BEBERAPA bioskop kelas menengah di Jakarta gulung layar. Teater City di Pasar Baru tutup sejak Januari. Kemudian menyusul, antara lain, New International (di Monas), Rama (Rawamangun), New Garden Hall (Blok M), Ramayana (Gunung Sahari), dan Menteng. Sampai Agustus ini, tak kurang dari sepuluh bioskop yang berhenti memutar film, karena para pengelolanya tak melihat lagi seberkas pun cahaya menguntungkan di gedung-gedung itu. Menteng dan Ramayana, misalnya, ditutup karena diperhitungkan bahwa lokasi gedung itu akan lebih bernilai bila dijadikan pertokoan dan perkantoran. New Garden Hall, yang pernah menjadi bioskop terkemuka di wilayah elite, Kebayoran, hendak dikembalikan ke fungsi semula: sebagai gedung kesenian, sama seperti bioskop City. "Bayangkan! Sejak November 1983 sampai Juni lalu, New Garden rugi Rp 140 juta. Penonton yang datang sudah tipis, tapi gaji karyawan, hstrik, dan rain-lain harus dibayar," kata Rudy Lukito, boss bioskop-bioskop Rama, Menteng, dan New Garden Hall. Mengapa bioskop-bioskop itu merugi, ada berbagai hal yang dituding sebagap penyebab. Para pemilik bioskop memperhitungkan bahwa televisi telah ikut mengerem orang untuk keluar nonton bioskop. Begitu pula video, yang telah mulai menjadi semacam bioskop keluarga, bahkan di lingkungan RT. Unsur lalu lintas, misalnya kemacetan jalan, konon juga ikut mempengaruhi hilangnya minat orang menonton. Jumlah bioskop di Jakarta, 162 gedung, sudah diangap berlebihan - apalagi bila berkumpul di suatu tempat. "Adanya lima bioskop di kompleks Monas telah mengorbankan New International," kata ketua Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI), Muhammad John Tjasmadi. PEMBAGIAN kelas dirasakan juga terlalu banyak dan selisih harga tanda masuk terlalu lebar. Itu boleh jadi memberatkan konsumen golongan menengah ke bawah. "Sebaiknya bioskop-bioskop digolongkan dua kelas saja," kata Hakim Mansun, pengusaha bioskop-bioskop Cathay, Twin, dan Palapa, seperti dikutip harian Sinar Harapan beberapa pekan lalu. Bi Ho yang berpengalaman 15 tahun di bidang gambar hidup dan kini mengelola bioskop kelas I, President Theater, juga berpendapat serupa. Bila tarif di situ, yang sekarang ratarata Rp 4.000, diturunkan,-bisa diprotes bioskop-bioskop menenah-bawah. Tarif bioskop diatur pemerintah DKI sesuai dengan kelas, dengan pajak sampai 40%. Film-ilm yang diputar, yang terutama berkisar pada "paha" dan "parang", khususnya film nasional, tampaknya juga kurang menggiurkan. Judul film impor memang semakin terbatas. Tahun ini cuma 180 judul, dibandingkan 600 judul setahun pada dekade lalu. Itu pun sebagian bisa ditonton orang di rumah masing-masing, melalui kaset video bajakan. Kalangan penonton bioskop kelas Rp 200 - Rp 1.000, memang, masih menyuburkan bioskop-bioskop tertentu - walaupun jumlahnya lebih sering menduduki sekitar 30% kursi yang tersedia. Bioskop Megaria, misalnya, menurut Manajer Marzuki Djaya, "masih bisa bertahan". Bioskop yang sering memutar film drama itu masih sering dikunjungi penonton 30% lebih dari kapasitas 1.000 kursi itu. Marzuki masih bertahan harga untuk bioskop itu, meskipun, kabarnya, lokasinya yang strategis di Menteng itu sudah diincar pengusaha lain untuk pertokoan dan perkantoran. Beberapa pengusaha memperhitungkan bahwa bangunan dan lapangan parkir bioskop Menteng itu sudah tidak ekonomis Barangkali betul begitu: sudah bukan zamannya lagi film diputar di gedung-gedung berukuran seperti sekarang. Sebuah film kolosal juga bisa dinikmati di bioskop mini, 'kan ?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini