KEBEBASAN beragama di sekolah tetap dijamin. Menteri P & K Nugroho Notosusanto sendiri yang menyatakan hal itu, Sabtu pekan lalu, di Bina Graha. Nugroho, secara tak langsung, telah menjawab diskusi ramai akhir-akhir ini. Yaitu sehubungan dengan munculnya SK Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (PDM), 7 Januari lalu. Yakni, tentang keharusan semua siswa SMTP dan SMTA untuk mengisi formulir pilihan pendidikan agama, dengan diketahui orangtua murid. Sedangkan bagi siswa SD, formulir itu diisi langsung oleh orangtua murid. Kebijaksanaan baru yang akan berlaku mulai tahun ajaran 1985-1986 itu oleh sebagian orang dianggap mengurangi kebebasan beragama. Pihak MAWI (Majelis Agung Wali Gereja Indonesia) dan PGI (Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia), misalnya, 27 Maret lalu menyampaikan pokok-pokok pikiran tentang kewajiban pilih agama itu kepada Menteri Agama. Bagi MAWI dan PGI, wajib pilih satu agama berarti mengurangi kesempatan siswa untuk mempelaJari agama yang lain. Padahal, hakikat kebebasan beragama bagi mereka yaitu adanya kesempatan untuk mempelajari agama lain, "Dalam rangka proses pencarian agama dan proses penilaian kembali terhadap agama yang dianut." Dengan kalimat lain, MAWI dan PGI mengkhawatirkan ketentuan baru menyulitkan seorang siswa berpindah agama. Dan, mengurangi kemungkinan siswa memantapkan keyakinan keagamaannya dengan cara mempelajari agama yang lain. Sebab, makna kebebasan beragama, "Bukan berarti memeluk satu agama seumur hidup," kata Mgr. Leo Soekoto, sekretaris MAWI, "tapi selalu meninjau kembali apakah agama yang dianut sudah cocok." Tampaknya penjabaran tentang kebebasan beragama itulah yang menjadi soal. Buat Menteri P & K, kebijaksanaan baru sama sekali tak mengandung pembatasan kebebasan. "Kita tidak ingin memaksa siswa untuk masuk agama yang lain, tapi masuk agamanya sendiri," kata Menteri. Dan tentang kemungkinan siswa berpindah pendidikan agama, "Itu bisa diatur, asal slswa mau mengikuti kurikulum." Artinya, bila seorang siswa mengikuti agama Katolik ketika SMP, misalnya, dan di SMA-nya ia memilih pendidikan agama Islam, ia pun harus mempelajari agama Islam tingkat SMP. Ini soal lama, memang. Cuma, dengan adanya SK wajib pilih agama, hal kurikulum lebih ditegaskan. Sebagaimana peraturan lain yang datang dari Departemen P & K, SK wajib pilih pendidikan agama hanyalah untuk sekolah-sekolah negeri. Tapi pihak MAWI dan PGI ternyata mencemaskan SK baru bakal menjangkau pula sekolah swasta. Indikasinya memang ada, yaitu dalam rapat kerja antara Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (PDM) Departemen P & K dan Komisi IX DPR, 28 November tahun lalu. Dardji Darmodihardjo, dirjen PDM waktu itu, menyatakan bahwa sekolah swasta pun harus menjalankan pendidikan agama. Dan bila ada sekurangnya 10 siswa dalam satu kelas yang beragama lain dibandingkan dengan mayoritas dalam kelas itu, pihak sekolah wajib mengadakan guru agama untuk mereka. Ini tentu saja merepotkan bagi sekolah yang berdasar keagamaan, misalnya sekolah Katolik atau Muhammadiyah. "Kita mengharapkan supaya peraturan ini tak berlaku di sekolah swasta," kata Leo Soekoto. "Negara demokratis harus menghargai hak swasta." Memang, sejak pertama seorang siswa masuk sekolah Katolik, apa pun agamanya, sudah mendapat penjelasan bahwa pendidikan agama yang akan diterimanya cuma Katolik - lain tidak. Bila ketentuan ini berubah, menurut Leo Soekoto, tak ada lagi perbedaan antara sekolah negeri dan swasta yang berciri khas. Bagi umat Islam, tampaknya SK wajib pilih agama dianggap biasa-biasa saja. "Saya tak melihat adanya penyalahgunaan kebebasan beragama dalam SK Dirjen PDM itu," kata ketua MUI K.H. E.Z. Muttaqien. Rektor Universitas Islam Bandung ini justru lebih melihat aspek praktis peraturan itu. Yakni, untuk keperluan pengadaan dan penyebaran guru agama Dengan pendataan yang semrawut sepertl sekarang ada guru agama Kristen di Demak yang sebenarnya tak dibutuhkan. Sebaliknya, di Ambarawa dan Salatiga, kata Muttaqien pula, kekurangan guru agama Kristen. SK wajib pilih agama? diharapkan memberikan informasi yang jelas berapa siswa yang mengikuti pendidikan agama Islam, berapa Katolik, dan seterusnya. Tapi MAWI dan PGI tak cuma mempersoalkan itu. Pernyataan mereka juga menyinggung penganut aliran kepercayaan atau bahasa resminya Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Siswa penganut aliran kepercayaan, berdasarkan SK wajib pilih agama, diminta mengikuti salah satu pelajaran agama Islam, Katolik, Protestan, Hindu, atau Budha. MAWI dan PGI menanyakan, "Wewenang pemerintah untuk menjuruskan pribadi itu kepada satu agama tertentu." Sementara itu, dari pihak aliran kepercayaan itu sendiri tak ada pernyataan keberatan terhadap SK wajib pilih pendidikan agama ini. Hanya Permadi, S.H. tokoh parapsikologi yang menganut aliran kepercayaan, menanyakan, "Untuk apa pelajaran agama di sekolah itu, bila di luar siswa penganut kepercayaan tidak menjalankan syariatnya." (TEMPO, 16 Februari). Permadi dan penganut aliran kepercayaan lairmya tampaknya melihat bahwa pendidikan agama dan keyakinan agama bisa dipisahkan. Padahal, berpegang pada Kurikulum 1975, siswa peserta pendidikan agama tertentu diharapkan "mengamalkan pokok ajaran serta membina mereka sebagai penganut agama yang baik". Bahkan pada buku Pedoman Pelaksanaan Kurikulum 1975 untuk SMA, dalam bab Agama Katolik, jelas-jelas disebutkan bahwa kurikulum pelajaran ini dimaksudkan "sebagai pendidikan iman", untuk "membangun manusia kristiani secara integral". Bila memang demikian, SK wajib pilih pendidikan agama memang menimbulkan masalah bagi agama yang menganggap semangat misionaris sebagai hak asasi. SK wajib pilih pendidikan agama, "Tidak benar menurut iman Kristen," kata S.A.E. Nababan, ketua PGI. Bambang Bujono Laporan Indrayati dan Musthafa Helmy (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini