Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SOSOK Cacuk Sudarijanto tiba-tiba dirindukan lagi. Bekas Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional dan Menteri Muda Urusan Restrukturisasi Perekonomian Nasional itu berpeluang untuk segera come back ke pentas nasional. Dan jangan kaget, ia akan diberi peran lama, yakni sebagai orang nomor satu PT Telkom—peran yang pernah dilakoninya pada awal 1990-an.
Menjelang rapat umum pemegang saham (RUPS) pada 21 Juni mendatang, nama Cacuk memang berkibar sebagai salah satu kandidat kuat Direktur Utama PT Telkom. Kandidat lain adalah Pramono Anung, Wakil Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan. Selebihnya orang dalam Telkom sendiri, yaitu Komarudin Sastrakoesoemah—kini menjabat Direktur Operasional dan Marketing—serta Direktur Perencanaan Kristiono. Nama lain adalah John Welly, bekas Direktur Telkom yang kini menjadi Direktur Utama PT Inti.
Dari semua kandidat itu, hanya Pram—sapaan akrab Pramono—yang sudah menyatakan tak bersedia dicalonkan. Selebihnya menolak berkomentar. Termasuk Cacuk, yang baru menjalani operasi besar. "Bapak tak bisa diganggu," kata istrinya ketika ditemui TEMPO di rumahnya di Pondok Indah.
Sumber TEMPO menyatakan bahwa pencalonan Cacuk didukung Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi. "Kalau mau beres, Telkom mesti dipegang lagi oleh Mas Cacuk," demikian kata sumber yang tak mau disebut namanya itu menirukan ucapan Aa—panggilan akrab Laksamana. Tapi resminya Laksamana belum mengambil keputusan soal itu. "Kami belum membicarakan siapa yang akan menjabat sebagai Dirut Telkom yang baru," katanya.
Masalahnya, mengapa harus Cacuk? Jawabannya mungkin terletak pada kenyataan bahwa kondisi Telkom saat ini terbilang payah. Beberapa tahun terakhir, perusahaan ini praktis tak banyak menambah satuan sambungan telepon (SST) baru. Laju pertambahan pelanggannya kalah cepat dibandingkan dengan telepon seluler. Menurut data Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi, pada Maret lalu, jumlah pelanggan Telkom yang sudah beroperasi puluhan tahun, baru 6,8 juta, sedangkan pelanggan telepon seluler yang muncul 1995 sudah mencapai 5,8 juta orang.
Sementara tarif telepon terus dinaikkan, kondisi keuangan BUMN ini tetap pas-pasan. Telkom tak punya duit untuk melakukan penetrasi pasar. Jumlah kewajiban dibandingkan dengan kekayaannya saja hampir mencapai 40 persen. Dan pekan lalu, Telkom mesti menerbitkan surat utang senilai Rp 1 triliun untuk membiayai investasi jaringan telekomunikasi dengan teknologi CDMA.
Kalau dibandingkan dengan perusahaan telekomunikasi di Cina, kondisi Telkom terlihat sangat timpang. Tengok saja, China Telecom kini memiliki 150 juta SST dan China Mobile menguasai 120 juta pelanggan seluler. "Setiap bulan, dua perusahaan Cina itu bisa berekspansi dengan 5 juta SST baru," kata Adi Adiwoso, bos Pasifik Satelit Nusantara (PSN).
Dengan penguasaan pangsa pasar dan skala usaha yang besar, kedua perusahaan telekomunikasi Cina itu menjadi sangat efisien. Ujung-ujungnya, konsumenlah yang diuntungkan. Biaya sambungan langsung jarak jauh (SLJJ), yang di Indonesia mencapai Rp 3.600 per menit, di sana cuma Rp 600 semenitnya.
Nah, Cacuk dianggap bisa menjadi penyelamat Telkom. Langkahnya ketika menjadi direktur utama dianggap memuaskan. Ia dipandang mampu menjadikan Telkom lebih inovatif dan dinamis. Di eranya, bentuk perusahaan diubah dari perusahaan umum (perum) menjadi perseroan terbatas (PT).
Cacuk juga dinilai berhasil mendongkrak kualitas sumber daya manusia Telkom. Ganjaran dan hukuman diterapkan untuk memberantas korupsi dan percaloan. Gaji karyawan dinaikkan tiga kali lipat. Tapi, bila karyawannya tetap korup, yang bersangkutan langsung dipindahkan atau dipecat. Untuk menyiapkan sumber daya manusia Telkom 20 tahun ke depan, Cacuk juga merancang pendirian Sekolah Tinggi Teknologi Telkom (STTTelkom) di Bandung.
Berkat tangan dingin Cacuk, kinerja Telkom pun berkilauan. Dalam waktu relatif singkat, ia berhasil membangun 1 juta satuan sambungan telepon. Di bawah kepemimpinannya pula karyawan Telkom untuk pertama kalinya belajar melayani pelanggan dengan slogan customer first.
Namun, Cacuk bukan tanpa cela. Kemajuan Telkom mesti dibayar dengan menipisnya keuangan perusahaan lantaran proyek terlalu banyak. Rosyid Hidayat, Wakil Ketua Komisi IV DPR yang menangani masalah perhubungan dan telekomunikasi, menyebut banyaknya investasi Telkom semasa Cacuk yang terbuang sia-sia.
Rosyid menunjuk proyek VHS dan WLL—keduanya teknologi telepon tanpa kabel—yang keburu usang sebelum sempat dipakai. Penyebabnya sepele: proyek itu tak laku karena tak disukai konsumen. Karena itu pula pengganti Cacuk, Setyanto P. Santosa, langsung mengerem proyek-proyek padat modal itu.
Tapi, bila nanti Cacuk kembali menjadi orang nomor satu di Telkom, ia menghadapi tantangan yang lebih berat, tantangan yang kini juga tak bisa dihadapi oleh direksi yang sekarang. Adakah Cacuk siap menjadi "juru selamat Telkom", ini tentu masih tanda tanya.
Nugroho Dewanto, Rian Suryalibrata, Setiyardi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo