Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MERPATI Nusantara Airlines (MNA) kini tak boleh dipandang sebelah mata. Rute-rute domestik yang selama ini diterbangi Garuda, akan dialihkan kepada MNA. Semula alih tugas ini direncanakan lima tahun, tapi belakangan dipersingkat. Dimulai April lalu dengan dua rute di Sulawesi maka, dalam dua tahun, sayap Merpati diharapkan sudah kukuh menerbangi 98 rute domestik. Bahkan harus cukup tangguh untuk membawa jemaah haji ke Tanah Suci. Sebagai anak perusahaan, MNA dianggap sudah layak untuk disapih. "Jangan disusui terus, kapan dewasanya," kata Direktur Niaga Garuda Sunarjo. Pada taha awal. tahun ini. 18 jalur Indonesia Timur plus Jakarta--Tanjungkarang akan diterbangi Merpati. Tanpa modal itu, MNA takkan pernah terbang lebih tinggi dari jalur perintis yang selama ini harus ia layani - dan selalu membawa rugi. Dan tiap tahun pemerintah tekor Rp 1,6 milyar untuk menyubsidi jalur perintis itu. Memang, pada rute domestik komersial, masih ada laba yang diraih. Lewat akal-akalan subsidi silang, akhirnya laba tercatat juga di buku Merpati tapi, ya, kecil. "Pokoknya, tahun lalu untung," ucap Direktur Niaga Merpati Amirudin Rozali, yang tak mau bicara soal angka. Dengan pelimpahan rute gemuk, laba yang lebih besar akan bisa dipompakan ke Merpati. Di pihak lain, Garuda sudah bisa meraup 70 persen pendapatannya dari jalur internasional, serta makin mampu mengeduk dolar dari negeri orang. Maka, Rabu pekan lalu, Dirut Garuda Soeparno dan Dirut Merpati F.H. Sumolang sama-sama senang mengumumkan pembagian pekerjaan itu. Dalam pelaksanaannya, pembagian itu tidak gampang. Garuda, di samping harus membagi rute gemuknya, harus bersedia "meminjamkan" sejumlah pesawatnya. Dalam kaitannya dengan itu, Merpati akan mengecat 76 pesawat Garuda dengan logo MNA. Pesawat yang dioper Merpati seluruhnya tergolong narrow body alias pesawat berbadan sempit, seperti DC-9, F-28 seri 3000 dan seri 4000. Pesawat jenis inilah yang biasa digunakan Garuda untuk menerbangi jalur-jalur yang diambil MNA. Cuma, itu tidak gratis. "Kita harus memperlakukan Merpati secara bisnis," tutur Sunarjo. Pesawat-pesawat itu kelak harus dibayar cicil. Dan, "Kami tak ambil untung," kata Sunarjo lebih lanjut. Katanya, asalkan impas saja dengan modal yang dikeluarkan Garuda. Ternyata, 76 pesawat tak cukup. Maka, 15 pesawat CN 235 bikinan IPI'N akan ikut meramaikan armada Merpati yang sekarang sudah 61 buah itu. Dana yang tersedot ke sini cukup besar, "Sebuahnya US$ 8,5 juta," kata Direktur Operasi Merpati Capt. Rafdi Samin. Lantas, ke mana pesawat lain yang berbadan "gemuk", seperti Boeing 747, DC-10, atau Airbus? Tampaknya, Garuda belum akan melepas pesawat-pesawat berbadan lebar itu. Maklum, ia diperlukan untuk penerbangan internasional, yang jaraknya jauh dan berpenumpang banyak. Tampaknya, rute domestik yang diterbangi pesawat itu pun belum akan dilepas oleh Garuda. Sering disebut juga trunk line, ini adalah jalur yang erat berkaitan dengan penerbangan internasional. Nah, tentu tak sedap jika penumpang dari Eropa--yang akan terbang ke Bali - harus berganti ke pesawat maskapai lain di Jakarta, meskipun itu anak perusahaan sendiri. Maka, Garuda akan tetap mengelolanya. Selain Jakarta-Bali, ada beberapa jalur yang tetap dipertahankan, seperti Jakarta-Ujungpandang dan Jakarta-Medan. Sesudah pesawat, kini giliran pilot. Untuk tenaga profesional--yang selalu menimbulkan masalah - tampaknya tak ada jalan lain kecuali menyewa orang Garuda. Sesuai dengan asas bisnis yang sudah disebut Sunarjo tadi, maka perhitungan di sini juga business-like. Lagi pula, sudah ada konsepnya. Rumusan itu menyangkut seluruh tenaga manusia yang dimiliki Garuda Group. "Kelak semuanya berseragam sama," kata Sunarjo. Nantinya, yang membedakan orang-orang itu - cuma logo perusahaan yang tertempel di pakaian seragam. Kalau pakaian sudah sama, tentu, gaji pun demikian. Itu sebabnya, sekarang, orang-orang Garuda sibuk menyusun skala penggajian, yang akan berlaku atas semua pegawai. Jika gajinya sudah sama, maka tak sulit lagi memindah-mindahkan orang dari Garuda ke Merpati. atau sebaliknya. Sebenarnya, semua masalah tadi belum apa-apa jika dibandingkan dengan pekerjaan mengangkut jemaah haji, yang mulai dilakukan Merpati, 1991 nanti. Angkutan haji bukan soal sepele, juga bukan soal rutin. Tiap tahun, tugas besar itu membuat pusing manajemen Garuda. Sampai-sampai semua cuti, biasanya, dibatalkan pada saat sibuk itu. Bila kepusingan itu sudah bisa dialihkan juga oleh Garuda kepada MNA, maka saat itu pula perusahaan pembawa bendera ini bisa lebih siap menerjuni lahan internasional. Jurus pertama yang sudah dipasang Garuda untuk itu adalah mencari tujuan baru. Sekarang, misalnya, sedang dirundingkan dengan Kanada untuk mendaratkan pesawat Garuda ke sana. Sedangkan yang sudah pasti, kini, adalah jalur ke Korea Selatan, dimulai Oktober mendatang. "Pokoknya, konsentrasi penuh untuk menarik dolar," Sunarjo menegaskan. Siapa tahu, mungkin saja Garuda juga beusaha mengejar ketinggalannya dari beberapa negara tetangga, yang berhasil menyediakan daya tampung lebih besar di pesawat mereka. Apalagi menjelang panen besar wisata internasional, sepuluh tahun ke depan. Mungkin, dalam upaya mempersiapkan diri ke target itu, Garuda memaklumkan niatnya untuk menjual saham ke pasar modal. Gagasan ini dicetuskan, akhir pekan lalu, sementara pelaksanaannya tentulah akan makan waktu. Setidaknya, kondisi kesehatan Garuda perlu lebih dimantapkan. "Rencana itu memang masih perlu diteliti," kata Sekjen Departemen Perhubungan Dr. Djunaedi Hadisumarto, seperti yang dikutip Kompas, Senin pekan ini.Yopie Hidayat & Bambang Aji Setiaji
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo