Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Jembatan dari bunga sungsang

23 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ORANG bilang buku keilmuan biasanya ditulis dengan bahasa kering. Dan mungkin itu juga faktor kenapa buku jenis ini tak laris --hanya yang benar-benar membutuhkannya yang membeli. Tapi ada pengarang yang suka bertutur tentang kehidupan hewan atau tumbuhan yang secara ilmiah bisa dipertanggungjawabkan, dan secara bahasa enak diikuti. Slamet Soeseno, dikenal sebagai penulis ilmiah populer, dialah itu. Buku ilmiah populer merupakan "jembatan antara laporan ilmiah yang ditujukan kepada para ilmuwan dan bacaan sederhana yang ditujukan kepada masyarakat awam," tulisnya dalam bukunya Teknik Penulisan Ilmiah Populer. Orang yang mendapat hadiah Yayasan Buku Utama untuk bukunya Taman Firdaus Terakhir, 1977, untuk golongan buku nonfiksi, memang berpendidikan Akademi Pertanian, Bogor 1956 (kini IPB). Minatnya menulis ilmiah tapi enak dibaca, timbul ketika Dr. Vaas, orang Belanda ahli biologi di sekolahnya, menunjukkan kepadanya mengapa bunga sungsang berubah warna dari jingga, merah muda dan akhirnya merah benar. "Untuk menarik serangga yang akan membantu pembuahan bunga itu," tutur Slamet kembali. "Tapi waktu itu cara Dr. Vaas menceritakannya menarik sekali." Dan ia pikir, waktu itu, orang yang tak berminat pun mendengarkan dan akan beruntung tambah ilmu baru. Dari pengalamannya itulah kemudian ia berniat menyebarluaskan 'ilmu'-nya kepada masyarakat luas -- tak hanya kalangan ilmuwan. Orang Madiun yang lahir 16 Juni 1927 itu, sejak 1951 mulai menulis tulisan populer. Tapi baru sejak 1969, agaknya, ia sungguh-sungguh menulis. Hingga kini sekitar 150 artikel, sejumlah makalah dan 8 buku telah dihasilkannya. Bukunya antara lain: Peternakan Ikan Mas (1961), Akuarium Air Tawar (1968), Buah-buah di Kebun Rumah (1970). Seekor Semut Untuk menjaga bahasa yang enak, Slamet mengakui berkali-kali membaca ulang tulisannya. Juga dengan cermat menguji atau mencocokkan segi ilmiahnya dengan banyak buku. Taman Firdaus Terakhir, misalnya, diselesaikannya dua tahun. Ia bolak-balik Jakarta-Bogor, mencari buku di perpustakaan IPB atau Pusat Dokumentasi Nasional di Jakarta guna dijadikan referensi. Dan yang sangat membantunya: ia menguasai 3 bahasa asing dengan baik: Inggris, Belanda dan Jerman. Kecuali itu ia pun sangat berdisiplin dalam bekerja. Bangun pukul 04.00 dinihari, langsung mengurusi naskah yang tengah dikerjakannya sekitar 1« jam, sebelum berangkat ke kantor. Bapak yang punya tiga putri ini, meski sering menulis -- paling tidak satu artikel sebulan -- toh tetap mengaku honorarium yang diterima "jauh lebih kecil dari gajinya." Mungkin karena itulah menulis artikel atau buku ilmu tak menarik banyak orang. Yang unik, meski sering menulis tentang hewan, di rumahnya seekor semut pun tak nampak. Untuk melihat binatang, "kalau lagi rindu," katanya, cukup lewat sejumlah buku juga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus