. Entah karena idealisme, atau memang pihak penerbit susah ganti haluan. Penerbit Bhratara, Jakarta, misalnya, menganggap demam novel itu sebagai musiman saja. Bahkan penerbit ini sampai kini hanya sedikit menerbitkan buku fiksi -- itu pun bacaan remaja dan anak-anak. Lalu kata Bardin, Direktur Penerbit Binacipta, Bandung: "Penerbitan buku ilmu pengetahuan adalah satu-satunya bidang yang saya kuasai. Yang lain, saya cuma tahu remang-remang." Untuk itu Bardin harus menghadapi kenyataan yang juga dihadapi Bhratara. PT Pradnya Paramita atau PT Bina Ilmu. Buku ilmu pengetahuan yang rata-rata per judul hanya dicetak dua sampai tiga ribu itu, baru habis paling cepat dua tahun. Salah satu hal yang memperlambat penjualan, katanya, soal advertensi " Advertensi di koran atau majalah mahal. Bisa-bisa harus menaikkan harga buku," ceritanya. Itu juga dikeluhkan H. Oemar Bakry, Presdir Penerbit Mutiara, dalam wawancaranya dengan majalah pencinta buku Optimis. Beberapa departemen yang dianggapnya ada hubungannya dengan buku yang diterbitkannya, pun dikirimi folder. Hasilnya? Yang lewat agen belum pernah ditelitinya. Yang lewat departemen, sampai kini Departemen Kehakiman sering memesan buku Binacipta sebanyak 500-1000 eksemplar per judul. Tentu saja buku tentang hukum, yang memang banyak dikeluarkan penerbit Bandung satu ini. Tak sebagaimana naskah buku fiksi yang suka datang sendiri kepada penerbit (penulis fiksi kini memang banyak tampaknya), karangan untuk buku ilmu memang sedikit. Maklum, honorarium penulisan buku ilmiah pun tak menggairahkan -- padahal proses penyusunannya tak jarang membutuhkan waktu dan biaya tak sedikit. "Biasanya para penulis itu orang kalangan universitas," kata Bardin. PT Pradnya Paramita pun mengatakan, penulis buku pengetahuan biasanya dosen. Misalnya Prof. Dr. Ismail Sunny, dosen Fak. Hukum UI, yang menulis tinjauan undang-undang penanaman modal asing. Juga Prof. Dr. Supomo, yang karangannya banyak dicetak penerbit ini. Penerbit yang mengeluarkan baik buku pengetahuan maupun novel & bacaan anak-anak, tahu persis perbedaan pasaran kedua jenis itu. Pada buku fiksi, apalagi kalau penulisnya sedang populer, oplah 5 ribu bisa habis dalam 6 bulan. Ini tutur H. Ariefin Noor, Direktur PT Bina Ilmu, Surabaya. Padahal buku - ilmu pengetahuan dengan oplah 2.500 belum tentu dalam 3 tahun habis terjual. Untunglah, bagi beberapa lembaga negeri maupun swasta -- yang bergerak dalam bidang ilmu dan juga menerbitkan buku -- masalah bisnisnya bukan yang utama. Lembaga llmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) misalnya bahkan sengaja hanya mencetak buku hasil penelitiannya sendiri dalam jumlah terbatas -- 500-2.000 eksemplar. Tujuan utamanya memang memasyarakatkan hasil penelitian LIPI -- dengan ancar-ancar yang diharap pas. Juga LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial), Yayasan Obor dan Yayasan llmu-ilmu Sosial -- lembaga swasta yang menerbitkan buku keilmuan agaknya memang tak mencari untung. Ditambah pihak universitas -- UI dan UGM misalnya, yang akhir-akhir ini banyak menerbitkan buku -- mereka inilah yang mewarnai dunia buku keilmuan kita kini. Cuma berapa besar penerbitan buku pengetahuan kita, sulit diketahui persisnya. Pusat Dokumentasi llmiah Nasional sendiri tak pasti. Hanya dari buku yang diterbitkan Ikapi tiap tahun, bisa diketahui bahwa sebagian besar buku ilmiah kita buku terjemahan. Yang ditulis orang kita sendiri, berdasar riset sendiri, tak banyak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus