SUASANA tawar-menawar kini makin banyak terlihat di pasar-pasar tingkat pengecer. Menghadapi perubahan harga karena pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), mulai I April lalu, pembeli perlu cerewet sedikit dalam menawar harga barang. Salah langkah sedikit, boleh jadi, mereka akan termakan permainan harga pengecer yang berusaha mengambil kesempatan di tengah suasana demam pajak itu. Mulai saat itu, pukul rata harga pelbagai barang kebutuhan dasar naik 5% sampai 20%. Minyak goreng merk Bimoli, misalnya, naik sekitar 4%: dari Rp 2.400 jadi Rp 2.500 untuk isi 2 kg. Kenaikan terjadi sesudah produsen PT Sajang Heulang menaikkan harga jual minyak itu ke para distributornya bertepatan dengan saat pemberlakuan PPN. Anehnya, sekalipun harga naik, permintaan tetap melonjak. Dalam suasana demam pajak seperti itu, para produsen sendiri kelihatan seperti tak punya pilihan lain. Selain harus menjadi wajib pungut PPN, mereka juga harus menanggung kenaikan biaya produksi karena harga BBM, umpamanya, juga sudah naik terkena pajak itu. Karena alasan itulah, maka harga makanan kaleng bikinan grup Mantrust ada yang naik sampai 12%, melebihi beban pajaknya, seperti corned beef. Kata A. Sukandar, direktur komersial PT Borsumij Wehry Indonesia, distributornva. "Kalau tidak ada efisiensi dipabrik, kenaikan itu bisa mencapai 15%." Tapi untuk makanan kaleng stok lama, karena belum terkena pajak masukan PPN, kenaikan harganya hanya 3,5%. Sial bagi konsumen, jika barang itu sudah sampai di pengecer, soal stok lama dan barang baru sudah sulit dibedakan. Perbedaan harga semacam itu, ternyata, hanya bisa dinikmati distributor atau grosir, yang pintunya hanya bersebelahan dengan produsen. Produsen sendiri, di pihak lain, seperti tidak ingin menahan terlalu lama persediaan barang jadi dan bahan terurai mereka. Beberapa produsen sektor industri modern malah secara sengaja mempercepat kegiatan perakitan atau pabrikasi mereka untuk menghabiskan stok lama. PT Prospect Motor, perakit mobil Honda, misalnya, kemudian menghentikan kegiatan perakitannya dari 22 Maret sampai 2 April, sesudah stok lamanya habis. "Kami tidak mau rugi karena terkena pajak berganda dari stok lama ini," ujar Kamal, direktur Prospect Motor. PT National Gobel juga menghentikan kegiatan perakitan barang-barang elektronik selama seminggu, terhitung mulai I April. Hanya alasannya agak berbeda. Menurut Yamien Tahir, wakil presiden National Gobel, tindakan itu terpaksa dilakukan untuk memberi kesempatan perusahaan, "Mempelajari peraturan baru." Maksudnya, mempelajari peraturan baru mengenai tarif bea masuk. Kata dia, ketentuan baru bea masukyang mulai berlaku I April itu, boleh jadi, akan menyebabkan "harga barang elektronik akan turun". Yamien lalu mengambil contoh peminat video. Berdasarkan ketentuan lama, barang elektronik ini diharuskan membayar bea masuk Rp 253 ribu setiap unit. Jika ditambah dengan pelbagai macam pajak dan pungutan, beban biaya untuk video bisa mencapai Rp 350 ribu. Dengan ketentuan baru, pesawat video itu hanya akan terkena bea masuk, PPN, dan Pajak Penjualan (PPn) Barang Mewah sebesar Rp 125 ribu. Karena itu, Yamien menduga, "Ketentuan itu bakal bisa mengurangi usaha penyelundupan barang elektronik tadi." Bagi pemerintah sendiri, penurunan tarif bea masuk (customs tariff) itu hanya merupakan kompensasi atas kenaikan beban pajak, yang harus dipikul barang atau komponen impor. Jika dulu beban Pajak Penjualan Impor pukul rata di bawah 10%, maka dengan dikenakannya PPN dan PPn Barang Mewah, beban pajak itu naik jadi 20% sampai 30%. Karena alasan itu, tarif maksimum bea masuk kini hanya 60%, sedangkan sebelumnya ada yang mencapai 225%. Jadi, masuk akal bila produsen televisi seperti PT Asia Permai Electronics, hingga kini belum merasa perlu menaikkan harga televisi Grundig hasil rakitannya. Televisi warna 15' yang dijual ke distributornya masih Rp 325 ribu sebuah. Menjelang 1 April, menurut Mohamad Amid, presiden direktur Asia Permai, memang terasa adanya gelombang pesanan dari para distributor. Pada bulan Maret itu, penjualan pabrik naik sampai 300% dibandingkan Februari. Suasana panas memang terasa di pasar tingkat pengecer pada bulan Maret itu. Konsumen seperti orang kalap memborong mobil, televisi warna, lemari es, video, dan alat pendingin. Mereka tampaknya termakan desas-desus bahwa PPN dan PPn Barang Mewah akan menyebabkan harga barang-barang itu naik sampai 30%. Tentu saja agen tunggal mobil seperti PT Indo Mobil Utama bersorak girang. Bulan Februari dan Maret agen tunggal ini di luar dugaan bisa menjual 7.300 unit Suzuki Jimny dan Carry. Padahal, bulan November dan Desember sebelumnya Suzuki yang bisa dijualnya hanya meliputi 1.500 unit. Akibatnya, kini persediaan barang jadi agen tunggal itu tak tersisa lagi. Pada bulan April imi perusahaan sudah siap-siap menghadapi kenyataan penurunan penjualan sampai 50%. Tapi tak apa. Sebab, kami sempat menikmati panen selama dua bulan itu," ujar Angky Camaro, direktur pemasaran Indo Mobil Utama. Situasi seperti itu juga dirasakan PT Astra International Inc., agen tunggal Daihatsu, yang penjualannya pada bulan Maret mendadak melonjak sampai 6.000 unit, atau hampir dua kali lipat dibandingkan bulan sebelumnya yang hanya 3.500 unit. Namun, pada minggu pertama April, penjualan terasa sepi. "Tak ada yang menanyakannya," kata Eddie Santoso, manajer umum Motor Vehicle Division Astra. Kalau toh ada yang menanyakan, secara teoretis pihak penjual Daihatsu ini akan memasang harga baru 10% di atas harga lama. Sikap sementara serupa itu juga dilakukan Suzuki, sambil menunggu perhitungan secara persis akibat pengenaan PPN dan penurunan bea masuk. Hanya PT Imora Motor, agen tunggal Honda, yang sudah menjamin tak akan menaikkan harga jual sedannya. Sebab, menurut Ang Kang Hoo, manajer umum Imora, "Beban pajak dan bea masuk yang kini dipikul sama dengan sebelumnya." Artinya, pembeli masih bisa memperoleh Honda Civic Wonder dengan harga Rp 19 juta kosong. Menurut Ang Kang Hoo, peluang produsen untuk tidak menaikkan harga itu jika segala peraturan baru itu dilaksanakan dengan baik. Apalagi pemerintah sekarang sudah mengeluarkan Instruksi Presiden No. 4 tentang Kebijaksanaan Kelancaran Arus Barang. Boleh jadi, dengan Inpres itu, segala uang yang semula terbuang di pelabuhan bakal bisa dihemat hingga tak lagi merupakan biaya bagl perusahaan. Tentu saja, pengusaha lain juga mempunyai harapan serupa. Di dalam "masa transisi" ini, mereka tampaknya perlu sedikit hatihati dalam menentukan harga jual. Sejumlah produsen, yang persediaan barang jadinya sudah habis, kini sudah mulai memesan komponen dari luar negeri. Di situ, mereka sudah harus mulai menghltung berapa paJak masukan yang harus dibayar, dan berapa pajak keluarannya nanti sesudah barang itu dijual distributor. Eddy Herwanto Laporan Suhardjo HS dan Budi Kusumah (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini