GONJANG-ganjing itu tampaknya belum akan segera lewat. Sesudah lepas dari ancaman embargo AS, April lalu, pengusaha tekstil dan garmen Indonesia kini memasuki tahap baru dalam "perjuangan" mereka. Sebagai eksportir, Indonesia sedang berunding ketat dengan negara-negara pengimpor tekstil. Pasalnya, Multi-Fibre Arrangement alias MFA akan berakhir 31 Juli tahun depan. Memang masih setahun lagi, tap buat industri tekstil yang modalnya milyaran, jangka waktu 12 bulan boleh dibilang cukup mendebarkan. Pada garis besarnya, semua negara ingin balik ke sistem perdagangan bebas sesuai dengan prinsip General Agreement on Tariff and Trade (GATT). Soalnya, MFA yang dimulai sejak 1971 itu sebenarnya banyak menyimpang dar prinsip-prinsip GATT. Sistem kuota, yang membatas ekspor ke negara-negara tertentu, jelas "mengandung" unsur perlindungan nontarif yang tidak transparan. "Itu sebabnya Indonesia berjuang keras agar perdagangan tekstil terintegrasi ke dalam GATT," kata Dirjen Perdagangan Luar Negeri Paian Nainggolan. Setelah dua tahun, upaya Indonesia yang juga diperjuangkan lewat International Textile and Clothing Bureau (ITCB) ini ada hasilnya juga. Januari lalu, AS menyetujui gagasan tersebut. Ini berarti, Indonesia bisa mengekspor tekstil dan garmen ke Negara Paman Sam, tanpa terikat kuota. Persoa- lannya bagaimana mengganti sistem kuota yang sudah 20 tahun itu. Kalau per 1 Agustus 1990 seluruh perdagangan dibikin bebas, Indonesia sebagai eksportir tentu akan repot sekali. Negara- -negara pengimpor yang selama ini memberlakukan kuota pasti keberatan bila tiba-tiba dibanjiri produk dari luar. Maka, mereka sepakat: diperlukan masa transisi. Indonesia, sebagai ketua ITCB, mengusulkan agar masa transisi itu 6,5 tahun saja. Sementara itu, Amerika Serikat ingin 10 tahun, India dan Jepang menghendaki 5 tahun. "Soal ini sedang dirundingkan," kata H. Darry Salim, ketua perunding Indonesia di komite tekstil GATT. Indonesia juga mengusulkan agar, selama masa transisi itu, kuota masih diadakan, dengan kuota tahun terakhir sebagai basis. Cuma, pertumbuhan untuk tahun-tahun berikutnya harus bersifat progresif. Jika tahun pertama kuota bertambah enam persen, maka tahun berikutnya harus bertambah delapan persen, kemudian sebelas persen, dan seterusnya. "Pemerintah tak usah lagi membagi-bagi kuota," Darry Salim menegaskan. Dengan model progresif begini, pada saatnya nanti penghapusan kuota dianggap tak akan terlalu mengagetkan. Indonesia juga menyebutkan, perjanjian bilateral yang selama ini mengatur kuota itu agar dihapuskan, berbarengan dengan usainya MFA. Kalau ini disetujui, berarti perjanjian bilateral Indonesia-AS -- menurut MFA berakhir 1992 -- otomatis ikut terhapus. Hanya saja, sikap AS tidak begitu mendukung Indonesia. Selain masa transisi 10 tahun, negara itu mengusulkan agar selama masa transisi tersebut diberlakukan kuota global. Itu berarti, kuota tidak diberikan per negara seperti sekarang, tapi langsung kepada eksportir. Sedang yang mengurus izin kuota adalah importir yang bersangkutan. Jika ini berlaku, jelas ketergantungan eksportir pada importir sangat besar. Sistem ini juga mengakibatkan semua kategori tekstil terkena kuota. Padahal, dengan sistem yang sekarang saja, masih ada beberapa kategori yang bebas kuota. Indonesia akan menentang usul ini. "Kalau saya lebih suka bersaing di pasar bebas tanpa kuota," kata Tahir, Presiden Direktur PT Mayatexdian. Ia menilai pa- briknya, yang tahun ini bakal mengekspor garmen seharga US$ 25 juta, cukup kua untuk itu. Lain lagi Dewi Motik Pramono, pimpinan PT Arris Rulan dan FDM yang kapasitas produksinya 20 ribu lusin per bulan. "Lebih baik pakai kuota dengan perjanjian bilateral," tutur Dewi. Tampaknya, tidak semua produsen tekstil Indonesia siap untuk bebas kuota. Padahal, sistem baru perdagangan tekstil internasional itu sudah akan dirumuskan di Brussel, Desember depan. Yopie Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini