BOLEH jadi ini mencengangkan: sekitar Rp 1 milyar dikeluarkan masyarakat Jakarta untuk konsumsi kelapa setiap bulan. Ke ibu kota negeri "Nyiur Melambai" ini, menurut ketua Induk Koperasi Kopra Indonesia (IKKI), menggulir lebih kurang 100.000 butir kelapa, setiap hari, yang dijual rata-rata Rp 300 per butir. Bukan cuma Jakarta yang lahap menghabiskan kelapa butiran. Sumber TEMPO di Direktorat Perkebunan memperkirakan, 60% dari kelapa yang dipetik di sepanjang pantai Nusantara dijual petani dalam butiran. Mereka enggan memprosesnya menjadi kopra yang tidak menentu harganya. Produksi kelapa memang sudah sejak lama terasa kurang cukup memenuhi kebutuhan dalam negeri. Usaha perluasan dan intensifikasi tanaman kelapa sudah dijalankan sejak Pelita I (1969-1974) dan akan diteruskan hingga Pelita V mendatang. Kelapa memang menjadi masalah yang semakin hangat. Sehingga, pekan lalu, dilaksanakan Konperensi Nasional Kelapa Pertama di Medan. "Konsumsi semakin melambung dan belum tcrkejar oleh peningkatan produksi," kata Ir. Mohammad Badrun, direktur Bina Program pada Ditjen Perkebunan. Selisih kebutuhan kelapa, pada 1976, "cuma" sekitar 1/2 juta ton di atas produksi yang 1,62 juta ton. Tahun lalu, kebutuhan konsumsi sudah melambung hingga 2 juta ton, sebaliknya produksi menurun tinggal 1,5 juta ton. Padahal, luas perkebunan kelapa telahditingkatkan dari 2 juta hektar, pada 1974 hingga 3 juta hektar tahun lalu. Sebabnya, menurut Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Tanaman Keras Ir. Hasjrul Harahap, yang menutup Konperensi Nasional Kelapa itu, sekitar 900.000 hektar belum berproduksi, sedangkan sekitar 200.000 hektar rusak karena tua (usia 50 tahun). Selain itu, "Produksi menurun, karena kelapa tak diberi pupuk dan obat antihama, dan telah tiga kali dalam 10 tahun terakhir dihantam kemarau panjang," kata Ir. Hastjarjo Sumardjan, kepala Balai Penelitian Kelapa Bandar Kuala (Sum-Ut), yang mengetuai konperens itu. Tanaman kelapa di Indonesia, yang merupakan terluas sesudah tanaman padi, 98% adalah milik petani. "Tidak ada larangan untuk pengusaha membuka perkebunan kelapa, tetapi sebaiknya mereka terjun pada perkebunan besar kelapa sawit yang lebih membutuhkan modal," kata Menmud Hasjrul Harahap kepada TEMPO. Dewasa ini pemerintah memang giat menyebarluaskan bibt unggul kelapa hibrida, terutama kepada petani, dengan harga Rp 450 per pohon. Sedangkan kepada perusahaan swasta dikenakan harga Rp 1.100 per pohon. Selain itu bibit yang diambil dari kebun bibit di Lampung dan Tangerang itu dlbagikan cuma-cuma juga kepada peserta keluarga berencana lestari di Jawa Timur, Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Lampung - untuk usahi pekarangan. Jatah yang disediakan untuk itu sekitar 3 juta bibit. Pembibitan kelapa hibrida direncanakan di PTP-PTP dan perkebunan swasta. Pembuatan kebun kelapa hibrida itu, menurut suatu sumber, diperlukan Rp. 600.000-RP 700.000 per tahun per hektar. Pemeliharaan juga membutuhkan teknologi khusus. Untuk itu para petani akan dibina dalam model Perkebunan Inti Rakyat (PIR). PIR, yang akan dibantu kredit bank, menjanjikan penghasilan US$ 1.000-US$ 1.500 per tahun bagi petani. Tapi kebanyakan petani, ternyata, masih belum menyukai bibit hibrida itu. Menurut Hasjrul Harahap, "Karena masih hal baru saja." Pun para pengusaha swasta, yang diharapkan mengerakkan roda perkebunan, masih belum yakin betul bahwa sistem PIR bisa mendorong semangat berkebun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini