Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PINTU ruang kerja Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan, Untung Iskandar, terkuak pagi pekan lalu. Seorang lelaki bule, Jozsef Micski, dengan geram menunjukkan pelbagai foto tentang ganasnya penebangan liar yang tragisnya dilakukan di hutan penelitian di Labanan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Sebagai Wakil Direktur Forest Liaison Bureau, sebuah lembaga donor Uni Eropa yang peduli akan hutan Indonesia, pantas bila Micski gelisah.
Tak hanya lelaki itu yang resah. Pemimpin negara ini, Presiden Megawati Sukarnoputri, sama gundahnya. Laju kerusakan hutan alam di sini memang mengerikan. Setiap tahun, Forest Watch Indonesia menghitung, 2 juta hektare hutan Indonesia hilang—menggerogoti hutan alam yang semula ada 168 juta hektare. Menurut penghitungan Bank Dunia, pada tahun 2010, hutan di Sumatera dan Kalimantan sudah lenyap kalau tak ada langkah penyelamatan dari sekarang.
Langkah itulah yang hendak dilakukan Megawati. Dua pekan lalu, dalam pembukaan rapat kerja Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia, dia menyalakan sinyal keras. Pemerintah akan melarang penebangan hutan sementara (moratorium) agar hutan bisa sekadar menarik napas.
Sebuah gertak sambal? Jangan salah. "Kemungkinan besar dalam waktu dekat pemerintah akan membakukannya dalam bentuk kebijakan," ujar Dirjen Untung Iskandar. Ini agaknya upaya terakhir pemerintah setelah yang sebelumnya selalu mentok. Gebrakan yang terakhir dengan aturan adanya pengurangan jatah tebangan dan larangan ekspor kayu malah memarakkan pencurian kayu. Belakangan, pemerintah menahan izin hak pengusahaan hutan, baik yang baru maupun perpanjangan.
Maka pengusaha kayu dan pulp and paper pun mulai gonjang-ganjing. Moratorium mungkin membuat hutan menarik napas. Tapi, bila suplai batang kayu untuk bisnis yang investasinya sampai triliunan rupiah itu distop, semaputlah para pengusaha kayu itu.
Dengar saja ucapan juru bicara Sinar Mas, Joyce Budisusanto, yang merasa serba salah dengan sinyal itu. Moratorium oke saja, tapi selektif pada yang melakukan penebangan ilegal. Ia membela diri bahwa penebangan itu masih diperlukan hingga hutan tanaman industri milik mereka bisa mengganti suplai tersebut. Kapan? Setidaknya 5 tahun lagi, pada 2007-2008.
Taktik ulur waktu agaknya akan terus dimainkan para pengusaha kayu. Keuntungan yang menjanjikan dari bisnis pulp membuat mereka berlomba memperbesar kapasitas produksi tanpa memperhitungkan pasokannya. Selama ini, karena ada kayu curian, mereka merasa aman. Dan harga kayu jenis ini tidaklah mahal. Tiap batang pohon sebesar 4-6 meter kubik cuma berharga sejuta perak.
Padahal, kata Direktur Forest Watch Indonesia Togu Manurung, dengan jurus seperti ini, lonceng kematian industri kayu tinggal menunggu waktu. Begitu hutan hancur dan tak ada lagi kayu yang bisa dicuri, mereka pun akan koit. Kerugian negara dengan terjadinya erosi dan rusaknya fungsi ekosistem hutan juga teramat besar.
Jalan keluarnya, Togu mengusulkan agar Indonesia bisa seperti Jepang, yang memanfaatkan kayu impor untuk produksi kayu olahannya, yang kini terbesar di dunia.
Sebenarnya cara ini cukup riskan. Bila negara pengimpor kayu kehabisan stok, produksi kayu olahan bisa terhambat. Jalan yang paling aman, ya, tanamlah hutan tanaman industri, satu hal yang sudah dipersyaratkan oleh peraturan kehutanan sejak awal tapi hampir tidak berjalan. Yang terjadi, pengusaha meminjam uang dari Dana Reboisasi dengan alasan untuk membuat hutan tanaman industri, tapi hutannya sendiri tak benar-bernar terwujud, seperti yang dituduhkan pada Prajogo Pangestu lewat PT Musi Hutan Persada.
Lewat moratorium ini, agaknya pemerintah berkehendak agar penyimpangan seperti ini tak lagi terjadi. Masalahnya, kalau moratorium ini jadi diluncurkan, apakah pemerintah sudah siap dengan penegakan aturannya? Kalau tidak, lalu kapan hutan bisa bernapas?
Leanika Tanjung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo