SEBULAN telah lewat, tapi soal peluru 'nyasar yang menewaskan Lurah Suparman di Ambarawa, Jawa Tengah, sampai pekan lalu justru bertambah hangat. Ada dugaan, Suparman bukan tewas karena kecelakaan semata-mata, melainkan akibat kesengajaan. Dugaan itu dihubung-hubungkan dengan surat kaleng yang berisi ancaman bahwa suatu saat korban akan dibunuh karena tak mau mundur setelah terpilih sebagai lurah di Desa Asinan. Padahal, ketika itu, 30 Oktober lalu, banyak yang mendapat kesan bahwa korban tewas secara tak sengaja. Sore itu, seperti diutarakan Kapolres Salatiga, Letkol R. Harjono, Serma Kuswo yang menjadi pejabat sementara Kapolsek di Sumowono mengejar seorang residivis bernama Saroji. Kuswo, yang berpakaian preman, mengendarai sebuah mobil colt, dan membuntuti bis yang ditumpangi Saroji. Di sebuah pertigaan, Saroji turun. Kuswo memanggil, dan yang dipanggil malah lari. Tembakan terpaksa dilepaskan. Tapi sial, peluru tidak menyambar Saroji, melainkan mengenai Suparman, 37, yang melintas naik sepeda motor memboncengkan anaknya. Korban terkena di leher sebelah kanan dan tembus ke pelipis. Ia tewas di pangkuan Kuswo, si penembak, dalam perjalanan ke rumah sakit. Malam keesokan harinya, Kuswo pamit kepada istri dan ketiga anaknya serta anak buahnya. Pada dinihari 1 November, diantar istri, anak, dan anak buahnya, Kuswo menyerahkan diri ke rumah atasannya, Letkol Harjono, Kapolres Salatiga. Harjono memuji langkah yang diambil anak buahnya itu sebagai tindakan yang jantan. "Tugas polisi memang berat. Ibaratnya, kaki kiri menginjak kuburan, sedang kaki kanan menginjak penjara," tutur Harjono ketika itu. Belakangan, ada sementara pihak - termasuk orangtua korban - yang tak yakin Suparman tewas akibat kecelakaan. "Pembunuhan itu pasti disengaja," kata Mustoko Bilal, ayah korban, penuh emosi. Suparman dan Kuswo bukan orang asing. Keduanya bersahabat karib ketika sekolah di SMP Pangudi Luhur, Ambarawa, bahkan mereka duduk sebangku. Setelah masa SMP, keduanya lantas berpisah. Kuswo menjadi polisi dan Suparman, ayah dua anak, terpilih menjadi lurah di desanya pada tahun 1980. Ketika itu, kata Mustoko, anaknya mendapat surat kaleng yang meminta agar pemilihan lurah diulang. "Kalau tidak, tahu sendiri. Akan dibunuh," begitu antara lain bunyi surat yang tak jelas siapa pengirimnya itu. Ancaman itu tak digubris. Suparman tetap memimpin desanya. Desa di tengah perkebunan kopi itu tergolong maju. Ada jalan beraspal sepanjang 7 km, dan jalan-jalan desanya terbuat dari beton yang di pinggirnya dihiasi bunga warna-warni. Lurah jebolan fakultas teknik itu juga gemar ngebrik dan memperlengkapi semua pamongnya, sampai tingkat RK, dengan pesawat CB. Meski menduga kematian Suparman tidak wajar, Mustoko tak bisa menduga apakah memang Kuswo yang menghendaki kematian anaknya. "Saya hanya ingin motif penembakan itu terungkap jelas," ujarnya, pekan lalu, kepada Yusro M.S. dari TEMPO. Siapa Kuswo? Menurut sumber TEMPO, ia lahir di Desa Kupang, yang bertetangga dengan Desa Asinan. Sebelum di Polsek Sumowono, ia bertugas di Polsek Bawen. Di situ, namanya tak begitu bersih. "Dia pernah kena tindakan administratif karena melindungi perjudian," tutur sumber itu. Seorang tukang ojek melukiskan sersan polisi itu suka bertindak kelewat batas. "Kalau teman kami ada yang salah, kami disuruhnya mendorong sepeda motor di lumpur," katanya. Sumber lain menyebut sang sersan - yang kini ditahan di Denpom Salatiga - sadistis. Saat ramai-ramainya operasi memberantas kejahatan tahun 1983-an, "Dia lebih sering menjerat leher korban memakai tali kopling ketimbang melepaskan tembakan," kata sumber itu. Sumber lain lagi di Pomdam IV Semarang menyatakan, memang tidak tertutup kemungkinan bahwa kematian Suparman bukan sekadar kecelakaan. "Penyidikan memang diarahkan ke sana. Tapi kami masih kekurangan bukti," katanya. Namun, pihak Polda Jawa Tengah tetap berpendapat bahwa kasus itu semata kecelakaan. "Kami masih berpegang kepada laporan Kapolres Salatiga bahwa korban tewas akibat peluru 'nyasar," ujar Mayor Sriyono, Kepala Penerangan Polda Jawa Tengah. Semoga semuanya lekas menjadi jernih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini