RUPANYA jalur penerbangan JakartaAbu Dhabi kian menjanjikan keuntungan. Setidaknya bagi Gulf Air. Maskapai penerbangan yang dimiliki bersama masing-masing 25% oleh pemerintah Bahrain, Oman, Qatar, dan Uni Emirat Arab sejak 1974 ini mulai membuka rute itu via Singapura. Jalur baru ini diawali dengan kenduri besar di Hotel Hilton, Selasa pekan lalu. Sementara ini Gulf Air terbang bolak-balik dua kali seminggu, Senin dan Kamis. ''Untuk masuk kemari, kami siapkan bujet US$ 1 juta,'' kata Presiden dan CEO Gulf Air, Salim Bin Ali Nasser Assiyabi. Biaya itu dipakai untuk segala macam urusan, mulai sewa kantor, iklan, sampai merekrut (calon) pramugari lokal. Assiyabi optimistis, rute barunya ini tak bakal mengangkut angin. ''Pasti mendapat sambutan, terutama dari masyarakat Teluk. Apalagi perkembangan bisnis di sini kian bagus,'' kata Assiyabi. Hanya dia tak berani pasang target meski total armadanya pada 1990 lalu mengangkut 5,2 juta penumpang. Kini, Gulf Air tengah menyiapkan 36 pesawat, termasuk Airbus 340, untuk terbang kemari. Biaya modernisasi teknologi pesawat memperoleh alokasi US$ 1,75 miliar. Namun, kinerja uji terbang sejak awal Juli lalu kurang bagus. ''Lebih banyak yang datang daripada yang pergi, dengan komposisi 8:1,'' ujar Nurdin Purnomo, Manajer Agen Pemasaran Gulf Air di Jakarta. Artinya, penumpang dari Timur Tengah lebih banyak ketimbang yang naik dari Jakarta. Sesampai di sini, Gulf Air akan bertarung melawan Garuda Indonesia, Singapore Airlines (SQ), Saudia, Royal Jordania Airlines, dan Emirates (milik keluarga kerajaan Uni Emirat Arab). Yang disebut terakhir ini adalah maskapai yang pernah meraih gelar Penerbangan Terbaik se-Timur Tengah, dan bisa menjadi saingan tangguh bagi Gulf Air. Apalagi setiap tempat duduknya dilengkapi sistem video pribadi satu-satunya fasilitas semacam itu di pesawat terbang niaga di dunia harganya US$ 1,4 juta per pesawat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini