GEMERETAK suara mesin di PT Pabrik Kertas Gowa (PKG) mungkin akan riuh lagi, seperti dulu. Kemungkinan itu terkuak setelah taipan Eka Tjipta Widjaja berminat masuk dalam manajemen BUMN yang lagi goyah dan sudah setahun tak berproduksi ini. Berhubung masih dalam proses tawar-menawar, belum jelas betul peran raja kertas ini kelak dalam tubuh PKG. Sejauh mana implikasi manajemennya juga masih gelap. Yang pasti, Menteri Perindustrian Tunky Ariwibowo membenarkan rencana Eka Tjipta, yang akan menginjeksi duit ke PKG sebesar Rp 5,9 miliar. ''Kebetulan kami sedang mencari mitra usaha untuk tambahan modal PKG,'' ujar Tunky. Bagi Eka Tjipta, agaknya uang sebesar itu tak sulit didapat. Simak saja proyeksi penjualan pabrik kertas PT Tjiwi Kimia dan PT Indah Kiat Pulp & Paper. Kedua anak perusahaan Grup Sinar Mas yang telah masuk bursa itu masing-masing mematok omset Rp 1,1 triliun untuk tahun 19931994. Dan kalau Eka benar-benar ''masuk'', hal itu tentulah akan menghapus spekulasi terhadap pemegang kendali PKG. Soalnya, tender (terbatas) terhadap penjualan BUMN ini kabarnya juga diminati konglomerasi lain, termasuk Grup Salim dan Grup Astra. Sejarah PKG memang sarat dengan derita. Sejak dibangun pada 1962, di atas lahan 40 hektare di Gowa sekitar 20 kilometer dari Ujungpandang kinerjanya cenderung suram. Aneka persoalan terus memberondong. Mulai kasus manipulasi pengadaan bahan baku, yang buntutnya sampai ke pengadilan, ''dirumahkan''-nya separuh dari sekitar 600 karyawan, hingga kapasitas produksinya termasuk kertas HVS terus melorot. Dari sekitar 21.000 ton pada 1980, belakangan paling banyak berproduksi 13.000 ton. Akhirnya direksi bertindak. Sejak 1 Januari 1992, produksi disetop. ''Ini untuk menghindari kerugian yang lebih besar,'' ujar Eko Hendarto, Direktur Produksi PKG. Banyak faktor yang menyulut limbungnya PKG. Eko Hendarto menyebut persaingan dengan produk pabrik kertas lainnya. Lalu, bahan baku kimia harus dipasok dari luar Sulawesi Selatan hingga diperlukan biaya transportasi cukup besar. Semua ini pada akhirnya menaikkan biaya overhead sehingga produk PKG tak lagi kompetitif. Mesin-mesinnya juga sudah uzur. Seperti kata Tunky kepada TEMPO, ''Pabrik ini sulit berkembang dan kapasitasnya kian kecil.'' Karena kemelut inilah, Tunky lalu mencari jalan keluar. Ia mencari pasokan modal dari pihak ketiga, satu dari beberapa alternatif dalam program restrukturisasi BUMN, yang dicanangkan oleh Menteri Sumarlin sejak 1989. Khusus untuk PKG, ''Sejak tahun lalu sudah diputuskan untuk menjualnya karena dinyatakan tidak sehat,'' kata Dirjen Pembinaan BUMN Martiono Hadianto kepada Rihad Wiranto dari TEMPO. Kisah kegagalan Gowa agaknya akan berulang pada pabrik kertas BUMN lainnya seperti Basuki Rachmat, Blabak, Kraft Aceh, dan Padalarang yang terakhir ini sudah jatuh ke tangan Grup Risjadson. Seberapa parah kondisi PKG? Sumber TEMPO di pabrik kertas ini menyatakan, BUMN tersebut dililit utang Rp 22 miliar. Belum lagi kerugiannya sebesar Rp 6,2 miliar (1991). Nah, injeksi Eka Tjipta itu praktis hanya bisa menambal kerugian. Artinya, masih ada sejumlah utang yang seharusnya juga dibeli oleh Eka Tjipta. ''Hal ini masih kami pelajari karena injeksi modal begini sama dengan investasi baru. Nilai ekonomisnya terlalu kecil, dan mestinya tak perlu negosiasi panjang,'' ujar Njau Kwet Meen, Direktur Pelaksana PT Indah Kiat Pulp & Paper. Wahyu Muryadi (Jakarta) dan Waspada Santing (Ujungpandang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini