ORANG bilang buku keilmuan biasanya ditulis dengan bahasa
kering. Dan mungkin itu juga faktor kenapa buku jenis ini tak
laris --hanya yang benar-benar membutuhkannya yang membeli.
Tapi ada pengarang yang suka bertutur tentang kehidupan hewan
atau tumbuhan yang secara ilmiah bisa dipertanggungjawabkan, dan
secara bahasa enak diikuti. Slamet Soeseno, dikenal sebagai
penulis ilmiah populer, dialah itu.
Buku ilmiah populer merupakan "jembatan antara laporan ilmiah
yang ditujukan kepada para ilmuwan dan bacaan sederhana yang
ditujukan kepada masyarakat awam," tulisnya dalam bukunya Teknik
Penulisan Ilmiah Populer.
Orang yang mendapat hadiah Yayasan Buku Utama untuk bukunya
Taman Firdaus Terakhir, 1977, untuk golongan buku nonfiksi,
memang berpendidikan Akademi Pertanian, Bogor 1956 (kini IPB).
Minatnya menulis ilmiah tapi enak dibaca, timbul ketika Dr.
Vaas, orang Belanda ahli biologi di sekolahnya, menunjukkan
kepadanya mengapa bunga sungsang berubah warna dari jingga,
merah muda dan akhirnya merah benar. "Untuk menarik serangga
yang akan membantu pembuahan bunga itu," tutur Slamet kembali.
"Tapi waktu itu cara Dr. Vaas menceritakannya menarik sekali."
Dan ia pikir, waktu itu, orang yang tak berminat pun
mendengarkan dan akan beruntung tambah ilmu baru.
Dari pengalamannya itulah kemudian ia berniat menyebarluaskan
'ilmu'-nya kepada masyarakat luas -- tak hanya kalangan ilmuwan.
Orang Madiun yang lahir 16 Juni 1927 itu, sejak 1951 mulai
menulis tulisan populer.
Tapi baru sejak 1969, agaknya, ia sungguh-sungguh menulis.
Hingga kini sekitar 150 artikel, sejumlah makalah dan 8 buku
telah dihasilkannya. Bukunya antara lain: Peternakan Ikan Mas
(1961), Akuarium Air Tawar (1968), Buah-buah di Kebun Rumah
(1970).
Seekor Semut
Untuk menjaga bahasa yang enak, Slamet mengakui berkali-kali
membaca ulang tulisannya. Juga dengan cermat menguji atau
mencocokkan segi ilmiahnya dengan banyak buku. Taman Firdaus
Terakhir, misalnya, diselesaikannya dua tahun. Ia bolak-balik
Jakarta-Bogor, mencari buku di perpustakaan IPB atau Pusat
Dokumentasi Nasional di Jakarta guna dijadikan referensi. Dan
yang sangat membantunya: ia menguasai 3 bahasa asing dengan
baik: Inggris, Belanda dan Jerman.
Kecuali itu ia pun sangat berdisiplin dalam bekerja. Bangun
pukul 04.00 dinihari, langsung mengurusi naskah yang tengah
dikerjakannya sekitar 1« jam, sebelum berangkat ke kantor.
Bapak yang punya tiga putri ini, meski sering menulis -- paling
tidak satu artikel sebulan -- toh tetap mengaku honorarium yang
diterima "jauh lebih kecil dari gajinya." Mungkin karena itulah
menulis artikel atau buku ilmu tak menarik banyak orang.
Yang unik, meski sering menulis tentang hewan, di rumahnya
seekor semut pun tak nampak. Untuk melihat binatang, "kalau lagi
rindu," katanya, cukup lewat sejumlah buku juga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini