Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Meninggal Dunia

Ketua Dewan Direksi Unilever, meninggal akibat serangan jantung. (eb)

11 Agustus 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IA orang Indonesia asli dan orang Unilever asli: awal dan akhir karier Yamani Hasan tak beranjak dari perusahaan multinasional itu. Meninggal Senin pekan ini sekitar tengah malam, akibat serangan jantung, Yamani adalah tonggak sejarah tersendiri dalam dunia bisnis Indonesia. Selain masih terbilang muda bagi seorang top eksekutif, Yamani dalam usia 49, empat tahun yang lalu itu, merupakan orang Indonesia pertama yang memegang posisi tertinggi dalam Unilever Indonesia, sejak perusahaan itu beroperasi pada tahun 1933. Ia menggantikan P.J. De Beer, orang Belanda yang sudah enam tahun menjadi ketua Dewan Direksi. Anak kesembilan dari 13 bersaudara ini (ibu seorang Jawa dan ayah Banjar Haji Hasan Tajibnapis) boleh dibilang orang made in Unilever. Ia bekerja di sana sejak Januari 1958, begitu tamat dari ITB Jurusan Kimia Teknik. Di tahun 1964, setelah bekerja selama enam tahun di pabrik Colibri di Surabaya - sebuah pabrik Unilever yang menghasilkan barang kosmetik - ia diangkat jadi pemimpin pabrik. Sejak awal 70-an ia naik jenjang dengan langkah tetap: ditarik ke Jakarta dan jadi direktur personalia, kemudian diangkat jadi direktur penjualan. Tahun 1977, ia ditarik ke Rotterdam, memegang bidang pemasaran untuk wilayah Eropa Selatan. Ketika kembali dari Eropa tahun 1979, sudah jelas jabatan apa yang menunggunya: mulanya wakil ketua, dan akhirnya ketua Dewan Direksi. Di Unilever Indonesia, kehadiran tokoh bertubuh jangkung (171 cm) ini amat disenangi sejak lama. Banyak sejawatnya menilai Yamani, yang dipanggil "Jimmy", sebagai "orang yang hangat, ramah, dan berwibawa". Yang pasti, posisinya sebagai pimpinan tertinggi Unilever Indonesia tak ia peroleh karena kebetulan ia orang Indonesia asli. Kalangan Unilever sendiri agak enggan menyebut penunjukan Yamani sebagai contoh "indonesianisasi". Yamani Hasan sendiri mengatakannya, "Memang boleh juga ini disebut dalam rangka indonesianisasi," tapi ia menambahkan bahwa filsafat Unilever - perusahaan yang punya cabang di 75 negara - menghendaki staf campuran. Sewaktu memegang kendali Unilever Indonesia, dari sembilan orang di tingkat pengambil keputusan, enam adalah tenaga Indonesia dan tiga tenaga asing. Suatu kombinasi yang menurut asas Unilever dipandang serasi. Dalam kombinasi itu, Yamani memimpin Unilever yang maju pesat. Agaknya tidak ada rumah tangga yang luput dari serbuan hasil produksi perusa aan ini, yang menyerap 3.500 tenaga kerja. Ada sabun mandi dan cuci, bubuk deterjen Rinso yang makin terkenal setelah diiklankan lewat penghibur tenar Kris Biantoro, ada minyak sayur shampoo, margarine, susu, bumbu masak Royco, dan puluhan lainnya. "Jimmy" tidak menyebut berapa persen pasar yang dapat dikuasainya. Pasaran di Indonesia, katanya, memang belum kenyang, karena tingkat konsumsi di Indonesia masih sangat rendah, kalah dengan India. Namun, ia percaya, makin meningkatnya kemakmuran menyebabkan pemasaran lebih leluasa. Pada awal kepemimpinan Yamani, terjadi perubahan besar dalam organisasi. Berbagai perusahaan Unilever yang tadinya berdiri sendiri digabung di bawah satu atap PT Unilever Indonesia. Setahun kemudian, perusahaan yang menghasilkan sekitar 30 produk itu menjual sahamnya, sebanyak 9,2 juta atau 15%, ke pasar modal dengan nilai nominal Rp 1.000, dan harga perdana Rp 3.150. Dari itu saja terkumpul uang Rp 29 milyar. Pabrik-pabriknya juga diperluas dengan modal US$ 100 juta. Dari jumlah itu Rp 12 milyar disisihkan untuk pabriknya yang baru dl wilayah industri Rungkut, Surabaya, yang antara lain menghasilkan minyak rambut Brisk, shampoo Sunsilk, dan deodoran Rexona. Tapi di saat kepemimpinan Yamani itu pula datang hambatan yang bertubi-tubi bermula dengan resesl dunia, lalu devaluasi rupiah akhir Maret tahun lalu, dan naiknya BBM. Terpukulkah Unilever? "Ya, kami terkena, terutama di daerah, sekitar 10% dari omset",- begitu katanya kepada TEMPO setahun lalu. Kini yang paling terpukul adalah keluarganya: seorang istri, Siti Roehjani, dan tiga anaknya, yang ditinggalkannya dalam usia hampir 54.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus