RATU Plaza, sebuah bangunan gemerlap di ujung Jalan Sudirman, Jakarta, sudah lima tahun ini jadi salah satu tujuan untuk berbelanja. Di situ orang bisa memperoleh T-Shirt berharga Rp 2.500 sampai baju wanita keluaran perancang Jepang dengan harga paling murah Rp 150 ribu. Ruang dalamnya yang tertata apik dan dingin juga sudah lama jadi sarana keluarga untuk cuci mata: duduk melingkari air mancur sambil mendengarkan musik, atau su-uut naik lift kapsul tembus pandang melihat panorama toko. Tentu bukan karena lift mogok jika pekan lalu Ratu Plaza jadi bahan berita. Di hari Selasa dan Rabu silam itu, sejumlah toko di sana memajang sebuah pemberitahuan kepada calon konsumennya: Toko tutup karena sewa mahal. Lebih dari 40 dari 200 toko yang menjajakan barang di sana, dua hari itu, tidak melayani konsumen. "Aksi protes itu kami lakukan karena kenaikan tarif sewa baru sangat kejam, dan semaunya sendiri," kata Kusumah Hassim, Ketua Persatuan Pedagang Ratu Plaza (PPRP). Tak terlalu berisik, tapi ya siapa tak kenal Ratu Plaza, yang saat ini terasa belum lengkap gengsi bagi kebanyakan orang bila belum beranjangsana ke sana. Awal September lalu, PT Ratu Sayang International sebagai pemilik Ratu Plaza, memang memberitahukan tentang akan dinaikkannya sewa pertokoan di situ lewat surat edaran. Tarif maksimum yang ditawarkannya adalah US$ 55 per m2 setiap bulan atau naik hampir 130% dari ongkos sewa yang sekarang berlaku sebesar US$ 24. Sedang service charge untuk pemeliharaan, keamanan, dan air, tetap US$ 7. "Ini baru berupa tawaran, kalau tidak cocok 'kan bisa dirundingkan dengan kami," kata Henry Onggo, Presiden Direktur Ratu Sayang, kepada Ahmed Soeriawidjaja dari TEMPO. Pihak Ratu Sayang tampaknya perlu melakukan penyesuaian harga jual jasa itu, karena tarif sewa yang berlaku sekarang, yaitu US$ 13 sampai US$ 24, sudah berusia lima tahun sejak pertokoan itu dibuka. Bulan Desember ini, kebetulan, sekitar 70% dari penyewa pertokoan di situ habis masa kontraknya untuk masa lima tahun pertama. Tawaran kemudian dibuka pihak pengelola untuk masa lima tahun berikutnya. "Dari penyewa ternyata tidak ada jawaban, tidak ada tawar-menawar," kata Henry. Yang muncul malah aksi tempel plakat. Persoalannya lalu jadi percakapan karena masalah itu kemudian dioper O.C. Kaligis, pengacara bagi sejumlah perkara populer, mewakili para penyewa. Kalau angka Inflasi ikut dihitung di samping biaya pengelolaan gedung, maka kenaikan hampir 130% itu tetap dianggapnya terlalu sewenang-wenang. "Seakan tidak ada jaminan kelangsungan usaha bagi para penyewa," katanya. "Untuk kepentingan jangka panjang, perlu adanya perlindungan hukum bagi penyewa." Dalam upaya itulah, delegasi para penyewa pertokoan Ratu Plaza, minggu ini pergi ke DPR. Melalui Fraksi Karya, mereka meminta agar untuk sewa pertokoan di Jakarta ini ada standar harga tertentu. Sebab dibandingkan dengan pertokoan serupa di pelbagai tempat di Jakarta, yang menyediakan fasilitas serupa, tawaran baru itu kelewat mahal - kendati masih lebih murah dibandingkan dengan sewa pertokoan di Malaysia dan Singapura (lihat: Ini yang Lebih Mahal.) Karena alasan itu, Kaligis cenderung agar pemerintah mau ikut campur mengatur soal besarnya tarif sewa itu. Mudah-mudahan upaya mengundang campur tangan itu hanya seloroh saja. Sebab, "kekuatan" di sektor usaha swasta itu, pada akhirnya, ditentukan oleh permintaan dan penawaran - bukan seperti mengatur harga minyak yang kelewat rumit. Kata Djoko Brotosuryono, Kepala Biro Pengembangan Sarana Perekonomian Daerah Pemda Jakarta, standardisasi sewa pertokoan tidak (mungkin) ada seperti yang dilakukan perhotelan. "Kalau penyewa merasa terlalu mahal, yang bersangkutan bisa saja pindah ke tempat yang lebih murah, di pasar Inpres misalnya," tambahnya. Saran itu, tentu, tak mungkin dijalankan. Sebab, pengusaha gunting rambut macam Rudy Hadisuwarno mana mungkin melayani pelanggannya bersebelahan dengan penjual ikan asin atau buku-buku tua seperti di Pasar Inpres Senen. Di Ratu Plaza itu, setiap penata rambutnya, yang berjumlah 14, bisa memperoleh 10 konsumen setiap hari. Sedang yang di pusat pertokoan Duta Merlin setiap penata paling banter memperoleh 5 sampai 8 kepala. "Lokasi Ratu Plaza bagus, dekat perkantoran, dan tidak jauh dari tempat permukiman ibu-ibu yang suka dandan," katanya. Di lantai III Ratu Plaza, tempat Rudy membuka usahanya itu, sewanya US$ 15 per m2 setiap bulan - belum termasuk service charge yang US$ 7. Mahal memang dibandingkan sewa di Hayam Wuruk Plaza, tempat Rudy jarang memperoleh sampai 10 kepala untuk setiap penatanya, yang menarik sewa hanya US$ 10. Toh, Rudy mengaku kaget juga mendengar pemilik gedung menawarkan tarif baru yang demikian tinggi. Yang dianggapnya wajar, kenaikan itu paling tinggi 35%. Kalau lebih? "Ya, bagaimana nanti," tambahnya. Ratu Plaza, bagi sejumlah pengusaha di tingkat pengecer barang mahal, memang merupakan salah satu tempat menjual paling cocok. Barang-barang dari kulit, seperti dompet, ikat pinggang, tas, sampai kopor merk Etienne Aigner (Jerman Barat), jelas lebih pas jika dijajakan di situ, di bandingkan kalau digelar di Proyek Senen misalnya. Sebuah dompet merk itu, yang pengerjaannya dilakukan di Italia, harganya paling murah Rp 75 ribu, lalu tas wanita dijajakan sampai Rp 450 ribu. Kios barang-barang Aigner di Ratu Plaza itu menempati lantai seluas 45 m, dengan ongkos sewa maksimum US$ 24. Menjelang kontraknya habis 15 Desember nanti, Ny. Dewi Moran, Direktur Divisi Aigner pada PT Jay Gee Enterprises, mendapat tawaran memperpanjang kontrak dengan harga US$ 60. Belakangan, sesudah aksi protes penyewa toko masuk koran, tawaran biaya sewa itu turun jadi US$ 43 atau naik hampir 80%. "Tapi saya masih mikir-mikir untuk menyetujuinya," katanya. Di sela-sela cerita sukses itu ada juga yang bernasib loyo. Ambil contoh show room mobil PT Prabu Motor, yang lebih banyak ditonton anak-anak sekolah. Karena usahanya lesu, Kusumah Hassim, yang mengelola toko itu, pernah terlambat membayar sewanya. Akibatnya, ia kena denda hampir Rp 17 juta. Bagi Prabu, tempat usahanya di situ mungkin tidak cocok, hingga kalaupun harus angkat kaki, tanpa ragu-ragu akan dilakukannya. "Masih banyak tempat lain yang lebih baik dan murah sewanya," ujar Kusumah setengah berteriak. Tapi bagi Rudy dan Ny. Dewi Moran mungkin sayang kalau harus cabut dari sana. Sebaliknya, Henry Onggo boleh jadi sayang jika harus kehilangan pelanggannya yang rajin membayar sewa tepat waktu. Karena itu, untuk mencari keseimbangan antara penawaran dan permintaan, Henry menurunkan tawarannya: tarif maksimum di lantai dasar US$ 45, dan yang paling murah jadi US$ 20 - dengan service charge yang tetap US$ 7. "Ini bukan harga mati, penyewa bisa menawar atau menolak harga yang kami ajukan. Sekarang masih ada waktu untuk tawar-menawar," katanya. Usaha untuk mencapai kesepakatan antara pemilik dan penyewa pertokoan itu tampaknya akan berjalan panjang. Sebagai pengusaha, Henry tentu tidak ingin jika usaha menjual jasa ruang pertokoan (di samping perkantoran dan apartemen di situ) sampai tidak cukup untuk mengangsur utangnya. Untuk membangun kompleks Ratu Plaza itu, uang yang ditanamkannya berjumlah US$ 50 juta - sebagian besar merupakan pinjaman komersial dari Chase Manhattan Bank. "Sampai tahun kelima ini kami masih rugi. Soalnya, utang kami lebih banyak daripada modal yang kami miliki," katanya. Tingginya pinjaman dolar itu memang cukup merepotkan bagi investor yang memperoleh penghasilannya dalam rupiah apalagi jika modal sendirinya sangat kecil. Supaya rugi akibat kenaikan kurs dolar bisa dikurangi, maka sewa tarif pertokoan ditetapkan dengan dolar, meskipun pembayarannya di lakukan dengan rupiah yang nilainya dikaitkan dengan kurs tengah devisa. Demikianlah, di hampir semua pusat pertokoan di Jakarta sewanya ditetapkan dengan dolar, sampai-sampai pertokoan yang sepenuhnya dibangun dengan rupiah juga mengenakan tarif sewa dalam dolar. Mungkin karena utang valuta asingnya cukup tinggi, maka sewa pertokoan di Gajah Mada Plaza milik Hendra Rahardja, boss Grup Harapan, dan Duta Merlin Shopping Arcade ditetapkan dengan dolar juga. Ketika pusat pertokoan Gajah Mada dibuka, 1982, sewanya rata-rata US$ 27 ditambah biaya jasa pelayanan US$ 6. Empat lantai di situ digunakan untuk menampung para pengecer kebutuhan barang kelas menengah. "Namun, setelah berjalan, kami amati ternyata ada lokasi yang strategis, dan kurang strategis," ujar Henry Atmadjaja, manajer pemasaran Artha Buana Sakti, pengelola dan pemiliknya. Lokasi yang strategis dan paling banyak dimasuki konsumen ternyata toko yang berada di sekitar ruang kosong (void) di tengah bangunan. Karena itulah, April lalu, pengelola berusaha memperkenalkan tarif sewa baru yang bergerak mulai US$ 24 sampai US$ 42,50 (termasuk jasa pelayanan) - yang makin mahal bila lokasinya dekat ruang kosong di lantai dasar. Tak jelas berapa banyak peminat datang. Yang pasti, sekitar 70% dari 270 penyewanya yang sekarang, masa kontrak lima tahunnya baru habis Desember 1987 nanti. Dan agar para calon penyewa bisa mengatur perputaran dananya dengan baik, maka pengelola pertokoan berlomba memberikan cara pembayaran yang bersaing. Ratu Plaza, misalnya, mengharuskan calon penyewa membayar 20% untuk masa sewa selama 5 tahun ke depan. Sisanya bisa dicicil selama 20 bulan. "Jelas, kami lebih ringan pembayarannya," kata Henry Onggo, berpromosi. "Kami tidak memaksakan penyewa harus membayar untuk masa lima tahun. Kalau kuatnya hanya dua atau tiga tahun, ya, boleh saja." Mungkin karena tempatnya bagus, sekarang sudah terasa parkir di Ratu Plaza sulitnya bukan main. Calon pembeli sering harus bersungut-sungut karena tempat parkirnya sudah sesak oleh mobil para penyewa. Dick Gelael, pemilik Gelael Supermarket, yang menyewa lantai bawah tanah seluas lebih dari 1.700 m2 (Rp 40 juta sebulan), paling gusar menghadapi kenyataan itu. "Dulu dijanjikan parkir untuk tamu sebanyak 400 mobil, sekarang 200 mobil saja tidak ada," katanya. Sebagai penyewa cukup besar, Gelael hanya dapat sebuah kapling untuk parkir. "Kami merasa sedikit terjebak di Ratu Plaza ini," katanya. Suasana sumpek parkir seperti itu kini belum terasa di Duta Merlin Shopping Arcade. Sewanya mungkin cukup murah, karena tidak banyak kenyamanan yang ditawarkan. Untuk lantai dasar US$ 20, lantai I US$ 17, lantai II US$ 14, lantai III US$ 13, lantai IV US$ 12. Biaya jasa pelayanan dikenakan US$ 6. Masa kontrak ditetapkan minimal dua tahun. "Sebagai tanda jadi, penyewa diharuskan membayar uang muka sebesar tiga bulan," kata Inne Sukawati, dari departemen pemasaran Duta Merlin. Cerita sukses investor macam Henry Onggo mencontoh model pertokoan di sepanjang Orchard Road, Singapura, itu rupanya menggoda pengusaha di Medan, Bandung, dan Surabaya berbuat serupa. Di Medan, sedikitnya ada lima pusat pertokoan, dengan nama Plaza di belakangnya, dibangun pengusaha lokal. Karena pembangunan sepenuhnya dibiayai dana rupiah, maka di sana tidak dikenal tarif sewa dolar. Olympia Plaza yang menyediakan 400 kios, misalnya, hanya menarik sewa Rp 20 ribu per kios sebulan. Untuk menarik calon penyewa, para pengusaha diberi kesempatan menggelar dagangan bebas beberapa bulan sebelumnya. Menurut sebuah sumber di Olympia Plaza, seorang pedagang biasanya langsung akan cabut kalau selama dua bulan rugi terus. Sebaliknya, bila bisa bertahan sampai tiga bulan, "Itu berarti mulai ada untung," katanya. Namun, plaza yang dibangun 1981 dengan biaya Rp 1,3 milyar itu masih menyimpan lebih dari 100 kios yang belum laku disewakan. Dan ternyata tidak semua penyewa laris dagangannya, terbukti ada di antara mereka yang lambat bayar listrik, AC, dan jasa keamanannya. "Maklumlah, jualan mereka sepi," kata Bun Su, Presiden Komisaris Olympia. Suasana sepi lebih terasa di Surabaya. Di Surabaya Indah, pusat pertokoan berlantai empat, hari-hari ini hanya 40 dari 190 toko di sana yang buka Sepinya pusat pertokoan itu tampaknya lebih banyak disebabkan karena tempat itu tak memiliki tempat parkir memadai, kendati acara hiburan sering diselenggarakan di lantai lima. Supaya pembelanja datang kembali, dan pembeli kios seharga Rp 300 ribu sampai 350 ribu per m2 senang, "Go skate dan pusat permainan anak-anak di lantai empat akan dihidupkan kembali," kata Ny. Handayani, Direktur Surabaya Indah. Dibandingkan dengan Ratu Plaza dan Gajah Mada Plaza, memang, suasana Plaza di daerah terasa kurang riuh rendah, juga sedikit barang impor yang mahal-mahal dijajakan di sana. Karena pelbagai kelebihannya itu tak heran orang daerah sering menjadi plaza di Jakarta jadi daerah tujuan wisata. Eddy Herwanto Laporan biro Jakarta, Medan, Surabaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini