Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Indonesia terancam kembali memasuki "zaman kegelapan". Pasokan listrik di sejumlah daerah menuju kritis, sehingga mereka menghadapi ancaman giliran pemadaman. Sistem kelistrikan Jawa-Bali, yang terkenal andal dalam lima tahun terakhir, kini juga terancam bakal menghadapi kekurangan pasokan listrik. Penyebabnya adalah terlambatnya pemerintah dan PLN membangun pembangkit listrik, jaringan transmisi, dan distribusi baru. Akibatnya, ketika kebutuhan listrik meningkat jauh lebih cepat dari yang diperkirakan, PLN tidak bisa dengan segera menyediakannya.
Itu semua gara-gara krisis ekonomi. Perencanaan kelistrikan amburadul karena permintaan tak bisa diramalkan dengan tepat. Ketika krisis masih pada tahap-tahap awal, pemerintah menunda dan menyetop sejumlah proyek pembangkit listrik karena kenaikan permintaan listrik tak secepat yang diramalkan. Semula, banyak pihak yang yakin, pertumbuhan permintaan akan mencapai 12-15 persen per tahun. Begitu krisis datang, kebutuhan listrik ternyata turun. Beban puncak yang pada 1997 sudah menembus di atas 10 ribu megawatt kembali turun di bawah 10 ribu megawatt pada tahun berikutnya.
Ternyata, kondisi itu tak bertahan lama. Kini pertumbuhan permintaan listrik sudah berada pada kisaran 12 persen dan beban puncak sudah di atas 12 ribu megawatt. Padahal, PLN tidak punya pembangkit baru yang bisa dipakai untuk menambal kenaikan permintaan tersebut. Sistem kelistrikan Jawa dan Bali yang saat ini masih aman terancam bakal menghadapi krisis pada tahun 2003-2004. Saat ini, dengan kapasitas terpasang sebesar 18.300 megawatt dan beban puncak sekitar 12.500 megawatt, masih ada cadangan 30 persen. Dengan cadangan sebesar itu, pasokan listrik PLN masih aman.
Namun, kondisi ini masih belum bisa dikatakan aman betul. Sebab, jika ada gangguan pada salah satu pembangkit di Jawa-Bali, pasokan listrik langsung terganggu. Direktur Operasi PLN, Tunggono, mencontohkan gangguan pasokan batu bara di PLTU Suralaya pada Februari-April lalu. "Pasokan dari pembangkit itu langsung drop dari 3.400 megawatt menjadi hanya 2.400 megawatt," kata Tunggono. Akibatnya, posisi cadangan listrik langsung menuju status siaga karena hanya ada sekitar 22 persen. Belum lagi masih banyaknya pembangkit listrik tenaga air (PLTA), yang keandalannya sangat bergantung pada pasokan air. Begitu pasokan air berkurang, pasokan listriknya juga turun. Contohnya, PLTA Cirata.
Masalahnya, PLN bisa dibilang terlambat membangun jaringan transmisi dan distribusi. Akibatnya, meskipun pasokan listrik dari pembangkit tergolong aman dengan sudah beroperasinya Paiton I (1.220 megawatt) dan Paiton II (1.320 megawatt), karena jaringan transmisi dan distribusi Kediri-Klaten-Tasikmalaya masih belum dibangun, listrik tak bisa dialirkan ke Jawa Tengah dan Jawa Barat. Tunggono menyebut daerah Jawa Tengah bagian selatan dan Jawa Barat akan menghadapi giliran pemadaman listrik. Sampai saat ini belum ada tanda-tanda proyek transmisi tersebut dibangun karena ada masalah hukum yang belum terselesaikan.
Dilihat dari kenaikan permintaan listrik, pasokan setrum di Jawa-Bali juga tidak aman. Menurut Direktur Utama PLN, Eddie Widiono, setelah krisis PLN meramalkan pertumbuhan permintaan listrik setiap tahunnya di Jawa-Bali hanya sembilan persen. Namun, pada kenyataannya, dalam beberapa bulan terakhir, permintaan itu sudah menjadi 11-12 persen. Akibatnya, pembangunan pembangkit baru menjadi salah satu jawaban untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Celakanya, PLN baru mendapatkan satu proyek pembangkit yang siap dibangun, yakni Tanjungjati B. Jika lancar, pembangkit ini akan siap pada tahun 2003/2004.
Di luar Jawa, kondisinya lebih parah. Dari 11 wilayah operasi PLN di luar Jawa-Bali, hanya dua daerah yang pasokan listriknya aman, yakni Sumatra Barat-Riau dan Sulawesi Selatan. Lainnya benar-benar parah. Bahkan, di Sumatra Selatan, Kalimantan, Maluku, dan Irianjaya, jumlah pasokannya tak bisa menutupi beban puncaknya (lihat tabel).
Tak ada pilihan lain. Pemerintah harus membangun infrastruktur kelistrikan itu sejak sekarang. Jika tidak, pasti terjadi kesenjangan, yang akan mengakibatkan giliran pemadaman seperti yang terjadi pada awal 1990-an. Namun, ini tidak bisa dengan mudah dilakukan pemerintah karena investasi yang dibutuhkan untuk itu sangat besar. Menurut Eddie, Indonesia membutuhkan dana investasi sekitar US$ 20 miliar atau Rp 200 triliun untuk membangun pembangkit listrik dalam 10 tahun ke depan. Selain itu, masih dibutuhkan sekitar US$ 10 miliar untuk membangun jaringan transmisi dan distribusi agar listrik tersebut sampai ke rumah-rumah. Jumlah itu jelas luar biasa besar. Bandingkan dengan anggaran pembangunan untuk sektor energi selama dua tahun terakhir, yang cuma Rp 4 triliun.
Karena itu, mau tidak mau pemerintah harus melirik ke swasta, baik lokal maupun asing, untuk mengatasi kelangkaan dana tersebut. Sayangnya, mengharapkan swasta masuk ke Indonesia seperti menunggu Godot. Masih rawannya keamanan dalam negeri dan ketidakpastian yang tinggi di bidang peraturan dan hukum membuat banyak perusahaan memilih untuk tidak menginvestasikan dananya ke Indonesia. Bank dan lembaga keuangan internasional juga tak banyak berminat mendanai pembangunan proyek kelistrikan di Indonesia, karena rendahnya tarif listrik di Indonesia membuat tingkat pengembalian modalnya rendah dan lama.
Belum lagi soal listrik swasta yang sampai kini masih belum seluruhnya tuntas. PLN baru mencapai persetujuan sementara dengan Paiton Energy Corp. (Paiton I) dan Jawa Power (Paiton II), sehingga belum diketahui berapa harga jual listrik yang sudah disepakati. Padahal, kedua pembangkit ini akan dijadikan patokan oleh pembangkit yang lain untuk menyelesaikan permasalahannya dengan PLN. Selain berurusan dengan harga jual yang kelewat mahal, PLN juga masih harus merundingkan masalah keharusan membeli listrik swasta dan jumlah tertentu.
Selain itu, RUU Kelistrikan yang akan menggantikan UU No. 15/1985 juga tak kunjung diundangkan. Padahal, undang-undang tersebut akan mengubah peta bisnis listrik di masa depan, ketika PLN tidak akan memonopoli pemasokan listrik. Sistem pemasokan listrik akan dilakukan melalui tender (multi-seller single buyer) dan tidak memungkinkan adanya kontrak jangka panjang seperti yang terjadi pada listrik swasta sekarang ini. Semua itu jelas membuat daya tarik Indonesia menjadi hilang. Mungkinkah Indonesia menutup ancaman kelangkaan pasokan listrik ini?
Menteri Koordinator Perekonomian Rizal Ramli mengakui, pemerintah memang hanya mampu mengeluarkan anggaran untuk pemeliharaan. Untuk membangun baru, katanya, pemerintah punya kemampuan pendanaan sangat terbatas. Karena itu, pemerintah sedang memikirkan insentif apa yang bisa diberikan kepada asing agar mau masuk ke sektor infrastruktur ini. Tapi banyak soal tiba-tiba menghadang. Dalam kasus jalan lingkar luar Jakarta, misalnya. "Sudah ada yang berminat dan tinggal dilaksanakan, protes berdatangan. Hal-hal seperti ini bisa membuat jeri investor asing," kata Rizal. Di satu sisi, Indonesia membutuhkan investor asing. Di pihak lain, ada kelompok yang berusaha mengurangi peranan asing.
M. Taufiqurohman, I.G.G. Maha Adi, Rommy Fibri
Kelistrikan Luar Jawa-Bali (Tahun 2000) | Lokasi | Beban puncak* | Kapasitas efektif* | Surplus/defisit* | Wilayah I & II (Sumatra Utara-Aceh) | 895 | 935 | 40 | Wilayah III (Sumatra Barat-Riau) | 401,5 | 676,5 | 275 | Wilayah IV (Sumatra Selatan) | 674,9 | 658,9 | -16 | Wilayah V (Pontianak) | 93 | 69 | -24 | Wilayah VI (Samarinda-Balikpapan-Barito) | 317,1 | 298 | -19,1 | Wilayah VII (Minahasa) | 83 | 112 | 29 | Wilayah VIII (Ujungpandang) | 304 | 457 | 153 | Wilayah IX (Ambon dan Ternate) | 41 | 40,3 | -0,7 | Wilayah X (Jayapura dan Sorong) | 33,5 | 30,6 | -2,9 | Wilayah XI (Lombok, Sumbawa, Kupang) | 88 | 95,1 | 7,1 | Sumber: PLN *(MW) Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO ekonomi sinyal-pasar bisnis Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |